Tuesday, December 23, 2014

Bapak-bapak Black Pearl


Bapak itu duduk terpekur disebuah emperan toko, memandangi kendaraan yang menyapu angin. Kakinya berselonjor, seperti ia tak ingin ada tikungan tajam pada jalan-jalan darahnya. Rambutnya keriting kumal, seperti ombak yang dibangun angin dari sembarang mata angin. Kumisnya seperti juntaian akar-akar beringin sepuh: tebal, panjang. Dari wajahnya tampak ia lupa bahwa ia tidak sedang di gurun sahara, berdebu, tak tersentuh air-kecuali keringatnya. 

“mas, stasiun arahnya kemana ya?”, tanyanya padaku yang sedang akan lepas dari parkiran.
“hmmm”, aku pun bingung menjelaskan, arahnya terlalu banyak menghabiskan kanan-kiri, berkelok-kelok jauh memang.
”mari, bapak ikut saya saja”, biar dia tau mengantarnya lebih mudah daripada harus menjelaskan. Begitu pikirku.

Bapak yang kalem dan sopan itu adalah warga Padalarang, ia banyak menghabiskan hidupnya di Jakarta, menjadi bagian dari padat dan sibuknya lalu lintas ibu kota.

”tiap habis kerja atau akhir pekan saya biasanya ke Sunda Kelapa mas”, katanya. Kupikir sekedar untuk melepas penat dan menepi dari asap kendaraan.
”sejak SMA saya terobsesi sama laut”. Aku baru tahu, obsesi belasan tahun tak lekang juga ternyata.

Bisa ditebak obsesinya menjadi apa kan?, tentu bukan turis pantai.

Ya, pelaut. Di Sunda Kelapa itu pula dia banyak bergaul dengan orang-orang laut. Dari mereka pula dia sedikit banyak tau tentang ilmu laut dan menjadi pelaut.

“saya keluar dari astra dan pergi melaut mas”, pekerjaan sebagai teknisi di perusahaan itu dia tinggalkan. Kapal Bugis (tentu bersama orang-orang bugis yang terkenal pandai melaut) menjadi tempatnya berlabuh, mengarungi laut lepas.
Beberapa tahun ia habiskan dilaut, memakai perlahan baju obsesinya itu.
Wajahnya kini seperti diguyur samudra, dari balik kumis akar beringin itu seperti tersungging kilau emas. Mirip awak-awak Black Pearl ketika menemukan harta karun. Aku hanya tersenyum, seperti Jack Sparrow yang licik dan licin itu.

“kami tertangkap di Probolinggo mas”, ia ternyata awak kapal angkutan kayu ilegal. Cerianya masih tak pudar. Selain angin sepoi dan terumbu karang yang indah ternyata laut juga menyimpan petualangan, tampak sepoi dan indah pula sepertinya.
 
Setelah berhari-hari ditelantarkan petugas, akhirnya mereka, para abk itu, balik kanan tanpa jatah kayu ataupun solar untuk sangu. Menumpang dari truk satu ke truk yang lain dan tentu satu-satunya motor (reotku)-hanya beberapa kilometer pula.

Akhirnya kami pun berpisah, bukan di stasiun seperti di film-film romantis itu. Kami berpisah di perlintasan kereta api, di bawah sebuah jembatan layang.
“saya naik dari sini saja mas. Sudah ndak ada ongkos”.
Aku menyesal, kenapa dia bertemu diriku, kenapa bukan orang-orang yang bisa mencukupi ongkosnya pulang. Maaf ya pak.

“salam untuk keluarga di rumah ya pak”, sambil do’akanlah aku agar segera punya obsesi.  


Monday, December 22, 2014

Batal Mudik


Baik, rasakanlah api dalam dirimu. Lalu perhatikan dengan lubukmu, akan keluar sesosok ksatria yang gagah berani dari dalam dirimu. 
"Ah, sudahlah aku pergi saja". Dengarkan, ujarannya terlihat kesal bukan?.
"Aku tak cocok dengan iklim api yang ini". Seksamakan gerutuannya, tak ubahnya kiasan rindu kampung halaman.
"Bagaimana aku bisa tenang, bahan bakar apimu sudah tak seperti dulu". Lihat, gerutunya sudah mulai ilmiah. 

Musim ini, ramadhan ini, negeri api sedang bergairah, masyarakatnya bersuka cita, para perantaunya yang melalang buana di beberapa detik cahaya telah pulang menemui sanak saudaranya. Kecuali, 'mereka-mereka' yang telah hidup tentram di suaka-suaka hati manusia.

"maafkan aku ksatria, nampaknya aku tak cukup mampu memulangkanmu musim ini", ujarku.

