Wednesday, May 24, 2017

Tadabbur Modernitas

Kami disambut oleh jalan ‘gronjal’ sepanjang satu setengah jam perjalanan. Pemandangan istimewa memang sering kali seistimewa medannya. Sepanjang itu hanya satu dua perkampungan yang kami lewati. Kampung mereka bisa dibilang paling tepi, pesisir, dihuni sekira 100 kepala keluarga. Jumlah rumahnya barangkali mampu kuhitung dalam setengah jam. Listriknya hanya mengalir separuh malam, jam 6 malam sampai enam jam kedepannya, terkadang lebih sebentar -seperti yang kami alami malam itu- kalau ada trouble, bahkan bisa tak nyala sama sekali kalau ada spare part yang rusak, 3 sampai 4 bulan lamanya.



Hari sudah hampir senja saat kami sampai disana. Anak-anak sedang berhamburan dari masjid, lepas ngaji sore rupanya. Segera kami temui marbot masjid, yang tinggal mengabdi dan mengajar disitu. Keperluannya, tentu meminta izin untuk mengajak anak-anak menonton film malam itu.

Yang menyenangkan dari mereka adalah, melihat mereka bermain sebagaimana kami dulu bermain. Cari ikan, main bola, mandi di sungai, sulut mercon, bikin mainan, perang-perangan. Gadget?, bukan tak ada. Tapi belum pernah kulihat seorang anak pun sibuk dengannya, bahkan pada smartphone yang kami tunjuk tontonkan, mereka memang seperti tak tertarik.

Layar sudah terkembang, proyektor suda melepas cahaya. Anak-anak suda berdatangan, sebagian duduk sebentar lalu berlarian mengitari layar, sebagian usil memainkan cahaya-cahaya proyektor, sebagian bersenda gurau di dalam tribun tenda tempat menonton yang kami siapkan, sebagian lagi duduk diam melihat filmnya dan bagian ini lah yang terkecil. Pada dasarnya mereka semua sedang memperhatikan film itu, lewat respon dan caranya masing-masing. Menonton film hanya peraga, mereka sebebas-bebasnya bisa belajar tentang apapun darinya, layarnya, cahaya proyeksinya, berisik suaranya, suasananya, terlebih tentang isi film itu sendiri. Batas bagi anak-anak adalah rasa ketidak-ingin-tahuannya, dan kebanyakan mereka tak memiliki itu. Menjadi dewasa dan orang dewasa lah yang membangunnya, batas itu.

Esok paginya, kami bergerilya mendatangi anak-anak yang sudah mulai bermain, diantaranya ada yang sudah pergi memancing, cari ikan dan segala macam yang bisa dipanen dari laut. Tentu dengan cara-cara yang kami pun baru tau. Dan kami pun harus segera ‘memancing’ perhatian mereka supaya ikut serta belajar, kamera adalah umpannya. Kami dekati seorang anak, Misran namanya, ia sedang menunggu seseorang di atas sepeda.
“bismillah, perkenankan kami saling belajar ya Allah”, begitu pikir kami.

Kami perlihatkan dia pada mekanisme kamera, pada gambar-gambar jepretan yang tak pernah dia bayangkan bisa. Ia pun mulai mengambil gambar, dengan hasil-hasil lumayan. Lalu mundekatlah Abi, kawan Misran, agaknya dia juga penasaran. Kami ajari hal yang sama, tapi Abi beda. Dia tidak hanya tertarik memencet tombol kamera, ia inisiatif mengatur objek, bebatuan, kerang ia tata dan ia jepret sendiri. Kami biarkan mereka berimprovisasi, anak-anak ini tau betul cara belajar, kalau tak tau dia tanya, kalau sudah tau dia minta koreksi. Pada akhirnya, Misran pandai mengambil angle dan momentum. Sedang Abi, ia suka mengeset objeknya agar terlihat menarik, ia juga tak ragu mengatur teman modelnya supaya berpose sesuai sudut pandang dia. Dan berikutnya, hampir sebagian besar dokumentasi diambil oleh mereka. Alhamdulillah.

Sementara itu, semakin banyak anak-anak yang mendekat, menggeromboli kami. Buku dan majalah kami hamparkan di pasir pantai, supaya mereka buka dan lihat. Ruang baca tak hanya hadir di perpustakaan atau meja belajar, ia harus siap sedia di dalam ruang-ruang keingin-tahuan. Mereka banyak bercerita dan mengisahkan keluguan-keluguan. Kami banyak berbunga-bunga dan mendengarkan kelucuan.

Pada sesi selanjutnya, serangkaian percobaan kimia kami hadirkan, lengkap dengan gelas kimia, erlenmeyer dan peralatan laboratorium kimia lainnya. Percobaan-percobaan itu berisikan pesan pelestarian hutan, menumbuhkan dan merawat pohon. Percobaan itu memberikan kesadaran pada anak tentang bentuk wujud karbondioksida, sebagai bahan berkehidupan pohon-pohon. Juga tentang realitas oksigen yang kita hirup sebagai produk pengabdian tetumbuhan pada manusia.



“Siapa yang menciptakan laut?”, sambil kami tunjuk laut.

“ALLAH.....”, teriak mereka serempak

“Siapa yang menciptakan langit?”, sambil mendongak ke atas

“ALLAH.....”, suara mereka bersinergi bersama debur ombak dan hembusan angin.

Dzikir itu terteriakkan bukan lewat kepalan tangan dan ajakan suara lantang. Dzikir itu hadir melalui kesadaran dan kerendah hatian pada keMaha-Besaran Allah. Alhamdulillah.

“Siapa yang menciptakan Bima?”. Kami tunjuk seorang anak bernama itu.

Hening, lalu “Mamakkkk...”, teriak Bima paling lantang diatara sayup-sayup suara Allah.
Aduh, betul juga, pertanyaan dan jawaban itu tak bisa disalahkan. Seorang dari kami bahkan menepi untuk melepas tawa tak tertahankan.

“Betul, Allah lah yang menciptakan manusia”, jawab kami.

Anak-anak gembira, anak-anak belajar, anak-anak ingin acara ini kembali ada esok.
“besok main lagi ya”, kata Yaya, anak kecil lucu itu.

InsyaAllah, kami akan hadir lagi di pelosok lain, bersama Laboratorium Keliling ini, mengajak anak-anak untuk belajar kimia, kamera dan berbagai percobaan lain, mentadabburi modernitas yang memajukan manusia. Tadabbur Modernitas, ya mungkin itu tema kami. Alhamdulillah

“mamakkk"