Pada
suatu pagi yang alhamdulillah cerah. Seorang lelaki berkaki tiga sedang
duduk-duduk disebelah jembatan. Wajahnya lusuh, tanda sudah lama dimakan
jalanan. Ia terlihat sedang bersantai, geraman mesin-mesin berjalan sudah tak
jadi hirauan. Kucoba bangun komunikasi, kutakut ada jiwa yang terganggu. Maka
aku hati-hati.
“pagi yang cerah ya. Bapak dari mana?”, kucoba
berbasa-basi.
Tak
ada jawaban yang pasti. Sepertinya dia juga berhati-hati. Aku menyantaikan
diri, kupancing ia dengan politik negeri, penguasa yang korup, kesemrawutan,
dan lain sebagainya. Ini strategiku, rakyat kecil seperti kami memang paling
suka topik ini. Semacam kami menemukan kambing hitam atas kesengsaraan kami.
Bapak itu mengiya, sesekali tertawa mendengar opera-opera kehidupan di negeri
ini. Hingga......ia bercerita tentang operanya sendiri.
“8
tahun sudah”, begitu katanya.
Selama
itu ia sudah tak pulang, selama itu pula ia mencoba terapi sakit hati, selama
itu pula dengan jalan yang tak berimbang ia menyisir jalan.
“8
tahun lalu”, lanjutnya.
Ketika
dia akhirnya kehilangan sebuah kaki karena insiden jalanan, ketika akhirnya dia
tak bisa lagi menafkahi istrinya dengan baik, ketika akhirnya pada sebuah malam
berhujan saat dia pulang ke rumah didapati istrinya mengemas barang. Jiwanya
terguncang, tentu.
“takut
merepotkan orang”, katanya menjawab alasannya pergi.
Padahal,
kutahu, jauh lebih dalam
ia terluka, ada hati yang tersakiti, ada kedalaman cinta yang begitu ia ratapi.
Apalagi beberapa bulan setelahnya, didengarnya kabar istrinya menikah lagi.
Perjalanannya makin mantap, seolah ada tiket free pass yang didapatnya.
“tak
ada yang perlu dirisaukan”, katanya sambil tertawa.
Kupahami
bahwa tertawa, tersenyum dan ikhlas adalah pelarut bagi banyak amarah, pemutus
ikatan-ikatan iblisiah. Aku undur diri, kujabat tangannya, ketepuk pelan pundak
kerasnya berusaha menguatkan.
“semoga
wanitamu bukan seperti wanitaku”, ucapnya hangat, sehangat foton yang membawa kehangatan.
No comments:
Post a Comment