Saturday, November 29, 2014

Lagi



"Iya, betul. Saya bicara padamu rindu"

Friday, November 28, 2014

Majlis Alam Semesta


"Siapa yang bersujud itu?"
"Itu saya bro"
"oya?lalu siapa lagi?"
"ya, saya sendiri. Kan bisa dilihat difoto"

Bukan, tidak kah kamu mendengar betapa rumput itu tak berhenti merapal tasbih dalam sujud yang begitu dalam padaNya. Lalu, angin itu tak kalah riuh menebar kecintaan padaNya, ia menyela rambutmu, mencicipkan rasa nya pada parumu. Lihat pula air-air itu, kemilaunya merefleksikan sinyal mahabbah. Matahari itu, langit yang terlihat biru itu, punukan tanah itu adalah penyujud senior dan paling setia. 

Ya, kita hanyalah jamaah terakhir dalam majlis sujud alam semesta.

.......


Lihatlah, bukankah beda tinggi itu tak ada?

Monday, November 24, 2014

Pengayaan


Kamu yang pandai merasakan makna pasti tau, bahwa satu-satunya hal yang membuat kita satu adalah waktu. Cuaca yang seenaknya, langit yang tak pandai merayu, bumi yang pasrah begitu saja, muncul sebagai simpulan kita pada jutaan milisekon perlaluan.

Suatu kali kamu pernah bilang,
“kenapa kamu bicara terus?”.
Ada kalanya burung harus berkicau di pagi hari, menyapa semut yang sudah sedari tadi berpeluh mencari sarapan pagi, membuatkan senyum bagi ranting-ranting buah ceri. Atau setidaknya pengayaan frekuensi, bukankah udara sesekali juga perlu liukan-liukan yang bervariasi?

Sekali waktu, kamu malah menggerutuiku,
“Sudahlah, jangan diam saja!”.
Terkadang bunga harus tetap diam untuk membuatnya tampak menawan. Meskipun kadang kala dia minta bantuan angin agar terlihat lebih menawan.

Lalu, kapan kita bertemu?
Supaya kamu bisa ajari aku bagaimana cara bicara dalam diam.

Saturday, November 22, 2014

Siapa Yang Rindu?


Siapa yang pernah mencinta pasti akan tau bagaimana tersiksanya dibekap rindu. Semua hal tentangmu adalah rentetan kenangan dan angan yang tak lelah melayang. Ketika gelombang air yang meliuk diatas bak mandiku adalah bayangan atas senyummu, ketika aroma sate tiba-tiba tanpa ada hubungan apapun membawaku untuk mengingatmu, (ya) ketika itulah semua konklusi tentangmu muncul dari premis-premis yang tidak logis.

Siapa yang pernah merindu pasti akan tau bahwa satu-satunya hal yang mereka inginkan adalah mendekap temu. Saat tiba-tiba satu-satunya ilmu yang ingin kamu pelajari hanyalah teleportasi. Saat tiba-tiba kamu benci sekali dengan segala yang bersatuan jarak, karena tentu itu akan menuntunmu pada ingatan temu tak berujung.

Siapa yang pernah begitu ingin menggandeng temu pasti tau, terkadang cara terbaik untuk menjaga pikiran pada sosok yang terindu adalah tetap merasa rindu. Bagiku, temu adalah ruang transit untuk kemudian kulanjutkan lagi perjalanan rindu. Biarlah aku lelah merindu, karena aku tau pada sekumpulan awan putih itu akan ada kamu, pada rerimbunan pohon itu akan ada kamu, pada burung-burung yang bertengger menikmati sore, pada tumpukan jerami, pada caping pak tani, pada karcis kereta malam, pada gitar sang seniman, pada semerbak toko buku, pada suara kegaduhan hujan akan kulihat hadirnya sesosokmu.


Siapa yang pernah begitu mengingkan kamu ada dimana-mana?. Ya, itu aku.  

Saturday, November 8, 2014

Natural geographic


"Adik-adik, hari ini kita main di sawah ya, sama sapi, lumpur dan padiNya Alloh"
"Baik kakak, Bismillahirrohmanirrohim"

Alhamdulillah, berjalan di pematang mengajarkan tentang shirotol mustaqim, tentang fokus dan keseimbangan.

Sawah dengan segala hal di dalamnya tentu tidak bisa diwakilkan dengan video HD, dengan angel memukau atau videografer NatGeo sekalipun. 

