Siang itu awan terlihat sedikit
gelap, pohon-pohon tampak bergoyang senang mengikuti alunan angin, serakan
daun-daun pun seperti ikut-ikutan, kupandangi mereka begitu lekat.
“kamu terlihat begitu gembira,
ada apa gerangan?”, tanyaku
“Kami baru saja jatuh dari pohon
beberapa waktu yang lalu, dan bukankah pada momen itu Tuhan tak pernah luput
dari pandangan pada kami. Maka, bagaimana kami tak gembira?”, seru salah satu
daun.
“ bukankah Tuhan bahkan tak
pernah luput pandangan atas makhlukNya, kapan dan dimanapun?. Jadi kupikir itu
biasa saja”, jawabku ketus.
Lantas, daun-daun itu pun mulai
meletak, tergeletak, tak bersemangat. Seperti ada kesedihan pada mereka.
“Betul kata dia, tak ada waktunya
bersuka ria, tasbih kita masih terlalu sedikit”, sahut daun yang lain.
Aku terdiam, apa kabar tasbihku,
mungkin masih hitungan jari. Mereka, makhluk yang senantiasa bertasbih itu merasa
belum apa-apa. Maka, sesungguhnya aku lah yang terjatuh, tersungkur, terluka
oleh kesedihan-kesedihan.
Beberapa penumpang sudah mulai bersiap masuk,
pak supir yang juga merangkap kondektur itu terlihat sibuk menyobek karcis. Aku
duduk paling belakang, bersama beberapa lelaki kekar. Mesin sudah dinyalakan,
bis mulai membuat kami bergoyang, itu tandanya bismillah harus sudah terucap.
-0-
‘Terminal Lempake, Samarinda’.
Tak ada yang istimewa disini, seperti kebanyakan terminal, yang terlihat hanya lalu
lalang para musafir. Sampai ketika aku melihat ganjal kayu disela-sela impitan
ban bis.
“Istimewa”, bathinku. Kupikir
istimewa itu tentang cara pandang, tentang arsiran tersendiri yang kita buat
padanya. Istimewa hanyalah frase untuk mengistilahkan kemewahan. Maka, jangan
tanyakan kenapa itu istimewa, karena sesungguhnya selera mewahku cukup rendah.
-0-
Simon, begitulah namanya. Ia
adalah ketua Gramina, sebuah organisasi masyarakat yang bervisi pada perjuangan
hak asasi manusia. Ayahnya dari NTT, yang kemudian menikah dengan seorang
perempuan Dayak Benuaq. Aku dijemput olehnya menuju kampung Benanga, sebuah
kampung yang memang banyak dihuni masyarakat Dayak Benuaq. Disana, ia mengasuh
sebuah sanggar kesenian, mendidik anak-anak Dayak Benuaq untuk turut serta
melestarikan kebudayaan mereka.
Modernisasi memang tak bisa
dihindari, tetapi sebagai implikasinya, begitu banyak tradisi dan kebudayaan
masyarakat yang tergerus. Anak-anak sudah banyak yang tak mengenal
kearifan lokal. Kearifan lokal adalah hasil ukiran kebuadayaan masyarakat yang
terbentuk dalam kurun waktu yang sangat lama, didalamnya terdapat nilai-nilai
filosofis kehidupan, dan tentu, sebuah cara berkehidupan yang jauh dari
pragmatisme.
“Anak-anak sudah banyak yang
tidak bisa berbahasa Dayak mas”, begitu keluhnya berkali-kali.
Malam itu, kami semua berkumpul,
anak-anak serta orang tuanya juga beberapa tetua ikut dalam sebuah lingkaran.
Kami membicarakan banyak hal, tentang keinginan mereka yang kuat bahwa Dayak
Benuaq harus maju, mereka mengatakan diantara saudara Dayak yang lain, Benuaq
lah yang masih belum maju. Tetapi secara kebudayaan dan kesenian, Dayak Benuaq
lah yang paling kaya. Maka, visi mereka adalah ingin agar secara kehidupan,
Dayak Benuaq bisa maju. Begitu pula kesenian dan tradisi, mereka berharap agar
bisa tetap lestari. Banyak cerita rakyat yang disampaikan, tentang perang antar
suku beberapa abad lalu, tentang kekeringan 7 tahun, tentang perjuangan untuk
Indonesia Merdeka. Kebanyakan cerita mereka masih disertai bukti-bukti yang
banyak tersimpan dibelantara hutan kalimantan.
Makanan tiba,
“mas, silakan pimpin do’a”, kak
Simon mempersilakan.
“Tuhan, Engkaulah pencipta
manusia Dayak, manusia Jawa, manusia Eropa. Engkau pula lah pencipta
pemeluk-pemeluk Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan juga Islam.
Engkau juga lah pencipta nenek-nenek moyang kami semua, juga roh-roh serta
makhluk-makhluk ghaib yang bertebaran di jagad semesta ini. Terima kasih telah
memberi kami kehidupan selayaknya makhluk”, bathinku ketika merapal do’a.
Kebetulan dikampung sedang
berlangsung acara adat kematian. Acara pengangkatan tulang –tulang orang yang
sudah meninggal, hampir sama seperti di Toraja. Selama acara sekitar dua bulan
itu, tulang-tulang itu diletakkan di dalam Kwangkai. Sebuah kotak rumah-rumahan
yang ditutupi kain-kain. Malam hari biasanya orang-orang melakukan tari
Ngerangkau, mengitari Kwangkai. Selama acara berlangsung Lamin, sebutan untuk
rumah Dayak, tak pernah sepi dari aktifitas. Maka, pagi itu aku diajak kesana,
bertemu ibu-ibu yang sibuk menyiapkan masakan dan juga sesajen. Dan tak lupa
tetua-tetua yang sedang duduk melingkar di tengah lamin. Mereka bercerita
tentang hukum-hukum adat istiadat dayak, tentang reinkarnasi. Disana, hadir
tetua yang khusus mengurus kematian, dan juga tetua yang mengurus
hukum-hukum adat.
Suku Dayak Benuaq memang banyak
tersebar di wilayah Kutai Barat, maka mereka sering kali menyebutnya sebagai hulu.
Hulu dari adat dan kebudayaan benuaq mungkin.
Atau mungkin hulu itu adalah
tempat mereka hendak kembali ketika hilir-hilir kebudayaan dan kearifan lokal
mereka sudah semakin menjadi kering.
-----0------
No comments:
Post a Comment