Kala
itu mentari semakin terendam dalam malam, engkau masih merintih, menunggu sang
Ayah yang sedang berpeluh. Diriku yang sedang dalam janji Tuhan ini terkandung
dalam mu, sesungguhnya engkau mengandung derita yang mendera, sakit yang begitu
lama. Andai saja aku tau itu, sungguh lebih baik aku tak disana, didalam rahim
nyamanmu itu. Tapi entah senyawa apa yang diberikan Tuhan untuk melebarkan
senyummu, memekarkan bunga-bunga bahagiamu. Hingga kau dengan rintih yang
teramat membukakan jalan lebar untukku, dengan lamat-lamat suara adzan di ujung
telinga, menuju dunia yang kau yakin dan pastikan dengan kasih sayangmu akan
membuat semuanya menjadi menggembirakan, menyenangkan untukku.
Ibu,
hariku memang gembira,
Ibu,
dunia ini memang membuatku senang
Tapi
aku tau, kehidupan ini begitu berat dan terjal untukmu, tak jarang aku
melihatmu terengah, sesekali kulihat engkau menangis, terisak di tengah sunyi
sepertiga malam, terkadang kulihat dompetmu melompong, tapi kenapa, uang sakuku
selama ini tak pernah bolong.
Aku
tau itu, maaf Ibu, aku melihat itu tanpa sepengetahuanmu.
Aku
tau, kamu akan sangat marah jika kamu tau.
Beranjak
besar, aku seperti melupakanmu, hiruk pikuk masa remaja seperti tak memberikan
kesadaranku akan kasih sayangmu, engkau semakin terlihat layaknya pelayanku.
Peluhmu masih tak berhenti, begitu pula dengan dekap kasihmu. Ternyata senyawa
itu masih bekerja saja.
Kamu
jadikan aku sebaik-baik penuntut ilmu, tak pernah kamu biarkan celana abu-abuku
menjadi semakin abu, buku-bukuku pun selalu baru, sepatuku malah sering kali
dipuji temanku.
Tapi
maaf ibu, aku sudah merasa menjadi kaum terdidik, aku tau pendidikanmu tidak
lebih tinggi dariku. Lalu aku menjadi semakin congkak, semakin membuatku tak
sadar akan hadirmu.
Kerap
kali aku melawan omonganmu, tak kudengarkan lagi nasihat-nasihat teduhmu. Itu
karena aku merasa lebih tahu, maafkan aku Ibu.
Aku
kira aku semakin dewasa karena kesungguhan dan kematanganku dalam menuntut
ilmu, ternyata aku salah, kasih sayangmu adalah keniscayaan pada kedewasaanku.
Hingga
suatu waktu, rintihmu itu telah menjadi tak tertahan, memunculkan sakit-sakit
yang mulai menyayat, menampakkan akumulasi derita yang begitu lama kamu pendam,
aku sering kali tak tega melihatmu terbaring begitu. Inikah efek samping dari
senyawa itu?. Maaf Ibu, ibaku hanyalah dosis kecil untukmu, tak semujarab kasih
sayangmu.
Lalu…..
Tiba-tiba
kamu tersenyum disana, melihatku dengan mata terpejam.
Innalillahi wa inna ilaihi
roji’un……
Kucondongan
kepalamu pada kiblat, sebagaimana kamu tunjukkan kiblatNya padaku
Allohummaghfirlahaa ya Robb
Kulamatkan
suara adzanku,
AllohuAkbar AllohuAkbar…
Menggema
dipetak dua kali satu itu.
LailahaillaLloh…..
Tugasmu
untukku telah usai Ibu.
Senyawa
itu pun meluruh, menguapkan semerbak harum di pelataran memori tentangmu.
Mentransformasi isak-isak haru menjadi senyum-senyum syukur yang merekah.
Alhamdulillah,
Engkau telah manfaatkan dia sebagaimana mestinya ya Alloh.
Kini,
nyatamu semakin nyata, karena tiadamu semakin membuatmu mudah untuk hadir dan
ada kapan dan dimana saja.
foto ambil disini
foto ambil disini
1 comment:
topp
Post a Comment