Monday, November 8, 2010

Coretan 8 november 2010 (Duka dari korban merapi)

Perjalananku dari jawa timur harus dilanjutkan menuju posko bantuan merapi. Salah seorang anggota posko menghubungiku untuk meminta bantuan sebagai tim Search and rescue (SAR) korban merapi. Kesempatan yang tidak akan kusia-siakan. Pukul 3 pagi kami berangkat menuju base camp TIM SAR DIY di daerah kaliurang. Briefing sejenak menjadi bekal kami untuk pergerakan yang matang. Dengan mobil pick up kami diberangkatkan menuju lokasi pencarian, tepatnya di dusun Ngancar. Di tempat ini diduga terdapat 2 korban yang masih belum ditemukan. Beberapa rumah yang telah tertimbun tanah kami susuri. Tak kusangka dampaknya sehebat ini. Rumah-rumah warga terendam material panas hingga setengahnya. Gemuruh merapi juga sangat terasa disini. Sempat kami terpontang-panting, berlarian menuju armada pengangkut ketika beberapa saat gemuruh merapi terdengar agak keras. Benar kata teman-teman TIM SAR, disini kita menguji adrenalin. Setelah reda, pencarian kembali dilanjutkan menuju rumah di area bawah, beberapa meter melangkah, terlihat seonggok benda yang kami taksir itu adalah tangan manusia. Dan benar saja, setelah kami periksa memang itu adalah salah satu bagian tubuh manusia. Kami mencoba mengggali untuk melihat bentuk keseluruhannya. Dan ternyata bagian tadi adalah kaki. Korban terlihat meninggal dengan posisi telungkup dan dalam keadaan gosong. Belum selesai mengevakuasi 1 korban, teriakan salah satu anggota tim di area bawah mengalihkan perhatian kami. Ditemukan 1 korban lagi. Seorang mayat dengan jenis kelamin laki-laki (maaf:terlihat dari kelaminnya sendiri) telah meninggal dengan posisi terlentang dengan kaki kiri berada lebih tinggi. Dua korban segera kami evakuasi menuju titik aman.

Sungguh miris aku melihat saat itu, bahkan ada beberapa teman yang muntah tak tega melihatnya. Untungnya aku tidak, dan saat itu aku berfikir “akan seperti inikah semua makhlukmu akan kembali padaMu Tuhan”. Hari itu, total telah ditemukan 5 korban yang telah berhasil dievakuasi di dua titik yang berbeda, dan dengan kondisi yang bermacam-macam pula. Ada yang setengah gosong, ada yang gosong, ada yang cuman bagian perut keatas (karena tidak memungkinkan melakukan evakuasi secara utuh), ada yang telah menjadi tulang belulang, dsb. Begitulah gambaran umum tentang bahaya merapi. Sangat berharga bagi diriku dan kita semua untuk dijadikan sebagai bahan evaluasi agar lebih mendekatkan diri pada Ilahi.

Kita butuh uluran tanganmu kawan, kita butuh genggaman erat tanganmu dan kita butuh hangat pelukmu.

catatan 6 November "Road to semarang-surabaya by becak"

Aku mulai berjalan lagi weekend ini, kembali menuju timur. Berangkat pukul setengah 2 pagi tak menyurutkan niatku. Jogja sedang genting waktu itu, akibat ulah Merapi yang sepertinya sedang resah. Tapi mau bagaimana. Titah ayahanda harus dilaksanakan.

Jalanan sudah agak sedikit tidak berdebu, hujan sepanjang malam itu telah menidurkan abu-abu jalanan yang telah berkeliaran seharian kemarin. Bis yang kutumpangi juga terlihat sepi, hanya 3 orang bapak dan seorang ibu yang sedang tertidur pulas. Aku memlilih kursi 3 seat bi barisan nomor 2, tempat favoritku dan cukup leluasa buatku untuk “selonjoran”. Dengan ditemani sebuah buku “Norman Edwin ‘catatan sahabat sang alam’ ” aku menghabiskan separuh perjalananku malam itu. Aku terkesan dengan sosok yang satu ini, seorang plagiat alam bebas sejati yang tidak begitu suka dengan hiruk pikuk politik pejabat. Seorang naturalis sekaligus jurnalis handal yang telah meninggal dengan tenang di pelukan Aconcagua. Aku lihat tulisannya sangat ilmiah, sebuah catatan perjalanan yang aku pikir sangat layak untuk dijadikan referensi. Aku kagum bagaimana dia meyingkap tabir di balik proyek besar waduk Gajah Mungkur, bagaimana dia menekankan pada kesiapan dan kewajaran masyarakat terhadap bencana alam yang dia contohkan lewat tragedy meletusnya Gunung Galunggung tahun 1982. Sangat kritis dan informative.

Hmmm…bacaan yang cukup membuatku berfikir, setidaknya menjagaku agar tidak tertidur. Sampai di Ngawi kudengar sayup-sayup kumandang adzan subuh. Dan kuputuskan untuk menghadap Sang Maha. Selesai itu kujumpai seorang bapak berkumis tebal yang tampak kusam, sedang bersenda gurau dengan seorang wanita yang ternyata adalah istrinya. Mereka ditemani 2 bocah yang kutaksir berumur 1-2 tahun, sedikit kumal memang. Mereka banyak bertanya soal Merapi setelah tau kalau aku dari jogja. Hmmm, aku lihat jiwa ke”Indonesia”annya, terlihat seperti merasakan apa yang dialami sodara-sodara sebangsanya yang sedang berduka. Dia juga menceritakan bagaimana perjalanannya menuju Surabaya dari Kota Semarang yang ternyata dengan mengendarai sebuah becak. Jujur, hatiku berdecak kagum waktu itu, sebuah perjalanan keluarga yang tidak biasa. Road to Semarang-Surabaya by becak. Sepertinya Norman Edwin akan merasa iri pada mereka. Kadang, keadaan ekonomi membuat seseorang terlihat adventuris kawan.

Dan satu hal yang membuat hatiku berlinang kawan, dia bilang “hati-hati ya!”. Sebuah kalimat yang seharusnya kuucapkan pada mereka. Kami seolah telah berkawan lama, panggilan “dek” kepadaku semakin membuat hubungan kami tampak intim.

Dan sekali lagi aku merasa guru-guru di sekolah jalananku takkan berhenti sampai sini.