Friday, February 22, 2013

Dewi Pesona


Maafkan aku maemunah, beberapa waktu lalu temanku datang, ia teman lamaku. Dia memang kalem, bicara seperlunya, minum dan makan secukupnya, dia juga suka menunduk kalau jalan. Tapi kamu tau, dia begitu menyita perhatianku, membuat pikiran, hati dan nurani tak bisa lepas memandangnya. Bahkan, ragaku yang sering kamu puji atletis ini menjadi tak berdaya sedikitpun.
            Aku tak pernah bilang sedikitpun tentang kamu, tapi dia tahu dan ingin lebih tahu, maka kucurahkan lah segala rasaku, tentang kamu yang hidup dalam masyarakat mempesona, tentang senyummu yang mengkatalisis bahagia. Tapi kamu tahu, dia bilang itu hal biasa, dia bilang aku berlebihan. Aku tersentak, maka aku bilang, tunjukkan padaku seseorang yang pesona dan senyumnya lebih merekah.
……………..
Maafkan aku maemunah, ternyata Khadijah seperti dewi pesona, senyum Aisyah merekah ranum sekali.  
Lantas aku diamkan diriku, aku benamkan kepalaku, sambil bergumam kutanya padanya aku harus apa.

Dia bilang, tingkatkan imanmu kawan, perbaiki dirimu. Aku hanya kasihan pada maemunah, pesonanya tak pernah bisa bertambah semarak, senyumnya ya akan begitu-begitu saja, itu karena kamu mengambilnya terus menerus saat itu akan tumbuh.

Dia tidak menyuruhku untuk menjaga hati, karena katanya itu akan semakin membuatku memelukmu dengan eratan yang besar. Maka, dia suruh membebaskan begitu saja hatiku, supaya banyak hal yang bisa aku dekap dengan dekapan yang kecil-kecil saja.

Aku tahu sepenuhnya dia benar, dia adalah sahabat yang sengaja dikirimkan Tuhan untuk makhluk-makhluk lain seperti halnya diriku. Dia itu pengajar manusia di bulan Romadhon, sering datang dini hari sekali di hari senin dan kamis, terkadang juga dia menjadi tenaga suka rela di hari-hari daud. Ya, Dia itu Puasa.    

Sunday, February 17, 2013

Bisa Jadi


Kenapa hati harus dinaikkan kelas menjadi mata hati, tidakkah sayang mempertontonkan hati pada banyak hal di dunia yang bahkan tidak mengharapkan kehadiran hati. Tidakkah ia nanti akan sakit hati, melihat keberadaannya seperti sudah tiada arti, seperti sudah tidak dianggap lagi. Atau bisa jadi ini alibi para manusia untuk mengajak hati agar bermain mata dengan dunia, dunia yang telah membuat kelima indera mereka seperti mati fungsi, bisa jadi.

Lantas, bagaimana kalau nanti ia mengalami rabun jauh atau rabuh dekat, bahkan silindris. Tidakkah itu akan menjadikan banyak hal menjadi samar. Sudah siapkah wajah cantikmu menjadi terlihat hambar, kebaikan-kebaikanmu mengabur, sehingga baikmu diprasangka jahat atau jahatmu menjadi terlihat sangat baik.

“tenang saja, kan masih ada lensa kontak dan kacamata” sahut Mawar dari ujung taman.

“lagi pula cantikku tidak kemudian menjadi jelek karena mereka melihatku jelek, gak pate’en aku” ternyata Mawar ini masih berdarah Suroboyo.

wes ta, ayumu karo elekku iku wes mutlak, umek ae. Dipatek malaikat kapok kon” seru ulat keket di ujung pohon. Sepertinya mereka memang masih satu rumpun dengan Ahmad Dhani.

            Apa jadinya nanti kalau uang rakyat dan uang istri sudah tidak ada beda lagi. Miliaran uang rakyat menjadi miliaran uang istri tentu bukan substitusi yang diijinkan matematika hukum, apalagi uang istri menjadi uang rakyat, tidak tahukah kalau biaya perawatan kecantikan sekarang mahal, bisa jadi.

“jadi bagaimana?” Mawar menggumam.

Atau sebaiknya kita biarkan saja hati dan indera berelaborasi, biarkan saja bisa jadi-bisa jadi tadi benar-benar terjadi. Toh, itu semua akan memberikan pengayaan rasa pada kita. Lagipula bukannya masih ada Hati Nurani?.

foto diambil disini

Wednesday, February 13, 2013

Senyawa Ibu



Kala itu mentari semakin terendam dalam malam, engkau masih merintih, menunggu sang Ayah yang sedang berpeluh. Diriku yang sedang dalam janji Tuhan ini terkandung dalam mu, sesungguhnya engkau mengandung derita yang mendera, sakit yang begitu lama. Andai saja aku tau itu, sungguh lebih baik aku tak disana, didalam rahim nyamanmu itu. Tapi entah senyawa apa yang diberikan Tuhan untuk melebarkan senyummu, memekarkan bunga-bunga bahagiamu. Hingga kau dengan rintih yang teramat membukakan jalan lebar untukku, dengan lamat-lamat suara adzan di ujung telinga, menuju dunia yang kau yakin dan pastikan dengan kasih sayangmu akan membuat semuanya menjadi menggembirakan, menyenangkan untukku.

Ibu, hariku memang gembira,

Ibu, dunia ini memang membuatku senang

Tapi aku tau, kehidupan ini begitu berat dan terjal untukmu, tak jarang aku melihatmu terengah, sesekali kulihat engkau menangis, terisak di tengah sunyi sepertiga malam, terkadang kulihat dompetmu melompong, tapi kenapa, uang sakuku selama ini tak pernah bolong.

