Monday, February 26, 2018

USHUL SAINS

USHUL SAINS


Kalau dalam fiqih ada ushul fiqih. Pemahaman Alquran pun menjadi kurang utuh tanpa asbab an nuzul. 
Begitu juga sains, teori sains seharusnya mulai ditampilkan secara lebih empiris.
Maksudnya ada satu sesi pemaparan mengenai 'sanad' keilmuan, rantai sejarah atas teori tersebut. Tentu aspeknya bukan hanya historis, tapi juga filosofis. 

Supaya apa?
Bagi penikmat sains, harapannya hal tersebut mampu memberiknya gambaran utuh dan kontekstual mengenai ruang gerak, juga potensi teori tersebut.
Bagi pelakunya, tentu ini membawanya pada kemungkinan-kemungkinan pengembangan dan perbaikan.

Bisa dipastikan, orang macam almarhum Einstein mampu bercerita panjang lebar mengenai sejarah waktu, paling tidak, sejak era sesepuhnya Newton sampai ia sendiri turut menjadi bagian dari sejarah waktu itu. Juga mbah Susskind dan si flamboyan Hawking.
Bagaimana mungkin Bohr dan Schrodinger bisa berimajinasi mengenai lintasan dan pola gerak elektron kalau mereka tak paham sejarah dan nilai filosofis atom sejak era yunani hingga Rutherford.

Memahami aspek historis filosofis membuat mereka menjadi kritis dan memberikan kesadaran bahwa teori sains dibangun dari serangkaian pengujian teknis; yg berkaitan dengan tingkat akurasi dan kebenaran data, juga psikis; yg berkaitan dengan penerimaan teori tersebut di kalangan pelaku sains itu sendiri. Memang, tidak mudah meyakinkan ilmuwan. Seolah mereka punya bertumpuk-tumpuk hipotesis imajinatif yg siap mementahkan teori anda.

Teori sains selalu punya haters, karena pada hakikatnya sains bukanlah ilmu pasti. Maksudnya, bahwa sains itu dinamis. Persepakatan mengenai satu teori sains adalah persepakatan artifisial, buatan. Yg bukan berarti persepakatan itu merepresentasikan kebenaran teori itu secara mutlak. Tapi bahwa teori itu 'sementara' harus diterima untuk melengkapi dan menunjang satu kerangka berpikir ilmiah yg lengkap.

Maka, mengajarkan histori dan nilai filosofis satu teori sains sama halnya mengajarkan bahwa sains itu terbuka, terbuka bagi siapa saja yg berkemauan membukanya, terbuka bagi siapa saja yang berkemauan meminta kunci dariNya

ANGEL AND DEMON (Seri Phlogiston 3)


Perseteruan angel dan demon memang sering diceritakan tak ada habisnya. Dan penyebab utamanya satu, manusia. Begitu juga dengan phlogiston, perseteruannya dengan Lavoisierians seolah tak segera berakhir. Juga karena manusia. Pembakaran(combustion) dan cara pandang dalam menafsirkannya adalah awal mulanya. Sekaligus awal bagi lahirnya Chemical Revolution.

Seperti halnya avatar, pandangan kimia sebelumnya adalah tentang bagaimana memahami interaksi 4 elemen : api, air, udara, tanah.
Segala sesuatu yg terjadi di alam adalah produk interaksi elemen-elemen itu. Sampai muncul lah oksigen, yg pada akhirnya merubah kesuluruh cara pandang kimia, cara pandang tentang elemen.
Tapi, gagasan tentang oksigen pada proses pembakaran nyatanya masih menyisakan keganjalan, khususnya bagi James Hutton.

Berkaitan dengan apa yg disebut sebagai energy. Dalam hal ini direpresentasikan oleh heat dan light. Ambil contoh, katanya, cahaya : bagaimana dia bisa menghasilkan inflamasi, bagaimana dia bisa disimpan dalam phosporetic bodies, bagaimana terkadang dia membawa panas, bagaimana dia bisa menghasilkan perbedaan warna, bagaimana dia bisa diubah oleh tumbuhan menjadi animal fuel, bagaimana dia bisa menjaga keberlangsungan planet.

Era sekarang, cahaya bisa kita pelajari lewat photon. Panas?, agak membingungkan. Tapi, sebelum era ini, Gough sudah berkeyakinan bahwa phlogiston adalah partikel api, flame, light and heat, yg dihasilkan dari pembakaran. Secara spesifik, Stahl bahkan menyatakan phlogiston adalah materi panas, partikel panas.

