Friday, June 28, 2019

Jumpa Cahaya


Satu waktu aku bertemu cahaya, pertemuan yang sengaja. Aku bertanya kabar kepadanya, juga hal ihwal macam rupa.
“Kemana saja pergimu, tak banyak tampak lagi dirimu dimana-mana?”, tanyaku.
Hari ini memang sedang terik, biasa, tingkah kemarau ketika menjelang akhir kalanya.

“tak kemana-mana”, jawabnya ketus.

“bagaimana kamu bisa bilang tak kemana-mana, mencarimu saja susahnya begini!”, Kuketusi balik.

Barangkali, itulah sebab kenapa saya tak pernah tercahayai. Sikap saya pada cahaya adalah penolakan, atau autotolak barangkali. Seperti bulir-bulir sel darah, dhulumat mengalir begitu saja di sekujur tubuh saya, sudah dianggapnya rumah sendiri nampaknya.

“Aku memang tak kemana-mana!”, timpalnya lagi.

“hmm”, ketusku tak hilang.

“Dahulu, aku biasa hadir dan menghadiri hati orang-orang yang merasa gulita, lalu diharapnya ada cahaya yang mampu menunjukinya apa-apa yang sebetulnya terwujud”, dia mulai melunak.

“lalu?”

“Belakangan, mereka tidak merasa bahwa aku bisa hilang kapan saja. Mereka juga sudah lupa pada gulita yang bisa datang kapan saja”.
“Yang kukhawatirkan adalah, bagaimana mereka bisa mengharapkanku lagi sedang mereka merasa sudah memilikiku”

“Memang akibatnya apa?”, tanyaku.

“Dalam gulita, orang sebetulnya hanya menyimpulkan dari apa yang dia asumsikan dari perabaan-perabaannya, bukan apa yang sewujudnya dia lihat secara keseluruhan”.

Aku menyalakan kipas angin untuknya, bukan cuma hari yang terik, dia juga tampak makin terik.

“Jadi, kamu mau kemana lagi?”, tanyaku.

“mencari orang-orang yang masih merasa gulita”

“aku?”, mengharap.

“moh, wegah. Kamu memang merasa gulita, tapi tak pernah berharap cahaya”.

Terik itu hilang seketika, gelap segelap-gelapnya, dan aku larut didalamnya.


*< October 2018

Bau Bau Bau


Pada tumpukan sampah menyengat saya sering terpekur, mempersiapkan respirasi untuk menghirup sedalam-dalamnya, dalam betul rasanya. Kalau rasanya sudah mau habis saya hirup lagi. Dan biasanya hanya akan berhenti pada satu titik, saat wajah saya seperti sedang musim mekar bunga, gairah ruhiyah saya seperti bersandar pada bayang pohon, sejuk.

Hidung, sebetulnya tak tau menahu soal hal busuk dan harum. Reseptornya hanya tau perihal konsentrasi-konsentrasi, jenis-jenis senyawa. Hidung, sebagaimana indra yang lain, buta soal perspektif. Ia, tak tersangkut paut pada penilaian.

Saya sebetulnya sedang mengajari hidung saya untuk tak turut serta dalam penilaian-penilaian. Atau bisa jadi, saya sesungguhnya ingin supaya piranti penilaian saya untuk tak ikut ikut dalam bias penilaian. Supaya bau-bau itu didefinisikan sebagai sebuah keragaman, bukan kontradiksi-kontradiksi. Maksudnya, bahwa bau sampah bukan berarti bau busuk, atau bau harum itu bukan bau bunga-bunga itu.

Mari ajak hidung kita berwisata, ke taman-taman bunga, ke taman-taman pembuangan sampah, ke titik-titik yang memahamkan kita bahwa harum dan busuk itu sama-sama bisa dinikmati, bahwa bau itu anugrah. Semoga Allah memberkahi hidung-hidung kita, dan menjadikannya sebaik-baik saksi dihadapanNya, entah kapan.


*< Mei 2018

Syafiin Musyaffa'


Semua makhluk berhak mencintai Kanjeng Rosul, siapa saja, apa saja, bagaimanpun rupa bentuk cinta itu. Sebagaimana cintanya kanjeng Rosul yang tak terpagar siapa, apa. Cintanya melampaui ruang dan waktu, termasuk melampaui rasa cinta itu sendiri.