Ada bau lumpur yang begitu merindukan, gemulainya yang muncul ketika dipijak, panas yang menyengat yang menghantam angin sepoi, cacing-cacing yang menggeliat menggelitik. Ya, semua itu tidak akan didapat dengan mendudukkan anak di depan layar tv, lalu menjelaskan bagaimana itu sawah. 
Hadirkan mereka disana, lalu sadarkan bahwa bau itu, lumpur itu, cahaya itu, angin itu, cacing itu, kesemuanya adalah milikNya, hanya milikNya.

Tuesday, October 21, 2014

Maha Guru


"hai bakau, sedang apa kamu?"
"aku sedang belajar tumbuh dan mengakar"
"belajar?untuk apa belajar, bukankah Tuhan sudah membuatkan mekanisme untukmu"
"memangnya kamu pikir, kebisaanmu berjalan kaki, mengunyah makanan, menetek pada ibumu itu buah dari proses automekanis?. Seperti halnya radio yang tak lagi butuh pembuat radio untuk menyuarakan frekuensi"

Ya, dirimu terlalu lemah untuk dilepas Tuhan begitu saja, jiwamu terlalu renta untuk berdikari. 
Tuhanlah yang secara langsung mengajarimu tentang hidup dan menjalani kehidupan.
Tuhanlah sejatinya Maha Guru. 
Ia ajari bagaimana anak bebek memecah cangkangnya, Ia ajari bagaimana anak kambing menggeliat pelan hingga ia berjalan, Ia ajari serbuk sari mencumbu putik, Ia ajari pohon jambu berburu air, Ia ajari manusia mengenal rupa. 
Ya, Ia langsung yang ajari kita, dengan papan tulis dan spidolNya. 

Alladzi 'allama bilqolam

Monday, September 8, 2014

Operasi Rejeki


"Alhamdulillah"

Ujar seekor sapi ketika tengah berjalan di pematang sawah.

"Alhamdulillaaaaaaaaahhh......"

Pekikan itu terdengar begitu berenergi, seolah melesat begitu cepat kepadaNya. 
Ya, para intelejen lalat segera bergerak cepat, mengirim sandi-sandi informasi posisi kepada pasukan infanteri. Kumbang-kumbang pun tak kalah gerak, dengan langkah lambat dan daya terbang yang berat ia pun segera bersiap. Bahkan, renik-renik mikroba, sang prajurit pasukan khusus, dengan sigap, cepat dan menggeliat segera menyerbu dan menjadi pasukan terdepan. 

Inilah ladang pertempuran mereka. Bertempur bukanlah tentang berseteru, bertempur hanyalah gerakan bahu membahu. 

Bersiaplah menyambut rezeki dari langitNya, lantas kalau ada makhluk berkaki empat menutup pandangan langitmu. Maka persiapkan tangan dan kakimu untuk segera menyerbu. 

"Alhamdulillaaaaaaahhhh..."
Hehe.

Sunday, August 31, 2014

Kamuflase Gelap


Apa yang kamu lihat daripadanya
"sebuah lampu taman yang indah"
"Oya?, lalu?"
"Tidak kah indah sudah mewakili segala?"

Tidakkah kamu melihat, disana ada sebuah istana, didepannya ada sebuah tiang bendera yang gagah perkasa, lalu beberapa prajurit berseragam lurik sedang berjaga. Berikut air mancur yang berlomba-lomba tersemburat
Tidakkah kamu melihat, bahwa ada kegelapan yang begitu nyata, Kamu hanya melihat kenyataan yang menggembirakan. Padahal jelas-jelas ada kegembiraan yang nyata disana. 

Kita, berada dalam dimensi kegelapan yang berbeda. Bahwa di dalam kegelapan banyak terkandung realita. Cahaya ternyata telah menggelapkan matamu untuk melihat lebih daripadanya.

Ya, tak ubahnya gudeg dan manisnya gula, oposisi dan prostitusi. Bahwa gelap sama berartinya dengan cahaya.

(*foto didepan istana)

Cahaya Iblis


Gelap adalah spasi, Gelap adalah jajaran spektrum,Gelap adalah dasar dan Gelap adalah ruang besar

Kerindangan adalah secercah kegelapan, Buta dan Melihat adalah gelap yang sama, Cahaya adalah penghuni gelap

Yakini lah, gelap akan menuntun pada keniscayaan.
Itu sebabnya iblis tak dibuat dari kegelapan.
Katakan pada gelap, bisakah kita bersahabat?

Thursday, July 31, 2014

Lailah, ladalah….



Dari semalam, suara takbir tak pernah sepi dari telinga Lungsur. Handphonenya yang bernada dering ‘Takbir’ itu tak berhenti berbunyi, berbagai macam ucapan selamat hari raya idul fitri memenuhi inboxnya.

Allohuakbar…Allohu akbar….Allohu akbar….la ilah……..”, satu pesan masuk.

