-Cerita
bersama teman Lungsur dan Prof Dampit-
“Sore
ini aku menangis begitu sedu, air mataku begitu membuncah laksana gairah.”
Ada
apa gerangan engkau menangis hai kawanku?
“entahlah,
aku seperti menangis tanpa sebab, atau mungkin karena sebab-sebab yang begitu
banyak, sebab-sebab yang beragam, sebab-sebab yang memiliki begitu banyak
definisi. Sehingga begitu susah untuk menjadikan ia menjadi sebab”
Lho,
memang apa yang kamu rasakan.
“aku
merasakan kesedihan yang membuatku begitu merasakan kegembiraan”
Kesedihan
akan hal apa itu?
“kesedihanku
sebagai hamba Allah, sebagai umat Rasulullah, sebagai anak dari seorang bapak, sebagai
pengalir jariyah dari seorang Ibu, sebagai sahabat dari banyak manusia, sebagai
pecinta malaikat dan pengagum Iblis, sebagai teman hidup begitu banyak tumbuhan
dan hewan”
Itu
kan bukan jenis kesedihanmu, itu kan baru deskripsi subjek pelaku kesedihan.
“itulah,
aku juga ndak tau”
Subhanalloh,
alhamdulillah, kamu sudah disedihkan olehNya. Kamu mungkin terlalu bahagia
selama ini, hatimu mungkin begitu sempit untuk menerima kesedihan, dalam dirimu
ada selapang ruang bagi kegembiraan, sehingga kamu mengabaikan anugrah Alloh
yang begitu indah atas kesedihan. Maka, bersedihlah, supaya kamu mengerti kenapa
“Laa Tahzan”.
Lagipula,
Alloh bisa saja menyedihkanmu atau membahagiakanmu tanpa alasan, maka
hati-hati, jangan suka mencari-cari alasan. Kalau tidak ketemu apa yang kamu
cari, lantas kamu ‘stress’ jangan salahkan aku.
“L”
kok
masih menangis lagi?
“kamu
membuat sebab tangisku menjadi nyata”