Kubaca dari sebuah koran, katanya
manusia lahir itu seperti lembaran putih, kehidupan kita itu semacam menulis
pada kertas-kertas putih. Hingga ketika akhir raga, kertas-kertas itu menjadi
buku kehidupan.
Kusadari bahwa ternyata tak ku temui lembaran-lembaran putih. Di
hadapanku hanya ada bunyi sibakan kertas-kertas gelap, tak teramati. Maka, esok
hari kubawa sekuntum cahaya. Aku dekatkan pada buku itu.
Ya, ternyata lembaran-lembaran itu sudah bertuan, tulisan-tulisan rapi
nan padu, tak jarang juga kulihat mereka meleot, berantakan, lalu sisi yang
lain ada gambar beragam warna. Esok harinya kubawa cahaya dua kuntum, ku berharap
hari itu, gambar dan tulisannya menjadi keterpaduan. Tiap hari kubawa sekuntum
demi sekuntum cahaya, hingga suatu ketika, sampai ajalku menjelang,
kuntum-kuntum cahaya itu membuatku terbelalak. Ku dapati tulisan itu sudah
berbentuk beragam moda, gambar-gambar itu sudah menjadi beragam rupa. Kau tahu,
ternyata itu adalah kehidupanku.
Buku-buku itu sudah penuh tulisan, di
sela-selanya suda ada ribuan gambar. Hidup kita sudah dikonsep dengan rapi
olehNya. Setiap ludah yang kita ‘ciuh’kan, setiap lengan yang kita ayunkan, setiap
kedip yang kita lakukan, pada dasarnya sudah tertulis lawas dalam buku itu.
Setiap kelahiran manusia adalah kegelapan bagi dirinya, karena hakikat ruang
dan waktu adalah gelap. Jadi, mari kita meniti cahayaNya, perlahan, baris demi
baris, area demi area. Supaya buku itu menjadi terbaca, supaya kita tahu bahwa
sesungguhnya gambar itu begitu indah begitu rupa.
No comments:
Post a Comment