Meskipun demikian, Hutton lalu beranggapan bahwa phlogiston adalah salah satu bentuk dari fixed light atau ia sebut sebagai "solar substance". Ia, lalu memasuki pemahaman tentang phlogiston melalui cahaya.
Cahaya dan phlogiston adalah identik. Ia punya perilaku yg sama, ia adalah kesatuan. Ritcher mengatakan, "dimana ada cahaya, disana juga pasti ada phlogiston".

Bahwa seperti halnya photon dan phlogiston. Angel and demon adalah kesatuan, mereka punya perilaku yg sama, punya visi yg sama : mematangkan iman manusia.
Bahwa hikmah, bisa lahir dari hati yg mendendam, perilaku yg buruk, dari manapun. Apalagi, niat yg suci dan akhlak mulia.
Bahwa eksistensiNya, tak terbatas waktu dan ruang. Ia harus hadir bahkan dalam hati terburuk sekalipun

SYAITONIAN (Seri Phlogiston 2)

SYAITONIAN



Memahami syaiton, maksudnya phlogiston. Memang sesulit memahami syaiton sebetulnya. Juga sama sulitnya seperti memahami diri kita sendiri. Harus ada sejarah yg mesti kita cari, intrik yg kita kenali, anti-anti yg memang seharusnya kita maklumi. 

Hingga sekarang bahkan (setidaknya seabad terakhir), nyatanya masih banyak scientist yg menyatakan respeknya terhadap phlogiston, masih ada yg merasa anti terhadap revolusi Lavoisier, yg meruntuhkan hegemoni teori phlogiston itu. Atau setidaknya, merasa ada sisi-sisi phlogiston yg memang benar adanya.

Bahkan, Howard Margolis dengan keras menyatakan sinismenya terhadap Lavoiser sebagai yg sebegitunya berusaha menjatuhkan ide tentang phlogiston.
Ada beberapa simpulan dari runtuh-totalnya teori phlogiston, salah satunya adalah bahwa teori phlogiston dianggap sebagai sebuah teori yg complex, rumit, karena adanya unobservable substance, phlogiston, adanya materi yg tak bisa dipahami gerik lakunya. Perseteruan ini melahirkan kubu, anti phlogiston dan anti lavoisierian (bahkan ada yg menyebut sebagai anti-anti-phlogistians), diantaranya James Hutton, James Watt- mewakili ilmuwan inggris, Andre De Luc, Claude Delametheire, Baptiste Lamarck-mewakili prancis, Adair Crawford, Freidrich Westrumb-mewakili jerman dan masih banyak lagi.

Dintara dua kubu ekstrimis itu, sebetulnya juga muncul kubu-kubu moderate. Salah satunya, Thomas Thomson, ia sebetulnya dengan tegas menjelaskan "upon the whole, it cannot be denied that Lavoisier's theory does not afford a sufficient explanation of combustion", tapi dengan bijak dia menyarankan agar kimia maju berdasarkan konsep Lavoisier.
Begitu juga Andrew Pyle, dia menyebutkan sebetulnya Lavoisier juga punya unobservable substance, Caloric. Alih-alih tendensius, dia justru mencoba mengidentifikasi karakteristik dua teori itu.

Bahkan, dalam sains sebetulnya tak ada kebenaran mutlak, tak boleh sungguh-sungguh menyakini sesuatu. Bahwa di dalam teori yg salah pasti mengandung satu dua building stuff yg benar. Bahwa dalam teori yg benar harus mengandung satu hal yg tak bisa dibuktikan benar, seperti halnya yg dinyatakan Kurt Godel dalam teori Ketidak-lengkapannya. Saya, jadi teringat Einstein, yg begitu keras melawan penganut mekanika newtonian, tapi juga begitu keras ketika dilawan anak-anak muda pembela mekanika kuantum. Ia menuntut lunak pada yg ia tuntut, lalu menjadi keras ketika dituntut. Terdengar tak fair memang, meskipun di akhir-akhir hidupnya ia coba berdamai.

Bahwa, dalam hidup, hal apapun itu, kita harus mampu memoderasi diri, tak menutup hati, supaya memberikan peluang bagi masuknya kebenaran-kebenaran baru kepada kita. Tak boleh betul-betul yakin, pasrahkan semua keyakinanmu padaNya, supaya Dia bantu mencukupkan kebenaranmu