Aku tau itu, maaf Ibu, aku melihat itu tanpa sepengetahuanmu.

Aku tau, kamu akan sangat marah jika kamu tau.

Beranjak besar, aku seperti melupakanmu, hiruk pikuk masa remaja seperti tak memberikan kesadaranku akan kasih sayangmu, engkau semakin terlihat layaknya pelayanku. Peluhmu masih tak berhenti, begitu pula dengan dekap kasihmu. Ternyata senyawa itu masih bekerja saja.

Kamu jadikan aku sebaik-baik penuntut ilmu, tak pernah kamu biarkan celana abu-abuku menjadi semakin abu, buku-bukuku pun selalu baru, sepatuku malah sering kali dipuji temanku.

Tapi maaf ibu, aku sudah merasa menjadi kaum terdidik, aku tau pendidikanmu tidak lebih tinggi dariku. Lalu aku menjadi semakin congkak, semakin membuatku tak sadar akan hadirmu.

Kerap kali aku melawan omonganmu, tak kudengarkan lagi nasihat-nasihat teduhmu. Itu karena aku merasa lebih tahu, maafkan aku Ibu.

Aku kira aku semakin dewasa karena kesungguhan dan kematanganku dalam menuntut ilmu, ternyata aku salah, kasih sayangmu adalah keniscayaan pada kedewasaanku.

Hingga suatu waktu, rintihmu itu telah menjadi tak tertahan, memunculkan sakit-sakit yang mulai menyayat, menampakkan akumulasi derita yang begitu lama kamu pendam, aku sering kali tak tega melihatmu terbaring begitu. Inikah efek samping dari senyawa itu?. Maaf Ibu, ibaku hanyalah dosis kecil untukmu, tak semujarab kasih sayangmu.

Lalu…..

Tiba-tiba kamu tersenyum disana, melihatku dengan mata terpejam.

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un……

Kucondongan kepalamu pada kiblat, sebagaimana kamu tunjukkan kiblatNya padaku

Allohummaghfirlahaa ya Robb

Kulamatkan suara adzanku,

AllohuAkbar AllohuAkbar…

Menggema dipetak dua kali satu itu.

LailahaillaLloh…..

Tugasmu untukku telah usai Ibu.

Senyawa itu pun meluruh, menguapkan semerbak harum di pelataran memori tentangmu. Mentransformasi isak-isak haru menjadi senyum-senyum syukur yang merekah.

Alhamdulillah, Engkau telah manfaatkan dia sebagaimana mestinya ya Alloh.

Kini, nyatamu semakin nyata, karena tiadamu semakin membuatmu mudah untuk hadir dan ada kapan dan dimana saja.

foto ambil disini

Wednesday, February 6, 2013

Maemunah (3)



Sekuat raga ku ingin kamu pergi dalam diri, kamu sudah terlalu menghantui, sudah begitu menggoda, mempesona seolah rinai temaram. Maka aku mulai mencari.

Kutelisik buku tulisku, kamu tak ada
Kulirik disekitar mata, bahkan bayangmu saja tak ada
Kuraba akalku, ternyata kamu juga tak disana
Aku pikir ini tentang rasa, maka kusempatkan mengitari hati, kamu tau, ternyata disana pun aku juga tak menjumpai

Lantas aku harus kemana?

Tiba-tiba nurani berbisik, “Maemunah ada bersamaku”.

Jadi maaf, mungkin kamu tak bisa pergi, mulai sekarang aku akan ikhlas terpesona, terus dihantui, karena bahkan aku pun tak tau dimana letak nurani.

foto dari sini

Saturday, February 2, 2013

bla bla bla versus penginderaan


Seorang kakak mempunyai dua adik, salah seorang adiknya bertanya
Adik 1 : Air payau itu apa sih kak?
Kakak : air payau itu campuran air laut dan tawar, biasanya kadar garamnya lebih kecil daripada air asin. Blaaa..blaa...
Adik 1 : oww.. (antara paham dan mengiya saja. Tapi dari raut muka, ia terlihat kebingungan)
Suatu hari, seorang adiknya yang lain diajak ke sebuah pantai, disisi pantai ada muara sungai.
Kakak : adik, ayo ikut kakak.
Maka dibawalah ia ke muara itu.
Kakak : sekarang cobalah rasakan airnya!
Adik 2 : bebebhhkh, asin kak (raut mukanya mengernyit)
Kakak : sekarang coba ini (sambil berjalan ke arah pantai dan menunjuk air laut)
Adik 2 : bebebhkkh, lebih asin kak, asin sekali malah (raut mukanya jauh lebih mengernyit)
Kakak : yang tadi itu namanya air payau, ini air laut.
Adik : ow begitu ya. Payau ya kak (ekspresinya menunjukkan pemahaman)

Ini lah metode penginderaan. Mendefinisikan menjadi lebih mudah,
“air payau adalah ini, air laut adalah itu”
Bukan bla bla bla yang terlihat rumit dan butuh kecakapan khusus.
Bahkan definisi-definisi itu akan muncul terlebih dahulu, sebelum muncul istilahnya. Tinggal diintepretasi dalam sebuah nama.
“kalau yang ini namanya air payau, yang itu namanya air laut”
Ibarat music, na naaa naa (alunan instrumen music) itu sudah bisa mendeskripsikan sebuah perasaan gembira, tinggal apakah gembira itu karena ditinggal pacar, lulus ujian, di traktir Dawet Banjar  atau gembira-gembira spiritual tergantung bagaimana diintepretasikan dalam bentuk lirik-lirik.
Seperti itu jugalah yang coba Sekolah Habitat Indonesia (SHI) lakukan.