Teman saya mewujudi hak cinta itu dengan adabnya sendiri. Mari saya perkenalkan pada perilakunya.
Katanya, dzikir dia hanya sholawat. Saat merasa sedang bersalah ia bersholawat, saat merasa takjub ia bersholawat, saat sedang gembira sekali ia bersholawat, saat dibersamai musibah ia bersholawat, barangkali kamus kalimah thoyyibah dia hanya sholawat. Baginya, sholawat ini adalah adab. Ia memohon ampun kepada Allah atas kesalahan-kesalahannya lewat sholawat. Katanya, mohon ampunku kepada Allah bersamaan dengan mohon maafku pada kanjeng Rosul karena tauladannya betul betul sudah kuabaikan, aku malu pada beliau. Pun rasa takjub atas hal hal yg bisa aku inderai, yang Allah pertunjukkan kepadaku tak lain karena berkat kandungan nur Muhammad di dalamnya. Pula rasa syukur atas rizki Allah padaku adalah bagian dari upaya kanjeng Rosul meneladankan kejembaran hatinya. Juga atas musibah musibah, bahwa segala sesuatu adalah karena Allah, pengembalian segala sesuatu pula kepada Allah, dan sungguh pengembalian yg baik tak lepas sedikit pun dari syafaatnya, syafi'in musyaffa'.

Adab lahir dari kepatuhan dan rasa cinta yg mendalam. Sultan Abdul Hamid II al ustmaniyy pun melahirkan adab itu, dilapisinya rel kereta api di madinah dengan bantalan kapas, 20km panjanganya. Supaya apa?, Ia tak mau deru suara getaran kereta api mengganggu kanjeng Rosul. Malik ibn Anas, pengampu madzab maliki itu, selalu enggan berkendara ketika berada di madinah hingga di usia senjanya. Ujarnya, aku malu kepada Allah jika sampai kaki kendaraanku menapak di tanah yang di dalamnya bersemayam jasad Rosululloh. Aduhai, mulia sangat.

Kalau Allah dan MalaikatNya saja bersholawat kepada Rosululloh, bagaimana mungkin air, pohon randu, semut, bintang dan segala sesuatu yang diizini Allah untuk ada di semesta ini enggan bersholawat juga.

Andai saja terbesit maksiat hendak dilaku, merasa malulah kepada kanjeng Rosul. Andai saja ada kebaikan-kebaikan yang telah terlaku, ‘kelingan’ lah pada kanjeng Rosul.

~Sekarang, saya sedang malu padamu ya Rosul.


*< Desember 2017

Saturday, June 22, 2019

Tuyl


Malam sudah menjelang lewat hari, lalu lalang orang suda mulai sepi. Tetiba seseorang masuk, berpakaian kumal, kumal sekali, warna dasaran bajunya yang putih terlihat menghitam.
"Saya boleh minta teh hangat mas?", mintanya sopan.
"Boleh pak, bapak suda makan?"
saya tawari dia, badannya terlihat letih, wajahnya asing, saya hampir tau siapa siapa orang 'jalanan' di daerah sini dan dia pasti sedang dalam pengembaraan jauh.
"suda mas tadi suda dikasi makan di acara selamatan disana".
Saya persilakan teh hangat untuknya.
"Mas bisa usir tuyul ndak?"
saya tersentak.
"maksudnya pak?", khawatir saya salah dengar.

Diapun bercerita panjang, soal hidupnya yg tak tenang selama 2 tahun ini. Sebabnya, tuyul tuyul yg tetiba mengerubungi dia tiap saat. Dia dulu seorang pekerja kantor, sejak begitu dia mengembara jauh, 'angon' tuyul tuyul itu di jalanan. Dia dihantui ketidak mengertian, mengapa tuyul tuyul itu membebek dia kemana saja. Peristiwa peristiwa genting yg memuncaki frustasinya, titik titik rawan tuyul tuyul itu meningkat aktifitasnya, kapan dan bagaimana tuyul itu mereda, adalah bab bab cerita yg dia sampaikan.

Saya sendiri tak tahan melihat letih wajah dan keputusasaannya, membayangkan kengerian yg dia alami tiap hari. Saya sendiri bingung menerjemahkan ceritanya, apakah yg dialaminya adalah peristiwa psikologis atau betulan metafisis. Saya hanya bisa prasangka, bahwa Allah sedang memberi pembelajaran psikologis dan metafisis kepada saya.

"mas tau ndak caranya?". dia mulai berharap.
"begini,...", saya mau tak mau harus mulai bicara. Saya bicara soal konsep keghaiban dan Yang Maha Ghaib. Saya pun merasa mulai terkena efek psikologis, meracau kemana mana. Dan tentu tak lupa saya memungkasinya dengan doa doa dan nasihat. Setelah itu saya usap tangan ke wajah, ya wajah bagian hidung, bukan untuk mengamini tapi meregangkan hidung saya yg sedari tadi membaui bau bau fermentasi tubuhnya.

Lalu saya antar dia kembali ke jalan, sembari saya pegang punggungnya dan bersholawat 3 kali, mengirimkan sinyal kepada kanjeng Rosul.

