Monday, November 8, 2010

catatan 6 November "Road to semarang-surabaya by becak"

Aku mulai berjalan lagi weekend ini, kembali menuju timur. Berangkat pukul setengah 2 pagi tak menyurutkan niatku. Jogja sedang genting waktu itu, akibat ulah Merapi yang sepertinya sedang resah. Tapi mau bagaimana. Titah ayahanda harus dilaksanakan.

Jalanan sudah agak sedikit tidak berdebu, hujan sepanjang malam itu telah menidurkan abu-abu jalanan yang telah berkeliaran seharian kemarin. Bis yang kutumpangi juga terlihat sepi, hanya 3 orang bapak dan seorang ibu yang sedang tertidur pulas. Aku memlilih kursi 3 seat bi barisan nomor 2, tempat favoritku dan cukup leluasa buatku untuk “selonjoran”. Dengan ditemani sebuah buku “Norman Edwin ‘catatan sahabat sang alam’ ” aku menghabiskan separuh perjalananku malam itu. Aku terkesan dengan sosok yang satu ini, seorang plagiat alam bebas sejati yang tidak begitu suka dengan hiruk pikuk politik pejabat. Seorang naturalis sekaligus jurnalis handal yang telah meninggal dengan tenang di pelukan Aconcagua. Aku lihat tulisannya sangat ilmiah, sebuah catatan perjalanan yang aku pikir sangat layak untuk dijadikan referensi. Aku kagum bagaimana dia meyingkap tabir di balik proyek besar waduk Gajah Mungkur, bagaimana dia menekankan pada kesiapan dan kewajaran masyarakat terhadap bencana alam yang dia contohkan lewat tragedy meletusnya Gunung Galunggung tahun 1982. Sangat kritis dan informative.

Hmmm…bacaan yang cukup membuatku berfikir, setidaknya menjagaku agar tidak tertidur. Sampai di Ngawi kudengar sayup-sayup kumandang adzan subuh. Dan kuputuskan untuk menghadap Sang Maha. Selesai itu kujumpai seorang bapak berkumis tebal yang tampak kusam, sedang bersenda gurau dengan seorang wanita yang ternyata adalah istrinya. Mereka ditemani 2 bocah yang kutaksir berumur 1-2 tahun, sedikit kumal memang. Mereka banyak bertanya soal Merapi setelah tau kalau aku dari jogja. Hmmm, aku lihat jiwa ke”Indonesia”annya, terlihat seperti merasakan apa yang dialami sodara-sodara sebangsanya yang sedang berduka. Dia juga menceritakan bagaimana perjalanannya menuju Surabaya dari Kota Semarang yang ternyata dengan mengendarai sebuah becak. Jujur, hatiku berdecak kagum waktu itu, sebuah perjalanan keluarga yang tidak biasa. Road to Semarang-Surabaya by becak. Sepertinya Norman Edwin akan merasa iri pada mereka. Kadang, keadaan ekonomi membuat seseorang terlihat adventuris kawan.

Dan satu hal yang membuat hatiku berlinang kawan, dia bilang “hati-hati ya!”. Sebuah kalimat yang seharusnya kuucapkan pada mereka. Kami seolah telah berkawan lama, panggilan “dek” kepadaku semakin membuat hubungan kami tampak intim.

Dan sekali lagi aku merasa guru-guru di sekolah jalananku takkan berhenti sampai sini.

No comments: