Tuesday, October 9, 2018

Wates



"iki wis tumeka tapel wates antarane tanah Kejawen lan Gupermen. Sing sopo arep mbancutake nderek yo keno, arep bali yo keno". 
Dhawuh Pangeran Diponegoro ketika pasukannya sampai di tapal batas antara Ponorogo-Wonogiri dengan Surakarta. 

"Di mana jalan pulang? Laut berada di belakang kalian. Musuh di hadapan kalian. Sungguh kalian tidak memiliki apa-apa kecuali sikap benar dan sabar. Musuh-musuh kalian sudah siaga di depan dengan persenjataan mereka. Kekuatan mereka besar sekali. Sementara kalian tidak memiliki bekal lain kecuali pedang, dan tidak ada makanan bagi kalian kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan musuh-musuh kalian."
Pidato masyhur Thariq bin Ziyad ketika sampai di daratan eropa.

Kedua kesatria itu, sadar betul akan batas. Batas itu bukan melulu soal pemisah ruang. Batas menghubungkan salah dan benar, iya dan tidak. Ia adalah tempat keragu-raguan, was-was. Setan tidak pernah menempatkan kita pada ketidakbaikan, ia hanya menunggu di batas, di bilik keragu-raguan, lalu disamarkannya pandangan. Kita dengan sendirinya menempatkan diri, dalam ketidakbaikan itu.

Dalam banyak hal, kita akan singgah pada batas-batas itu. Kalau tak punya mursyid panglima macam Pangeran Diponegoro atau Thariq ibn Ziyad. Perbanyaklah annas. Kalau tak mampu juga, seperti halnya saya, anda pasti sedang menikmati kewas-wasan itu, atau anda tak tau apa itu was-was?.


*Oct 2016

Nada Kiamat



Israfil sudah bersiap, berbaju lengkap tentu. Terompet yang ia usap tiap saat kini sudah siap ia bunyikan. Memo yang ia terima dari Sang Pemilik Terompet beberapa waktu lalu menggembirakan hatinya. Ya, selama ini memang ia sudah menahan diri, menahan dorongan-dorong dari dalam dirinya yang akan membunyikan terompet itu, yang akan meluluh lantakkan eksistensi semesta. 

"Tiba saatnya....", begitu isi memonya.

"sendiko dawuh Gusti (SIAP LAKSANAKAN!!)"

"Treettt....", begitukah bunyinya?

Terompet adalah intro yang muncul pada orkestrasi nada-nada kiamat. Lalu, suara tabrakan gunung-gunung seolah lahir dari simbal-simbal drum, dentuman hempasan air laut laksana betotan bass yang mengalun indah. Benturan bintang-bintang adalah lighting sempurna bagi panggung perpisahan kita dengan cahayanya.

Terompet itu masih mengalun, bersama nada-nada semesta. Menciptakan konfigurasi kemerduan bagi telinga-telinga yang bertaqwa. Bagi mereka, ini adalah "All you need is love" (Beatles) yang menawarkan romantisme. Bagi mereka ini adalah "Dari Sabang sampai Merauke" yang menyuguhkan patriotisme.

Bagiku, ini adalah ketidakmerduan yang menghidangkan penyesalan dan neraka.

Semu(t)



Siang itu mungkin tak ada semut yg menyangka akan ketimpaan gula bergulung-gulung. 

Ini tentu (insyaAlloh) karena do'a anak-anak beberapa hari ini. Mereka, anak-anak itu, mungkin lebih tak menyangka lagi. Ia akan belajar tentang semut. Semut yang hari-hari menjadi bagian dari lelaku mereka. 

KarenaNya, semut itu datang berduyun merubung gula, melintas pada 'jembatan semut', tempat mereka bisa mengamati, meresapi polah tingkah semut.

Semut ternyata berperan penting bagi keseimbangan ekosistem semesta. (Tak ada makhlukNya yg diciptakan sia-sia kan?). Mereka bertasbih, bertukar sapa, bekerja sama.

Belajar tak membenci semut itu bukan perkara mudah. Apalagi merasa gembira akan hadirnya. Perlakukan semut perubung kue lezatmu dengan baik. Sisihkan gula-gulamu dari semut, ia sebetulnya hanya mengambil gula-gula yg tak disisihkan dengan baik. Andai ada Sulaiman dalam hatimu, mungkin dirimu tak akan mampu membendung senyum, betapa ta'dhimnya mereka padamu, betapa mereka bersyukur telah dihidupkan bersamamu.

