Monday, April 8, 2019

Purnarupa


Belakangan, saya menyadari. Setan sudah secara masif menyerang saya, terasa sekali.
Saya mulai mengidentifikasi. 

Kaki saya misalnya, saya rasai ia ada disana, sering kali menahan langkah saya menuju tempat-tempat kebaikan.



Lalu tangan, ia sering menunjuki saya untuk merabai banyak hal buruk dan menghasilkan kebatilan - asli produk kerajinan tangan saya.

Lisan, saya yakin ia adalah provokator utama bagi keluarnya umpatan dan kata-kata tak mengenakkan dari lisan saya.

Mata, ia rasa-rasanya punya kendali atas retina dan segala hal penghasil visi, pandangan saya. Yang darinya saya sering melihat ketidakbaikan, dengan sengaja.

Telinga, di bagian ini, ia menjadi semacam radar, mendeteksi pergunjingan dan rumpian. Lalu, melarutkan pendengaran saya dalam frekuensi itu.

Pikiran, ia selalu serta dan mejadi pengusul utama, bagi segala kebulusan akal dan pikiran kotor saya.
Kemudian hati, saya mencari-cari ia, ke sela-selanya, tak ada. Saya cari lagi, barangkali saya salah rasa, tetap tak ada. 
 
Lantas, saya coba runut kembali dan menyadari bahwa ia memang tak ada, di semuanya. Bahwa penyebab semuanya memang ia. Dan ia adalah saya. Ia adalah saya yang purnarupa. Dari saya atas saya dan untuk saya, sendiri.

Hamba Misteri



Saya, sering membayangkan. 'Kehidupan' saya dimulai dari sebuah pesan anonim. Yg di dalamnya berisi pesan misterius. 

Saya suka pesan misteri. Bukan karena saya orang yg cerdik, bukan. Saya begitu suka melihat saya tampak bodoh.


Lalu dengan kebodohan itu saya pergi menelusur, menyusur ke ruang-ruang baru. Ruang-ruang petunjuk bagi hilangnya kemisteriusan pesan itu.

Hingga saya ada di titik zenith kemisteriusan. Menemukan dan menyadari bahwa misteri itu absolute. Bahwa di ujung misteri ada misteri yg lebih besar. Bahwa kita dihidupkan dari misteri oleh Yang Maha Misterius. Dan pada akhirnya, kehidupan dan akhir kehidupan adalah proses atas misteri dan menuju misteri.

Pada akhir cerita bayangan ini, saya terdampar dan menjadi anonim. Lalu meminta laut, udara atau apa saja untuk mengantarkan pesan misteri, "aku disini, duhai hamba misteri".

Ikhtiar Golongan Putih


Teman saya. Kaitannya dengan coblos mencoblos pemilu. Bolehlah dibilang apatis.
Apa pasal?. Dia, sejak punya ktp dan mendapat hak pilih tak pernah sekalipun turut bagian dalam pemilu. Baik lurah, walikota, gubernur, legislatif, sampai presiden.

2009, saat pilpres. Saya lihat dia rutin membeli banyak koran, beberapa macam koran maksudnya.

"Hampir semuanya tendensius, ada keberpihakan", katanya.
Agak susah memang mencari media berita yg tidak berpihak.
 
" Makanya, aku baca semua sumber media yg berpihak. Untuk menjaga ketidak-berpihakanku. Supaya aku punya kesimpulan sendiri, punya kalkulasi sendiri terhadap berita yg kuterima", begitu dia pernah bilang pada saya.


Dan kesimpulannya, pilpres 2009 dia tak serta.
Perayaan pemilu 2014 lalu pun tak jauh beda. Hanya, sekarang tak ada argumen-argumen analitis lagi.

Yg mengherankan, saat pileg, saya lihat dia sudah rapi dengan baju panjangnya. Saya kira dia akan berangkat nyoblos, berjalan ke arah tps. Tapi, dia malah menikung ke masjid, sholat 6 rokaat lalu pulang.


Katanya, "aku baru saja minta sama Alloh supaya pileg ini menghasilkan wakil rakyat yg amanah".
Saya salah sangka. Ia memang sengaja 'hanya' ingin pergi ke masjid.


Saat pilpresnya, dini hari saya terbangun karena aktifitasnya. Tumben, begitu pikir saya. Ternyata, dia sedang tahajjud. Lamat-lamat saya dengar tangisnya. Agak membingungkan waktu itu, sepengetahuan saya dia jarang sekali tahajjud, bahkan bisa dianggap nol barang kali. Dan sekarang tahajjudnya tersedu, sekali-kalinya.

"Aku lagi minta sama Alloh agar menggerakkan hati pemilih. Supaya mereka memilih pemimpin yg baik dan membawa mereka pada kebaikan", akunya satu waktu. 

Dan tetap, sampai sore saya tak lihat jarinya tercelup tinta.

Sekarang, saya jadi ragu menyebutnya apatis. Harus disebut apa orang yg meluangkan waktu dan berdo'a sungguh-sungguh agar pemilu benar-benar menghasilkan orang terpilih, kalau bukan orang yg 'juga peduli'?.

Saya tak berniat mengajak dirimu tak nyoblos, sungguh. Pula, tak ada terbesit untuk menyuruhmu nyoblos. Hanya saja, kalau selama ini dirimu mengistikharahkan kebimbanganmu dalam proses memilih calon istri. Sepertinya, ada baiknya kamu istokharahi pula pemilukada kali ini. 

Ajak Tuhan terlibat dalam hatimu. Supaya kamu termasuk dalam bagian golongan putih

Berdiam Hati



Satu waktu, saya duduk berdiam hati. Memaknai, menyadarkan diri pada perlaluan udara pagi.

Isi...tahan...hembus.

Lalu saya mencoba masuk getaran nadi. Merasa frekuensi-frekuensi yg malang melintang.

Ada yang hidup disana, melambai memanggilku. Ya, kembang itu. Satu kelopaknya bergoyang, empat lainnya diam.

"Aku padamu" bilangku.

"Tenang bung", suruhnya.
"Aku mengamati gerik pikiranmu belakangan ini. Sedang cari apa bung?"

"Kemuliaan", sahutku
"Dengan apa aku bisa dapatkan?"

Gurat merahnya mengembang, sesekali bahkan tampak meliuk.

"Dengan apa?"
"Harta, keterkenalan, kuasa, perempuan, kedermawanan, atau..."

Lima kelopaknya bergoyang serempak

"Ya, bisa", katanya
"Kalau itu diatas panggung manusia. Di panggung kami, kamu harus tanggalkan semuanya".

"Kalau panggung tertinggi?", tanyaku kosong.

"Bahkan, jangan berani-berani membesitkannya sekalipun".

Dua hari kemudian, ia kuyu, layu



*Dec, 2015