Saturday, October 26, 2013

Kertas Sudah Penuh Kata


Manusia lahir itu (tidak) seperti sebuah kertas putih. Maka selama hidup dia (tidak) akan membuatnya menjadi indah dengan tulisan-tulisan kata, menjadi berwana dengan beragam tinta.

Carilah Cahaya. Lihat dan sadarilah, bahwa kertasmu sudah penuh kata, tintanya suda bercorak beragam rupa.

Thursday, October 24, 2013

Diferensiasi Bayang


Selimuti wajahmu dengan bayang, lalu berjalanlah perlahan, perlahan sekali. Rasakanlah, sadarilah bahwa sesungguhnya diferensiasi gelombang sedang mencoba mengenalimu.

Lantas apa yang aku peroleh?
Tak ada....

Lantas kenapa kalau tak ada?
---
Sepertinya kebermaknaan sudah tak perlu lagi dimaknai.

Monday, October 21, 2013

Sebatas Hamparan Gambar


Hadirkan mereka pada sawah yang terbentang
Perlihatkan mereka pada gunung dan sungaiNya

Maka mereka akan rasakan panas matahari yang menyentuh kulitnya, suara 'krik krik' yang tak bisa kita dimensikan, udara yang sejuk lagi -insyaALloh- menyehatkan, silau matahari yang me'riyep-riyep'kan matanya. 

Ada banyak hal yang tak bisa dimunculkan pada selembar gambar, pada beberapa menit gerakan video.

Saturday, October 19, 2013

Bisa Jadi


Manusia berjalan pada kejadian-kejadian, kebisa-jadi-kebisa-jadian. Apa yang anda rasakan ketika mata terpejam, adalah telinga yang semakin kuat mendengar. Apa yang anda rasakan ketika telinga terdiam, adalah mata yang semakin melihat tajam. Lantas bagaimana rasanya ketika mata dan telinga akhirnya padam, adalah dialektika pada ketiadaan rasa. 
Perkenankan kukembalikan rasa ini padaMu.

Sunday, October 13, 2013

Manis Kemanusiaan






Lungsur yang tiap hari bekerja sebagai pengangguran memang kerap kali terlihat sibuk. Siang ini dia dapat kiriman Es dawet dari Bu Sumarno yang telah dibantunya memperbaiki genteng rumahnya yang bocor. Dampit yang sedari tadi memang sudah di gardu. Akhirnya dapat ikut kebagian juga.

“Silakan mas Lungsur, mas Dampit. Ini ada es dawet buatan saya sendiri” Ujar Bu Sumarno dengan bibir bergincu merah khasnya.

“Terima kasih, Bu” sahut mereka berdua
Mereka tampak menikmati dawet Bu Sumarno, hingga tak ada suara yang keluar sampai Dampit berucap

“Sur, apa rasa gula?”

“Manis”

“Manis itu apa?”

“Ya, manis, ya seperti rasa gula, seperti juga dawet ini”

“Lho, kamu jelaskannya jangan pakai seperti-seperti. Jelaskan saja secara objektif dan deskriptif. Kalau seperti rasa gula, itu kan rasa ‘kemanusiaan’, belum tentu rasanya sama seperti yang dirasakan semut, atau lebah, atau bahkan lidah buaya ini. Meskipun yang dicicip sama-sama gula”

Tak banyak yang bisa menjelaskan dengan lebih detail apa itu manis, selain dikaitkan dengan gula.

Kamus Oxford mengatakan, manis (sweet) sebagai tasting like sugar. Kamus bahasa indonesia mengatakannya sebagai rasanya seperti rasa gula. Bahkan buku kimia pun hanya menjelaskan mekanisme saja.

Semua orang paham tentang manis, dan disepakati rasa manis itu ya seperti itu, yang muncul seperti kita makan gula. Begitu membingungkan memang ketika sebuah kemengertian yang dipahami bersama, diketahui banyak orang, justru malah tidak mampu dijelaskan secara objektif.

“Sekarang coba kamu baui bunga mawar itu” suruh Dampit pada Lungsur yang segera bergegas ke samping gardu yang memang ditanami mawar

“Bagaimana baunya” tanya Dampit

“Ya, wangi lah Prof” jawab Lungsur

“Ya memang wangi, apa wangi mawar sama dengan melati?”

