Bagaimana cara manusia membangkitkan nurani dan mengaktivasi hati?. Mengapa menjadi penting kembali menghidupkan nurani dan hati, dan saya kira tidak cukup sekedar menghidupkan tetapi mengaktifkan. Ditengah berbagai masalh sosial yang melanda masyarakat, kesenjangan sosial, kesadaran akan hidup beramah lingkungan, perdebatan agama (masalah agama tidak mungkin cukup berkahi pada agama, hidup manusia yang saling berinteraksi akan membawanya pada masalah sosial juga), dan lain sebagainya manusia dituntut untuk lebih peka terhadapnya. Modernitas telah membawa manusia kepada kehidupan yang memiliki kecenderungan membentuk blok-blok, dan membuatnya terlihat eksklusif, dan membuatnya terlihat eksklusif dan acuh terhadap sekitar. Efek demokrasi jangan-jangan sudah menjadi boomerang bagi masyarakat khususnya Indonesia. Demokrasi dijadikan sebagai dalih untuk berbuat ‘semau gue’. Norma-norma budaya yang berisi hal kesusilaan, kesopanan, dan adat-istiadat yang notabene hanya terpelihara dalam lisan dan tingkah laku masyarakat menjadi begitu terabaikan. Banyak tergantikan oleh hukum-hukum yang bersifat birokratis dan saya pastikan hukum-hukum itu tidak dapat mencakup hal-hal yang berkaitan dengan nurani (apakah hukuman bagi pencuri sandal seharga 7ribu dapat disamakan dengan hukuman mencuri uang negara sebesar 7milyar?). Sehingga bagaimana nurani manusia tidak semakin terdeaktifasi!.
Nampaknya, kita memang harus mulai sering bersemedi. Muhamad didaulat sebagai rasulullah ketika beliau dalam masa bersemedi di gua hira. Sidharta Gautama juga mendapat pencerahan dan menjadi budha setelah bersemedi dibawah pohon bodhi. Sunan kalijaga juga harus bersemedi dipinggir kali (baca:sungai) sebelum dirinya diangkat sebagai murid sunan bonang dan menjadi waliyullah. Bukan tanpa sebab, bersemedi mengkodisikan manusia pada kesendirian, tiada orang lain, tiada yang diajak bercakap. Dan kondisi itu membuat manusia harus berkomunikasi dengan nuraninya, hatinya. Komunikasi-komunikasi itulah yang kemudian diharapkan mampu mengaktifasi kembali nurani kita. Melibatkan hati dalam pergolakan-pergolakan pemikiran akan menautkan keduanya sehingga menghasilkan nurani, sebuah kondisi paling ‘polos’ dari sebuah sikap manusia. Tak perlu diragukan lagi produk-produk nurani, contoh manusia diatas adalah salah satu contoh konkret perihal kontribusi semedi.
Esensi dari semedi sebenarnya adalah mengkondisikan manusia dalam pergolakan hati dan pemikiran diri. Hanya kita, hati dan pikiran. Dan saya kira esensi itu dapat diterapkan manakala disebagian kecil dari aktifitas kita dilakukan dengan seorang diri. Tak salah ketika banyak orang merasa memperoleh inspirasi ketika berada dalam kamar mandi. Dan pernahkan terpikir bahwa aktifitas sholat adalah aktifitas mengaktifasi nurani?. Kondisi-kondisi itu membuat manusia seolah hanya seorang diri. Hanya ada diri, hati dan pikiran serta Allah tentunya. Sekali lagi, keterkaitan dan komunikasi antara unsur-unsur itu yang kita butuhkan.
Mari bersemedi, mari luangkan waktu untuk memposisikan diri pada kesendirian. Cobalah sekali-kali bercengkerama sendiri, backpacking seorang diri, menjadi manusia-manusia penyendiri yang kemudian akan muncul menjadi manusia-manusia besar yang berpikiran dan berhati besar pula.
Foto disini
----0----
No comments:
Post a Comment