Ia terlihat tercerahkan, tentu bukan karena nasihat dan doa saya yg pasti ngobos itu. Haqqul yakin itu pasti karena teh hangat yg saya hidangkan. Katanya, teh hangat mampu mengurangi kerubungan tuyul tuyul yg terus menguntit itu.

Teh hangat ternyata obat tuyul, info menarik !!!


*< Juli 2017

Ngidam Rosululloh


Tetiba angin sejuk memerindingkan sekujur tubuhku, ada hawa tentram yg seolah dibawanya. Sepertinya angin ini pernah merabai tubuh mulia Rosulullah.

Satu waktu aku rasai air-air ini segar tiada tanding, pikirku apa ini air yg pernah melumuri Rosulullah juga?.

Hangatnya sinar matahari yang ini begitu menyembuhkan, sekujur tubuhku seolah sedang dicekok beragam obat, bugar sekali rasanya. Aku curiga, inikah partikel cahaya yang pernah singgah di tubuh Rasulullah?.

Suara-suara yg pernah mengharukan bathinku, aku rasa mengandung pendaran gelombang suara Rosululloh yg sambung menyambung hingga kini.

Melihat wajah manusia ini menggembirakan sekali. Sedih, gundahku macam tak bisa berkutik. Ini pasti wajah orang yg mimpinya disinggahi Rosulullah.

Pada banyak hal, aku sering mencurigai Rasululloh. Segala material-material kebaikan yg menghinggapiku aku prasangkai hasil dari perjalanan panjangnya selepas berinteraksi langsung dengan Rosululloh.

Bahwa umat terbaik tentu tidak hanya berwujud Abu Bakar, Umar, Ali, Usman, Zaid, Abdurrahman, Abbas, Khalid, Aisyah, Fatimah, Zainab, Hasan, Husein, Amr dan semua sahabat terbaik yg mengalami kehidupan Rosulullah. Karena yg pernah mengalami hal itu juga angin, air, cahaya, suara, daun, pasir, debu, besi, abu dan apa saja yg menghuni semesta ini.

Maka, apa pun engkau, senyawa, partikel, atau bentuk materi apa pun yg pernah menyentuh, menyaksikan raga mulia Kanjeng Rosul, datanglah kemari. Sudilah engkau singgah sebentar di kubangan maksiat tubuh ini. Agar ada kegembiraan (keberkahan) sedikit saja melanda sel-sel tubuh yg selalu kupaksa hidup dalam dhulumat.

Begitu kira-kira Gusti.
#ngidamRosululloh


*< April 2017

Kado Menanam


KADO MENANAM

Peter Tompkinn dan Chris Bird dalam bukunya menyingkap bahwa begitu perasanya tumbuhan, tumbuhan begitu sensitif terhadap interaksi-interaksi bathin. Dalam ayat dan riwayat juga banyak disebut soal tumbuhan yg tak berhenti bertasbih, setiap masa.
Seperti halnya kita, tumbuhan juga beribadah, mereka juga menghamba.

Kalau kamu sering dapati dirimu terteduhkan dibawah pohon. Sebetulnya itu bukan hanya perkara sains. Sejuknya adalah buah dzikir tanpa jeda. Persis seperti persandinganmu dengan para pendzikir ulung, meneduhkan kan?.

Kepada banyak pohon saya sering menitipkan do'a. Supaya harapan itu terus bergulir, mengalir hingga muara kabul yg teridhoi dan terahmati. Maka, pada hari raya pernikahan ini saya tanamkan pohon untukmu berdua, bersama doa-doa sejoli yg baik dan menggembirakan.

Pohon itu adalah pohon Tin ini, yang moyang pertamanya ditemukan di lembah Jordan, yang klaimnya sebagai tanaman pertama yg dibudidaya manusia tak disangsikan. Pohon ini, dalam tubuhnya tentu mengalir saksi sejarah, tentang begitu banyak kisah asmara pilu, haru bahkan kekorea-koreaan. Pohon ini mengandung kebijaksanaan bahwa liku pernikahan itu banyak rupanya, sebanyak jumlah pasangan yg pernah ada, tak ada yg sama, semencontoh apapun itu. Itulah berkah pernikahan.
Jadilah kalian pasangan yg seperti angka 10, tak ada duanya, tiganya, empatnya dan seterusnya. Jadilah pasangan yg menginspirasi. Untuk yg satu ini sebetulnya kalian suda menginspirasiku, untuk bersegera.

Bersegera menanam pohon.

Kalian dapat guliran do'anya. Biar buahnya buatku saja ya.

Selamat ber'segera', kalian berdua!


*< Maret 2017