Acara diawali
dengan monolog dari Muhammad Ainun N (Cak Nun), menjelaskan secara eksplisit,
terkadang konotatif bahkan sesekali terdengar retoris mengenai tema besar dan
latar mburi pegelaran Teater
bertajuk “Nabi Darurat dan Rasul
Ad-hoac”. Sekitar sepuluh menit sang Penulis Naskah ini menyuguhkan monolognya
dengan filosofis serta sangat analitis dan semuanya merupakan akomodasi dari cuilan-cuilan
realita-realita yang menjadi jasad bagi kehidupan anak-anak Adam di Bumi
Pertiwi, Indonesia Raya.
Cak Nun
Kisah ini
dimulai ketika seorang anak desa bernama Joko Kamto yang juga dikenal sebagai
Ruwat Sengkolo membuat kurungan di dalam rumahnya di desa. Ia tinggal bersama
mbah Soimun, kakeknya. Akibat tingkahnya yang aneh itu yang terkadang sesekali
menyabdakan diri, banyak warga berspekulasi bahwa Ruwat Gila, ingin bunuh diri,
dukun tiban bahkan ada yang mengatakan bahwa ruwat adalah Nabi Darurat dan
Rasul ad-hoac.
Lakon Kang Ruwat Sengkolo
Kegaduhan ini
membuat Pak Jangkep, ayah Ruwat, yang sedang merantau di Jakarta harus pulang
kampung. Begitu pula Alex Sarpin, seorang aktivis dan mahasiswa S2 yang pandai
berteori dan ber’ensiklopedi’ ikut serta mengurusi keributan itu. Ditambah lagi
obrolan dari anak-anak letto yang dikisahkan sedang indekos di sebelah rumah.
Isu-isu mengenai kekerasan dan perilaku anak muda jaman sekarang juga menjadi
bahan dagelan mereka.
Isu besar yang
di angkat di awal adalah mengenai kiamat,
“....jangan percaya perhitungan para
manusia-manusia yang mengaku ilmiah,..... kalau kiamat akan tejadi di 2060. Itu
tidak mungkin, kiamat akan terjadi lebih cepat.....”,
sempalan suara lantang Ruwat
sedikit menyinggung keangkuhan manusia yang sudah mulai terlihat ‘menuhankan’
ilmu pengetahuan, mengagungkan logika dan kekuatan pikiran yang membuatnya
semakin terlihat takabbur.
Kericuhan
mengenai kiamat itu tiba-tiba memunculkan gemuruh yang ternyata mengundang
kehadiran Brah Abadon (Sabrang ‘Noe’ Letto), sosok implisit yang mengaku sebagai
utusan Baginda Isrofil, tokoh malaikat yang diberi kuasa oleh Allah untuk
menyuarakan kiamat dengan sengkolonya.
“...kamu terlalu berambisi untuk
menjadi panitia kiamat...”,
suara Brah terdengar tenang dan
introgatif, tetapi tidak menyurutkan gelak tawa di banch penonton.
Malam
semakin larut, penonton semakin duduk tidak beraturan, mencoba mencari posisi
ternyaman untuk kembali melanjutkan adegan-adegan yang semakin lama semakin
eksplosif. Sesekali Letto melantunkan tembangnya, bukan oleh suara merdu kang
Sabrang ‘Noe’, tetapi suara emas Dony
Kiai Kanjeng. Mungkin inilah yang dibilang Noe sebagai konsep lagu, lagu-lagu
Letto merupakan deskripsi dari cinta-cinta yang general. Yaitu cinta-cinta yang
dapat dianalogikan dengan berbagai setting
maupun lakon. Bisa jadi, lagu yang dibawakan malam itu merupakan soundtrack dari dilematisme
manusia-manusia akan hati, pikiran dan Tuhan mereka.
Tingkah
Ruwat semakin aneh, membuat ki Janggan turun tangan untuk menenangkan muridnya
itu. Eksplorasi dan improvisasi Ruwat sudah sangat jauh, bahkan ki Janggan
sebagai gurunya pun merasa tak pernah mengajarkan hal semacam yang sudah
dilakukan oleh Ruwat. Ia seperti tak punya kuasa, hanya nasehat dan pitutur sebagai seorang guru lah yang
bisa ia lakukan.
Jargon-jargon
seperti ganjil-ganjil, kekerasan dan edanisme juga menjadi topik pada malam
itu.
“....hanya satu ganjil yang
benar-benar genap...”,
manusia seperti sudah menjadi
semakin aneh, sudah bertingkah tidak sesuai fitrahnya.
