Kenapa hati harus dinaikkan kelas menjadi mata
hati, tidakkah sayang mempertontonkan hati pada banyak hal di dunia yang bahkan
tidak mengharapkan kehadiran hati. Tidakkah ia nanti akan sakit hati, melihat
keberadaannya seperti sudah tiada arti, seperti sudah tidak dianggap lagi. Atau
bisa jadi ini alibi para manusia untuk mengajak hati agar bermain mata dengan
dunia, dunia yang telah membuat kelima indera mereka seperti mati fungsi, bisa jadi.
Lantas, bagaimana kalau nanti ia mengalami rabun
jauh atau rabuh dekat, bahkan silindris. Tidakkah itu akan menjadikan banyak
hal menjadi samar. Sudah siapkah wajah cantikmu menjadi terlihat hambar,
kebaikan-kebaikanmu mengabur, sehingga baikmu diprasangka jahat atau jahatmu
menjadi terlihat sangat baik.
“tenang
saja, kan masih ada lensa kontak dan kacamata” sahut Mawar dari ujung taman.
“lagi
pula cantikku tidak kemudian menjadi jelek karena mereka melihatku jelek, gak pate’en aku” ternyata Mawar ini
masih berdarah Suroboyo.
“wes ta, ayumu karo elekku iku wes mutlak, umek ae. Dipatek malaikat kapok kon”
seru ulat keket di ujung pohon.
Sepertinya mereka memang masih satu rumpun dengan Ahmad Dhani.
Apa jadinya nanti kalau uang rakyat
dan uang istri sudah tidak ada beda lagi. Miliaran uang rakyat menjadi miliaran
uang istri tentu bukan substitusi yang diijinkan matematika hukum, apalagi uang
istri menjadi uang rakyat, tidak tahukah kalau biaya perawatan kecantikan
sekarang mahal, bisa jadi.
“jadi
bagaimana?” Mawar menggumam.
Atau
sebaiknya kita biarkan saja hati dan indera berelaborasi, biarkan saja bisa jadi-bisa jadi tadi benar-benar
terjadi. Toh, itu semua akan
memberikan pengayaan rasa pada kita. Lagipula bukannya masih ada Hati Nurani?.
foto diambil disini
No comments:
Post a Comment