Seorang
kakak mempunyai dua adik, salah seorang adiknya bertanya
Adik 1 : Air
payau itu apa sih kak?
Kakak : air
payau itu campuran air laut dan tawar, biasanya kadar garamnya lebih kecil
daripada air asin. Blaaa..blaa...
Adik 1 :
oww.. (antara paham dan mengiya saja. Tapi dari raut muka, ia terlihat
kebingungan)
Suatu hari,
seorang adiknya yang lain diajak ke sebuah pantai, disisi pantai ada muara
sungai.
Kakak :
adik, ayo ikut kakak.
Maka dibawalah
ia ke muara itu.
Kakak :
sekarang cobalah rasakan airnya!
Adik 2 : bebebhhkh,
asin kak (raut mukanya mengernyit)
Kakak :
sekarang coba ini (sambil berjalan ke arah pantai dan menunjuk air laut)
Adik 2 :
bebebhkkh, lebih asin kak, asin sekali malah (raut mukanya jauh lebih
mengernyit)
Kakak : yang
tadi itu namanya air payau, ini air laut.
Adik : ow
begitu ya. Payau ya kak (ekspresinya menunjukkan pemahaman)
Ini lah metode penginderaan. Mendefinisikan
menjadi lebih mudah,
“air payau adalah ini, air laut
adalah itu”
Bukan bla bla bla yang terlihat rumit dan butuh kecakapan khusus.
Bahkan definisi-definisi itu akan
muncul terlebih dahulu, sebelum muncul istilahnya. Tinggal diintepretasi dalam
sebuah nama.
“kalau yang ini namanya air
payau, yang itu namanya air laut”
Ibarat music, na naaa naa (alunan instrumen music) itu
sudah bisa mendeskripsikan sebuah perasaan gembira, tinggal apakah gembira itu
karena ditinggal pacar, lulus ujian, di traktir Dawet Banjar atau gembira-gembira spiritual tergantung
bagaimana diintepretasikan dalam bentuk lirik-lirik.
Seperti itu jugalah yang coba
Sekolah Habitat Indonesia (SHI) lakukan.
No comments:
Post a Comment