Terima kasih semut. Terima kasih Alloh telah menghadirkan semut


*sept 2016

Jatuh


'Jatuh' itu tentang gravitasi, maka jatuh adalah tentang ruang dan waktu. Jatuh dg gravitasinya adalah sunnatulloh, jadi yg terjadi adalah 'dijatuhkan'. Proses dijatuhkan itu adalah momentum, untuk mekanisme pembangkitan energi, untuk kebangkitan yang memunculkan energi, untuk energi bangkit. 

Jatuh juga jangan diantonimkan dg bangkit atau bangun, karena duaduanya sama sama proses yg menggembirakan, duaduanya sama sama mampu memunculkan kesedihan, duaduanya adalah persamaan gravitasi.

Melestarikan Manusia



Di sudut percabangan akar, segerombolan semut sedang berbincang, membual, sembari menata kudapan untuk sepasukan petinggi kerajaan.

Sementara, sekumpulan pohon sedang berisik. Anak-anak pohon sedang berkumpul mendengar materi dari gurunya. 
“apa fungsi manusia?”, tanya salah satu dari mereka.
“mereka menyediakan karbondioksida untuk metabolisme kita. Oksigen yang kita keluarkan diubah oleh mereka menjadi karbondioksida”, sang guru mendikte.
“oleh karenanya, untuk menjaga kelestarian alam, kita harus menjaga supaya populasi manusia terus bertambah. Kita harus mengupayakan agar manusia dapat hadir di lingkungan kita agar supply karbondioksida kita terjaga”

Rupanya, sedang ada kampanye pentingnya manusia bagi kelestarian alam. Agaknya ini menjadi agenda rutin mereka, edukasi mengenai pentingnya manusia bagi lingkungan menjadi topik menarik. Mengingat sepertinya sudah terjadi krisis degradasi pengetahuan mengenai itu di kalangan mereka.

Semut-semut itu mencuri dengar, tapi acuh, kudapan mereka memang lebih penting.


*Aug 2016

Posoku Bolong Kabeh



Posoku Bolong Kabeh
(Puasaku Bolong Semua)

Andai saja kanjeng Nabi tidak bergembira pada malam ini. Mungkin aku lebih memilih untuk bersedih, menyepi sendiri, mengungkung diri lalu menangis sejadi-jadinya. 

Andai saja Al Mustofa Muhammad tidak mengumandangkan takbir malam ini. Mungkin aku akan lebih menggemakan istighfar. Lirih, pelan tapi bergemuruh dalam kalbu.

Siapa yg sanggup bergembira kalau sebulanmu kemarin hanyalah foya-foya. Satu-satunya ibadah yg aku mantapi perlakuannya hanyalah sahur dan berbuka. Oya, dan juga tidur. Boleh kah?

Puasaku masih penuh dengan pergunjingan, liar mata dan lisan. Nyatanya, diriku tak sanggup menahan diri dari apapun.

Alloh, sungguh piala piala kemenanganmu tak pantas atasku. Bagaimana mau disebut kemenangan, kalau aku tak berjuang untuk mengalahkan apapun.

"Selamat hari kekalahan", bisik emping lebaran di hadapanku.

TaqobbalaLlohu minnii. Gusti, sebetulnya mana berani aku memintaMu menerima amalanku, lha wong tak ada amalan apapun kuperbuat.

Anggaplah puasaku bolong semua. Cukupkah sebelas bulan menggantinya?.
Anggaplah puasaku bolong semua, tak perlu 'anggap' memang itulah adanya.
Anggaplah puasaku bolong semua. Ataupun sempurna semua, tak ada efeknya bagi Engkau Al Wasi'.

Hari fitri memang, tapi justru ini hari dimana blepotan dan carut marut dalam diriku tampak. Biarlah kotor, biarlah lusuh. Pekerjaanku memang mencuci, tak menjadi bersih pun tak apa, tetap kotor pun tak apa.

"Inni kuntu min ad dholimin", bagi para nabi ini rayuan. Bagiku ini pernyataan, nyata.

Allohu akbar...Allohu akbar..
(Dalam hati ia bersimpuh ampun)
Selamat Hari Raya Fitri
(Sebetulnya, ia sedang berduka akan keselamatan dirinya sendiri)

-Monolog Lungsur pada gelap-gelap takbir-


*juli 2016

Wednesday, October 3, 2018

Hujan Telah Reda


Sholat lah pada ruang dan waktuNya.

Kalau masjidku terbakar, alhamdulillah.
Kalau gerejaku terbakar, puji Tuhan.
Bangunan itu, adalah sepetak kecil dari luasnya hamparan masjidNya, tempat sujudNya. Bangunan itu, adalah sebidang kecil dari sebegitu luas ruang ibadahNya. 