“...bahwa agama menghasilkan
perilaku yang merusak...”,
agama banyak dijadikan sebagai toa dalam menggaungkan suara-suara
kekerasan yang sebenarnya lebih didasari oleh egoisme dan sifat eksklusif suatu
golongan.
“...hanya manusia yang bisa edan,
karena Tuhan memberinya akal. Hanya makhluk yang berakal yang bisa edan...”,
ternyata penghuni bumi ini sudah
mengalami gangguan akal, bukan gangguan jiwa. Karena jiwa tak salah apa-apa, ia
hanya menurut apa kata juragannya.
Warga
diluar rumah semakin anarkis, di dalam rumah Ruwat semakin meng’gila’ dengan
monolog-monolog panjangnya maupun obrolan-obrolannya dengan Brah Abadon.
“...jangan lakukan perubahan...”,
sebuah pesan yang menyuarakan
akan pentingnya melakukan perubahan, sekarang dan sesegera mungkin.
“...hai semua makhluk langit,
turunlah ke bumi. Jangan hanya manusia yang kau suruh mengurus bumi ini...”,
sepertinya merupakan
pemberontakan diri yang muncul karena klimaks atas usahanya dalam memikirkan
urusan-urusan bumi yang semakin ruwet. Mungkin karena hanya memikirkannya, just
do it.
“...bukannya manusia adalah ahsani taqwim?...”, Brah terdengar datar
“...ya, tapi sekarang sudah
menjadi asfala saafiliin ...”, jawab
Ruwat dengan cepat.
Pak
Lurah Sangkan kemudian masuk, berniat mengajak Ruwat ke pihak berwajib agar
dapat lebih aman karena ia sendiri sudah susah mengendalikan kebrutalan
warganya. Pak Jangkep ternyata tidak terima dan menghalang-halangi keinginan
Pak Lurah. Kemudian datang Pak Gaspol, seorang petugas kepolisian, membawa
sebuah bedil laras panjang dan
mempunyai niat yang sama dengan Pak Lurah, tetapi
“..treeet, treet...”, suara
terompet Ruwat mengagetkan Pak Gaspol bahkan melimbungkannya. Pak Gaspol
semakin menciut. Dialog pun muncul antara keduanya yang lebih menitik beratkan
pada penegakan dan aplikasi hukum juga tentang probabilitas interaksi antara
270 juta manusia yang hanya dikendalikan oleh hanya sekitar 2ribuan
undang-undang.
“...yang harus di tegakkan itu
seharusnya adalah supremasi keadilan, bukan supremasi hukum. Karena hukum tidak
dapat mencakup hati nurani, moral dan juga akal sehat...”
pernyataan yang semakin membuat
Pak Gaspol garuk-garuk kepala. Entah berpangkat apa penegak hukum yang satu
ini.
“...bruk...”,
tiba-tiba Ruwat merubuhkan sangkarnya. Mungkin Ruwat sudah sadar, ia mungkin
sudah menemukan pencariannya yang selama ini ia renungkan di dalam sangkar.
Bisa jadi karena dialog-dialog, diskusi-diskusi maupun interaksi-interaksi yang
baru saja dilakukannya. Ruwat sudah salah besar dengan mengurung diri, banyak
manusia diluar sana yang juga peduli pada bumi, bahkan banyak sekali
kepolosan-kepolosan yang mampu meruntuhkan keangkuhan ‘sundul langit’, meratakan idealisme-idealisme dan bahasa-bahasa
setinggi langit.
Kisah
diakhiri dengan petuah Mbah Soimun agar manusia tidak sombong dengan ilmunya
(menunjuk Alex Sarpin), kekuasaannya (menunjuk Pak Lurah) ataupun dengan
kekuatannya (menunjuk pak Gaspol). Karena sebenarnya manusia tak punya kuasa
sedikitpun atas hal-hal itu.
Senandung
suara Noe bersama Lettonya mengakhiri acara malam itu, menyisakan sebuah raut
kepuasaan dan introspeksi pada setiap diri penonton.
Foto-foto dapat di lihat di :
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.2698939284665.2103774.1592155838&type=1
Foto-foto dapat di lihat di :
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.2698939284665.2103774.1592155838&type=1
2 comments:
apik kin, reviewmu menurutku sudah setara sama jurnalis-jurnalis hebat. cocoklah sama hobimu "mbolang", hehe.
hehehe, opo gol gol...iya ben iso menyikap tabir pelaku-pelaku kriminal almamatermu gol....qiqiqii...semoga bukan dirimu gol...
Post a Comment