Salam
Kami, Salam Perubahan. Saya tidak menyangka, semangat Perubahan tidak hanya
santer digaungkan oleh masyarakat muda yang menamakan diri sebagai agent of change. Mereka, masyarakat Tua,
yang memang benar-benar tua, masih begitu membara meyemarakkan perubahan.
Tetapi bahasa mereka bukanlah bahasa analitis milik akademisi, bukan pula
bahasa kritis milik para aktivis, jauh dari pada itu, bahasa mereka
sungguh-sungguh puitis. Dan bahasa itu terangkum dalam Gelar Teaterical Poetica
bertajuk “Salam Kami, Salam Perubahan”, yang memuat pusi-pusi karangan penyair
kawakan Adjie S Mukhsin.
Adjie S Mukhsin
Puisi-puisi itu menjadi begitu
membumi karena menyangkut banyak sekali kepentingan, problematika dan
mimpi-mimpi negeri. Untaian kata-kata itu menjadi semacam buncahan keresahan
hati sang Adjie. Lewat ‘Salam Satu Kata’ ia bercerita tentang sejarah penyair
yang telah menjadi bagian dari perjuangan negeri, lima seri ‘Salam Kami’ juga
diisi oleh rajutan-rajutan derita, cerita dan pinta. Hingga ia mengakhirinya
dengan ‘Surat Untuk Mama’ yang berkisah tentang ketawakalan diri pada sang
Pencipta Semesta.
Tidak berhenti sampai disitu,
syair-syair lain masih mengalir lewat lisan-lisan para tetua.
“Waton diuntal halal”, suara KH Dul
Muhaimin datar, tapi sungguh maknanya jauh membumbung.
“Ada
apa ini ya Alloh!”, teriak Fauzi Abshal
memanggil Tuhan Semesta, mungkin yang ingin ia panggil adalah sesamanya. Tapi
apa daya, sekarang ini semua tangan telah menutup telinga. Ia juga melontarkan
tentang profesionalisme jurnalis yang hanya berada pada level buruh. Setuju kan
kalau sekarang berita sudah dipolitisasi demi profitabilitas!.
“ini
negeri agraris, kenapa kita harus mengemis. Ini negeri kaya, kenapa kita suka
meminta-minta” , pekikan Dalhan begitu menggelitik, penyair Tua ini memang tak
pernah habis. Seperti halnya Om Masroem, rambut gondrong putih itu sungguh
menunjukkan betapa tuanya ia. Tapi ‘Surat untuk Mama’ yang membahana itu tak
pernah meragukan aura mudanya.
“kami
rindu tahta untuk rakyat, bukan tahta untuk pejabat”, penggalan ‘Sebuah Negeri
Bebek’ itu menjadi hidup oleh aura kakek gaul Merit Hendra. Semangat seninya
mungkin hanya akan padam oleh kubur.
“kami
diajarkan tentang cinta tanah air, akibatnya hanya tersisa longsor dan banjir”,
puisi dadakan Ki Demang itu memang jauh dari tak bermakna dalam. Kecintaan para
pengusaha dan penguasa pada tanah dan air kita hanya menyisakan lubang besar,
tentunya dengan longsor dan banjirnya.
Mereka cinta membabi buta, dihabisinya hutan supaya tak ada halangan
bagi cintanya itu, tak diindahkannya alam agar mereka hanya bisa berdua saja.
Pusi-puisi Adjie memang mendalam,
ada warna Chairil, ada warna Rendra, bahkan warna Gus Mus pun ikut mewarnai.
Warna-warna itu menjadikan puisinya begitu membumbung, lantas melayang, hingga
pada saatnya ia menukik tajam menghujam bumi. Kata-kata yang ia rangkai adalah
keresahan tentang negeri, gugatan tentang problematika bangsa, mimpi pada
idealisme yang sudah saatnya menjadi nyata dan yang terpenting adalah
kepasrahan atas semua serta kesadaran sebagai hamba yang hanya bisa berusaha.
Salam
Budaya.
No comments:
Post a Comment