Ibadahmu tak terbatas pada pagar masjid. Ruang ibadahmu tidak melulu soal barisan2 kursi gereja.

Kalau hatimu terluka karena mesjid dan gereja terbakar. Lebih terlukalah karena hutanmu sudah tak lagi belukar.

Kalau kamu atas namakan Tuhan pada masjid dan gereja terbakar.
Kamu kemanakan Tuhan saat hutanmu tak kunjung berhenti berkobar.

Hadirilah jamaah semesta, bersama barisan pohon yg tak pernah berhenti berdzikir. Datanglah pada jemaat alam raya, menyambut limpahan gelombang cahaya kasihNya.

Sholatlah dengan kesadaran bahwa segala ruang dan waktu adalah milikNya. Bahwa tempat sujud ini milikNya, bahwa cahaya dan bayangan itu milikNya.
Bahwa, mesjid, gereja dan hutan itu pula milikNya

-----intermediete

Selepas padam tiba. Mari bersihkan abu2 itu dalam tunduk dan syukur.
Syukur atas asap yg masih membumbung dan abu yg menumbuhkan subur.
Lalu tumbuhlah gereja, masjid, hutan yg lebih hijau, yg semakin membangun keteduhan, yg darinya suara suara dzikir mengudara tanpa menyesakkan dada.

Hujan telah reda.

---
Di suatu keharuan, october 2015

Meruang Mewaktu



Untuk apa ada waktu kalau ruang ini suda mewadahimu.

Ruang adalah ruang bagi realitas materi
Dan sepertinya, waktu adalah ruang Tuhan menyimpan rahasia-rahasiaNya.
Ia tersembunyi tanpa harus menyembunyikan diri. Rahasia-rahasiaNya tersembunyi tanpa persembunyian.

Waktu adalah ruang, bagi detak dan detik, kapan dan dimana. Seperti halnya apa yg tumbuh dari sini, lubuk ini, begitu saja.


Mistis


Sekali waktu membakar menyan sepertinya perlu. Bukan untuk mistis-mistisan. Membakar menyan adalah tentang belajar bau, bauNya Alloh. Seperti halnya bau jeruk dan bau rendang, yang tentu juga bauNya Alloh, milik Alloh. 

Maka, kalau membaui menyan lalu hati begindik takut, atau malah kelingan (teringat) sebangsa setan-setanan. Ini yg berbahaya. Boleh memang, hanya jangan lupa lanjutkan kelingan Gusti Alloh. Bahwa rasa takut itu rahmat Alloh, setan itu setanNya Alloh. Sehingga takut itu menjadi dzikir, rasa ke'setan'an itu menjadi dzikir.

Berpaling


Ada satu masa, ketika yg menghentikan kita dari berbuat buruk bukanlah kesadaran akan Tuhan dan catatan malaikat.

Yaitu, jin dengan anugrah dimensi yg mampu mengamati kita tanpa kita bisa sebaliknya. Pula udara, yg begitu hidup dan penuh rasa. Pula tembok rapat penutup maksiat yg tak bisa berbuat apa-apa. Pula nyamuk yg diam-diam berusaha mengingatkan.

Kita seharusnya malu pada mereka, pekiwuh sama makhluk lain. Kita nyatanya tak pernah betul-betul sendiri.
Jangankan dari pandanganNya, dari intaian makhlukNya pun sebetulnya kita tak pernah mampu memaling.


Ana Lastu Syai'in



"Mengapa Engkau merizki-iku", kudengar satu gelombang sirr entah dari mana.
Mengapa Engkau hadirkan aku sebagai makhlukmu.
Mengapa Engkau mau menjadi yg kupertuhankan. 
"Hati-hati ngomongnya, jon", ia tak sendiri ternyata.
"Betul, aku memang sedang hati-hati, sedang pakai dua hati"
"Berani kamu tak mempertuhankanNya?".
"Tak ada yg mampu tak bertuhan, kan?", aku masi diam, seksama.

"Apa aku hanya harus menghamba dan mensujudiNya?".
"Memang kamu mampu untuk tak menghamba dan tak mensujudiNya?".

"Lihatlah"
"Lihat apa, aku tak punya mata"
"Bukan mata yg menyebabkanmu bisa melihat. Bukan pula telinga yg menyebabkanmu mampu mendengar"
"Bukan pula makan yg menyebabkanmu kenyang, bukan pula belajar yg menyebabkanmu pintar", saling sahut tak terhindarkan.

"Gusti, ijinkan aku merasaiMu", satu penutup dari selintas siput.

# Ana lastu syai'in, aku mah apa atuh