“Beda”

“Oke, sekarang coba jelaskan yang bau mawar”

“ya, seperti itu”

“hehe”

“Begitulah sur, ketika orang ditanya tentang wangi mawar. Penjelasan paling panjang bisa jadi hanyalah sederet kata-kata puitis yang entah apa maksudnya.”

“Maka, bisa jadi inilah kenapa Tuhan menciptakan indera. Ada banyak hal yang jangan dipaksakan untuk dijelaskan, ada banyak hal yang sebaiknya persilakan saja kepada indera untuk menjelaskan”.  
“Prof, Esnya dingin ya”
----------

Ladang Arofah, 14 Oktober 2013

Saturday, October 12, 2013

Cerita Rancu


Diam-diam kamu menjadi perupa, segala apa kamu jadikan intepretasi sederhana. 
Ada kabut yang mengaburkan hangat, ada kabur yang semakin lama menjadi mengabut. 

Terima kasih sudah menjadi sepi, terima kasih suda mengisahkan banyak cerita tentang kita, tentang diam yang menjadi semakin bermakna, tentang jeda yang membuat rancu menjadi 'aku tau'. Sampaikan salamku pada cinta, yang darinya muncul rasa yang tak pernah terupa - seperti juga aku.

Saturday, October 5, 2013

Jeda Mudik

Sholat adalah waktu jeda, untuk kembali merenung, kembali berdzikir, mengumpulkan kembali ketidakpaduan dunia akhirat. Sholat adalah beberapa menit waktu diam, ditengah tingkah laku yang kesana kemari. 

Seperti halnya diamnya buang hajat yang katanya banyak menghasilkan karya. Seperti halnya kesunyian yang membawa ketenangan.

Mudik sangatlah identik dengan perjalanan. Dan perjalanan itu tentu juga tentang menemani waktu hingga sampai ke tempat tujuan, tentang banyaknya waktu untuk duduk diam dan tidak bertingkah. Perjalanan adalah sebuah kesempatan (ruang dan waktu) untuk berdzikir dan merenung. Bukan lagi dalam beberapa menit, karena menit yang itu sudah beranak pinak menjadi jam, bahkan hari. Berapa banyak hamdalah yang akan tertabung, berapa banyak sholawat yang akan terkonversi, berapa banyak keduniaan dan keakhiratan yang bisa disatupadukan. Maka, perjalanan bukanlah hanya bertujuan selamat, tapi juga merupakan piranti keselamatan, insyaAlloh dunia akhirat. 

Semoga perjalanan anda menyelamatkan anda.

Wednesday, October 2, 2013

Tambang Emas Jogja


Suatu hari, dalam sebuah perjalanan susur sungai. Beberapa orang sedang terduduk santai di tepi sungai, bapak-bapak itu memang sedang rehat, beberapa lagi bahkan terlihat baru datang. 
Ada apa gerang mereka beraktifitas di sungai nan sepi ini, yang terlihat hanya sampah-sampah yang tersangkut dan mungkin sangat sedikit ikan kecil. 

"lagi nyari emas mas", begitu jawabnya ketika kami tanya aktifitasnya. 

weeelaaa, hati kami berontak. Ya, mereka memang mencari emas, kalung dan perhiasan yang diperjalankan olehNya lewat sungai-sungai itu. Berbicara sungai, tentu kita berbicara level, atau ketinggian, mengalirnya air sungai pun terjadi karena beda ketinggian. Pengaharapan mereka tentu tertuju pada segala sesuatu yang terjadi di ketinggian sana, karena hakikatnya hidup adalah pengharapan atas Yang Maha Tinggi.

Jogja memang tidak punya tambang emas, tapi bapak-bapak itu adalah para pendulang emas. Emas itu adalah emas-emas yang dikirimkan Alloh lewat tangan-tangan yang dilalaikan, lewat keteledoran-keteledoran manusia yang diskenariokanNya.

Suatu hari kami kehilangan sebuah barang, kami pun sepakat berucap "Alhamdulillah, semoga kehilangan ini menjadi jalan rejeki bagi hambaMu yang bertaqwa"