Pendakian kali ini memang sedikit berbeda. Ya, pendakian yang tidak banyak
berbeda inilah yang membuatnya sedikit berbeda. Hmm
Matahari sudah menyingsing
cukup terik, menampar bulir-bulir embun untuk segera beranjak. Sesekali
siluet-siluet rumah serasa menggoyang badan, aku memang sudah terjaga, tapi
fokusku sedang tidak sempurna. Logistik memang sudah tersiapkan, peralatan
pribadi yang sudah jadi kewajiban tak perlu lagi ditanyakan. Entah kenapa, kali
ini aku ingin termenung, mencermati lelaku semut berebut jemur, mendermakan
dengar untuk sekedar merasakan air yang terpental dan lagi, kulantunkan suara
senyap yang terdengar merdu. Merduku itu tentang diamku, merduku itu tentang
suara-suara riuh di sekitarku. Tiba-tiba, sontak aku merasa terkaget,
“hai kawan, apalagi yang kau risaukan? Berangkatlah sana, cari pencarianmu!.
Kau terlalu banyak merenung”, sang semut memang terasa cukup mengagetkanku
“sudah, cukuplah kau merenung!, benar kata dia. Pantas saja kau tak pernah
punya pacar selama ini”, si air tanpa dinyana ternyata ikut juga.
“........”, diamku semakin merdu.
Aku
bersiap berangkat, sudah jam 11, cukup membuat mas Zaeni terlihat berang.
Pantaslah ia bersikap seperti itu, perjanjian yang kami buat dengan saling
mengiya kemarin itu tercantum pukul 8 pagi. Atau, mungkin saja karena kemarin kami lupa
berinsyaAlloh, beginilah jadinya. Tapi
biarlah, bukankah Alloh yang punya skenario, cukup kami menjalankannya saja.
Mungkin sesekali ada prasangka, kekhawatiran bahwa “ah, rencana kami meleset”,
sesungguhnya itu semua sengaja dipelesetkan oleh-Nya. Sebagai aktor yang baik,
sudah seharusnya manusia pandai berimprovisasi, “alhamdulillah meleset”,
sehingga diharapkan yang muncul adalah syukur tiada henti, syukur yang sustain, syukur yang melesat.
Motor kali ini melesat
cukup lambat, bukan karena tidak ingin cepat, tetapi karena tidak ada hasrat
untuk melaju cukup cepat. Toh, siang
itu langit terlihat cukup teduh, jadi sholat dan makan siang dipinggir jalan agaknya
menjadi pilihan tepat. Itu artinya kami menjadi musafir, secara emosional aku
sangat suka kata itu, musafir. Sebuah sebutan yang identik dengan perjalanan,
yang dirunutkan sebagai aktifitas diperjalankan. Aku menangkap aura bergerak
terus, tiada berhenti, bukankah kasih ibu sepanjang jalan. Dari situ -diperjalankan-
lah kemudian bermunculan cerita dipertemukan, diperlihatkan, diperdengarkan,
dan lain sebagainya. Ini terasa seperti dunia/hidup penuh kejutan.
Ungaran, itulah gunung
tujuan kami. Gunung menjadi pilihan karena kami merasa gunung adalah pribadi
yang membumi, menancapkan pancangnya hingga begitu membumi. Bukan berarti ada
yang salah dengan langit, justru ini tentang keterbatasan-keterbatasan yang menyebabkan
kita menjadi sangat melangit, memandang langit menjadi tampak begitu indah,
menikmati sapuan awan yang terkesan abstrak tapi sangat eksentrik bahkan cukup
artistik. Hari sudah sore memang, ketika kami sampai di basecamp, sehingga
cukup untuk menyempatkan sholat di masjid kampung. Ini juga yang menyebabkan
kami lebih memilih jalan belakang, bukan jalur konvensional, yaitu jalur gedong
songo. Jalurnya tidak begitu belukar, diawal malah cenderung didominasi
perkebunan, kebanyakan sayuran memang.
Pagi yang cukup cerah,
menghadirkan sunrise di serat-serat
rerumputan. Jadi tak perlu lagi aku mendongak, karena kemilau mentari sedang
terinjak dibawahku. Pagi itu kami tidak terlalu bergegas, biarkan Dia yang
menggerakkan. Sesekali kami lantunkan ayat-ayat Al-qur’an, menghadirkan ruh
bagi jasad-jasad semesta yang sedang terhampar.
“terimakasih telah membantuku menghidupkanmu”, ucap sebuah pohon diseberang
tenda yang terhembus angin pagi.
Ya, hakikatnya memang aku yang dihidupkan, merangsang elemen-elemen
jasadiyah diri agar menghidupkan ruhiyah yang semakin mendekati mati.
Bismillah, kami akan
memulai pendakian kembali. Sebotol jagung sudah disiapkan sebagai tasbih. Kami
sadar betul, dzikir kami hanyalah dzikir masyarakat iman menengah kebawah,
dzikir-dzikir yang mungkin hanya terucap. Dan kami sadar betul bahwa alam
semesta ini berdzikir tiada henti padaNya dengan sangat tulus dan tunduk. Maka
kami harap setiap biji yang terlempar karenaNya menjadi termakan oleh burung
yang sudah teruji taatnya pada pemiliknya, terlumat oleh mikroba-mikroba yang
selalu amanah pada tugas dariNya sehingga menghadirkan pupuk-pupuk bagi tumbuhan
yang selalu berdzikir, terpakai oleh semut-semut untuk berpesta dengan
senantiasa menyebut namaNya.
Tasbih kami masih tersisa,
pendakian tidak kami teruskan hingga puncak. Karena puncak itulah akhirnya kami
memutuskan untuk turun, menghabiskan sisa jagung/tasbih ditengah guyuran hujan.
“hai kawan, katanya kamu sedang tak punya pacar?. Tak usah risau, teruslah
berdzikir!” seru segerombolan semut yang tengah membopong tasbih
“......” merduku semakin bersuara.
5 comments:
subhanalloh, indah nian perjalanan merentas belukar dan mendaki puncak keimanan ini. ^_^
senang di sini tersedia untaian kalimat yang mengikat makna dan membuat dahi berkerut sedikit lama.
damai bgt keknya, ibadah di alam terbuka, dpuncak pulaa..brasaa dekat ma yang Maha Kuasa :)
nice story ^_^
Semoga kerutnya semakin permanen
Alhamdulillah tidak sampai puncak. Semoga tidak hanya tentang 'berasa', tapi 'ternyata'.
Merasakannya di alam terbuka, shalat, mengaji sepertinya akan membuat pikiran menjadi jernih kembali :)
Post a Comment