Bapak itu duduk terpekur disebuah emperan
toko, memandangi kendaraan yang menyapu angin. Kakinya berselonjor, seperti ia
tak ingin ada tikungan tajam pada jalan-jalan darahnya. Rambutnya keriting
kumal, seperti ombak yang dibangun angin dari sembarang mata angin. Kumisnya
seperti juntaian akar-akar beringin sepuh: tebal, panjang. Dari wajahnya tampak
ia lupa bahwa ia tidak sedang di gurun sahara, berdebu, tak tersentuh
air-kecuali keringatnya.
“mas, stasiun arahnya kemana ya?”,
tanyanya padaku yang sedang akan lepas dari parkiran.
“hmmm”, aku pun bingung menjelaskan,
arahnya terlalu banyak menghabiskan kanan-kiri, berkelok-kelok jauh memang.
”mari, bapak ikut saya saja”, biar dia tau mengantarnya lebih mudah daripada harus menjelaskan. Begitu pikirku.
”mari, bapak ikut saya saja”, biar dia tau mengantarnya lebih mudah daripada harus menjelaskan. Begitu pikirku.
Bapak yang kalem dan sopan itu adalah
warga Padalarang, ia banyak menghabiskan hidupnya di Jakarta, menjadi bagian
dari padat dan sibuknya lalu lintas ibu kota.
”tiap habis kerja atau akhir pekan saya biasanya ke Sunda Kelapa mas”, katanya. Kupikir sekedar untuk melepas penat dan menepi dari asap kendaraan.
”sejak SMA saya terobsesi sama laut”. Aku baru tahu, obsesi belasan tahun tak lekang juga ternyata.
Bisa ditebak obsesinya menjadi apa kan?,
tentu bukan turis pantai.
Ya, pelaut. Di Sunda Kelapa itu pula dia
banyak bergaul dengan orang-orang laut. Dari mereka pula dia sedikit banyak tau
tentang ilmu laut dan menjadi pelaut.
“saya keluar dari astra dan pergi melaut
mas”, pekerjaan sebagai teknisi di perusahaan itu dia tinggalkan. Kapal Bugis (tentu
bersama orang-orang bugis yang terkenal pandai melaut) menjadi tempatnya
berlabuh, mengarungi laut lepas.
Beberapa tahun ia habiskan dilaut,
memakai perlahan baju obsesinya itu.
Wajahnya kini seperti diguyur samudra, dari balik kumis akar beringin itu seperti tersungging kilau emas. Mirip awak-awak Black Pearl ketika menemukan harta karun. Aku hanya tersenyum, seperti Jack Sparrow yang licik dan licin itu.
Wajahnya kini seperti diguyur samudra, dari balik kumis akar beringin itu seperti tersungging kilau emas. Mirip awak-awak Black Pearl ketika menemukan harta karun. Aku hanya tersenyum, seperti Jack Sparrow yang licik dan licin itu.
“kami tertangkap di Probolinggo mas”, ia
ternyata awak kapal angkutan kayu ilegal. Cerianya masih tak pudar. Selain
angin sepoi dan terumbu karang yang indah ternyata laut juga menyimpan
petualangan, tampak sepoi dan indah pula sepertinya.
Setelah berhari-hari ditelantarkan
petugas, akhirnya mereka, para abk itu, balik kanan tanpa jatah kayu ataupun
solar untuk sangu. Menumpang dari
truk satu ke truk yang lain dan tentu satu-satunya motor (reotku)-hanya
beberapa kilometer pula.
Akhirnya kami pun berpisah, bukan di
stasiun seperti di film-film romantis itu. Kami berpisah di perlintasan kereta
api, di bawah sebuah jembatan layang.
“saya naik dari sini saja mas. Sudah ndak
ada ongkos”.
Aku menyesal, kenapa dia bertemu diriku,
kenapa bukan orang-orang yang bisa mencukupi ongkosnya pulang. Maaf ya pak.
“salam untuk keluarga di rumah ya pak”,
sambil do’akanlah aku agar segera punya obsesi.