Phlogiston,
sepertinya merupakan satu-satunya teori ilmiah yang meskipun sudah dimatikan
berabad-abad silam, seolah tetap dijaga untuk tetap hidup. Ia tentu menjadi
inspirasi bagi Antoine Lavoisier dalam medesain eksperimen-eksperimen yang
melahirkan Traite’. Satu simbol bagi
lahirnya Chemical Revolution, yang
mentransformasi konsep elemen Aristotelian (Fire, Earth, Water, Air) menjadi True elements. Meskipun pada akhirnya
hal itu juga yang menjadi penyebab matinya teori phlogiston.
Kata
Phlogiston diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘Api dari dalam tanah’,
Digunakan pertama oleh Joachim Becher (1635-1682) untuk mengistilahkan
pembakaran sulfur. Dan kemudian menjadi populer ketika Georg Ernst Stahl menggunakannya
dalam menjelaskan interaksi antar element, khususnya yang berkaitan dengan
pembakaran. Menurutnya, Phlogiston dihasilkan oleh benda yang terbakar, dari
pernapasan hewan dan manusia, dan juga dari kalsinasi logam. Kemudian tumbuhan
menyerapnya kembali. Tidak hanya itu teori phlogiston selanjutnya menjadi
berkembang sangat massif, ia juga dipakai untuk menjelaskan begitu banyak
fenomena kimia. Singkat kata, Phlogiston mempu melayani apa yang para chemist butuhkan untuk menjelaskan teori
mereka.
Joseph
Priestly bahkan memulai menjabarkannya dengan menuliskannya dalam sebuah
persamaan kimia
*) ∏ merupakan simbol Phlogiston
Tak lama berselang. Seorang anak muda ambisius bernama Antoine Lavoisier
(1743-1794) bertemu Priestly di Paris dan menyampaikan sebuah penemuan
mengejutkan yang nantinya akan menjadi pembunuh utama teori phlogiston.
Ia, melakukan serangkaian uji coba dengan mereaksikan antara oksigen
(dephlogisticated air) dan hidrogen (inflammable air) sehingga menghasilkan
air. Ia secara presisi mendapatkan
sebuah kesetimbangan massa antara ketiga komponen tersebut dan tidak menemukan
sedikit pun ruang massa yg menunjukkan keberadaan phlogiston. Ini, tentu
melukai hati banyak kimiawan. Tapi Lavoisier tak pernah berhenti, bahkan ia
terus menginvensi berbagai pengamatan yang berkaitan dengan interaksi element.
HIngga pada 1789, ia mempublikasikan karyanya “Traite Elementaire de Chimie” yang didalamnya memuat klasifikasi
elemen-elemen.
**) Tabel klasifikasi elemen Lavoiser
Dan sejak saat itu, para ahli kimia terpecah menjadi dua kubu, Phlogistian
(ada juga yg menyebut sebagai anti-Lavoisierian) dan anti-Phogistian. Kedua
pihak tentu berupaya untuk mencari jalan kebenarannya masing-masing, entah itu
akan menuntunnya menjadi Phlogistian fanatik atau bahkan beralih menjadi anti
phlogistian, begitu juga sebaliknya. Tapi tak sedikit juga yang mulai meyakini
apa yang dikemukakan Lavoisier, meskipun diam-diam gelagatnya menunjukkan
kesetiaan pada phlogiston. Golongan ini merasa bahwa ada hal yang tak bisa
dijelaskan oleh teori lavoisier dan menjadikannya tak utuh.
Hampir satu abad kemudian setelah lahirnya konsep Thermodinamika (1st
law oleh Joule dan 2nd law oleh Clausius pada 1850), J.Willard Gibbs
(1880) mengemukakan gagasan brilian sekaligus memberikan jawaban tentang
bagaimana sebuah reaksi kimia dapat berlangsung. Ia memperkenalkan konsep Gibbs free energy, yang merupakan driving force bagi suatu sistem
perubahan kimia. Kemudian, para phlogistian membuat satu model reaksi kimia
berdasarkan spirit Priestly :
***) M = Material, O = Oxygen
Phlogiston pada akhirnya mampu bertahan hidup, bertransformasi dari materi
menjadi energi dan tak menutup kemungkinan untuk menjadi materi kembali,
seperti halnya yang diyakini oleh penulis. Dalam tabel Lavoisier diatas,
disebutkan adanya elemen Lumiere (dipakai untuk mengistilahkan elemen cahaya),
tetapi tidak mempertanyakan eksistensi massanya meskipun dalam proses oksidasi
(pembakaran) tentu juga menghasilkan elemen tersebut. Belakangan ini justru
kita mengenalnya sebagai photon (partikel cahaya), satu bentuk materi bermassa.
Seperti halnya Lumiere, opini penulis mengenai kembalinya Phlogiston menjadi
materi didasarkan pada satu elemen lain yang dihasilkan dalam pembakaran, yang
oleh Lavoiser diabaikan eksistensi massanya, yaitu panas. Perdebatan mengenai
Phlogiston nyatanya tak pernah berakhir bahkan hingga saat ini. Ini tentu bukan
berarti sebuah ketidak baikan, benturan-benturan ilmiah justru seringkali
melahirkan konsep-konsep ilmiah yang modern dan menawan, seperti yang terjadi
di banyak kisah.
Bahwa dalam banyak hal tak ada yang betul-betul benar atau betul-betul
salah. Bahwa di dalam teori yang salah tentu mengandung satu dua hal yang
benar, bahkan menurut Kurt Godel, dalam teori Ketidaklengkapannya, Teori yang
benar harus mengandung satu hal yang tak bisa dibuktikan benar oleh teori itu.
Dalam hidup, kita harus mampu memoderasi diri, tak menutup hati dan
pikiran, supaya memberikan peluang bagi masuknya kebenaran baru. Tak boleh
betul-betul yakin, pasrahkan semua keyakinanmu padaNya, supaya Dia bantu
mencukupkan kebenaranmu.
-*) Tulisan saya ini pernah dimuat di website penggagas.com, satu website yang concern ke berita/tulisan mengenai saintek, sekira tahun 2016. Saya upload ulang karena website tersebut sudah tidak aktif lagi dan dalam rangka supaya menjadi pelengkap tulisan-tulisan mengenai phlogiston di seri tulisan saya sebelumnya.
No comments:
Post a Comment