Allohuakbar…Allohu akbar….Allohu akbar….la ilah……..”, belum selesai bunyi sms pertama, pesan kedua menyerobotkan bunyi semula.
            
Dampit yang sedang berhalal-bihalal ke rumahnya menjadi gusar.

“Sur, kamu jadi atheis ya sekarang?”

“kok gitu prop?”

“lha itu, nada smsmu. La ilah…la ilah…ndak ada tuhan…ndak ada tuhan….”

“iya prop, dari semalam banyak sms masuk, semuanya mengucapkan selamat hari raya idul fitri. Mohon maaf lahir bathin katanya”

“Nah, kamu sendiri ndak ngirim sms begituan juga sur”

“Aku baru ngirim begituan ke Tuhan aja prop, yang lain malah belum sempat”

“Wah iya, kelalen (terlupa) aku Sur sama Tuhan”

“Nah lho, kok jadinya sampean yang la ilah prop”

            Keduanya terdiam, lalu diam-diam tertawa.

“Sampean sudah kirim smsnya kemana aja prop?”

“Cuma ke Paijo si penganut dharmo gandul, Joseph saudara kristenku, Agus kawan budhaku, sama Mona teman diskusiku yang atheis itu”

“Walah, mereka kan non muslim prop. Ndak takut haram prop?”

“Aku cari-cari belum nemu fatwa MUInya Sur. Yang dibahas tiap tahun malah pengharaman mengucapkan selamat natal oleh umat muslim. Lha aku kan mengucapkan selamat idul fitri ke non muslim. Lagi pula, aku malah senang kalau ada orang non muslim ikut serta merayakan Idul Fitri, tambah rame to”

“Betul prop, semoga semuanya kembali fitri”

“Semuanya siapa sur?”

“Ya semuanya prop……”

“ladalah…”

 

Tuesday, July 22, 2014

Cacing berkecambah


Apa yang membuat kecambah tumbuh begitu cepat pada kapas. Ada harap dan ingin yang sangat dan kuat, bahwa pertemanannya dengan renik adalah sebuah kedekatan khusus, bahwa perjumpaannya dengan tarian-tarian cacing adalah kerinduan.

Katanya, “Hai, aku sudah tumbuh, segera tanamlah aku di tanah”.

Friday, July 18, 2014

Ruang Intim


Ada Fuad yang terselimut dalam Qolbu, di dalamnya ada Lubbu, disana lah simpul-simpul antara kamu dan Tuhanmu berada. Disanalah area romantisme dan keintimanmu denganNya, tak ada manusia lain, tak ada Jin, bahkan tak ada malaikat penghitung amal.

Wednesday, June 25, 2014

Eksisnya Anak Iblis

Suatu hari waktu kuhadir disebuah acara pemakaman seorang kerabat. Disana, kuketahui bahwa Tsabar, salah seorang anak iblis yang sudah berusia ribuan tahun turut serta hadir. Ia merasuk dan menjelma menjadi kesedihan dan kekecewaan. Di lain waktu, kuketahui juga bahwa Dasim, anak kesayangan iblis hadir dan turut tampil di TV, mengawal Enji dan Ayu Tingting di Silet dan acara-acara serupanya. Ia merasuk dan menjelma menjadi kata 'cerai'.

Thursday, June 19, 2014

Mencari kesuksesan semut


Kemanakah kamu mencari inspirasi?
Berhentilah ke Mario Teguh, berhentilah membaca Bill Gates, jangan lagi mendengarkan Habibie, cukupkanlah melihat prestasi, kurangilah bertemu orang 'sukses'.

Lihatlah angin yang bergerak begitu semilir, dengarkanlah kegaduhan yang begitu merdu, rasakanlah terang yang menghangatkan tubuhmu. Sadarilah, semut-semut yang begitu ta'dhim pada sunnahNya, gajah yang melipat belalai karenaNya, bumi yang begitu ikhlas tiada serupa.


Friday, June 6, 2014

Permulaan embun

Waktunya menggeliat, pagi sudah menanti. 
"Selamat pagi embun".
Pagi bukanlah permulaan hari. Seperti halnya tak harus kita akhiri hari dengan malam.


Sunday, June 1, 2014

I am you


Apa yang membuatnya tertancap begitu dalam, hingga suatu kali dia berteriak pada dirinya sendiri. 

"Jadilah tinggi"

Ia jawab, "Tidak, aku disini saja. Ingat, teruslah meninggi, jangan lihat kebawah".
Perlahan, tanpa rasa dan kesadaran dirinya yang itu, ia mengakar, menarik kuat sebuah kekokohan. Sambil sesekali ia tepuk pundaknya, "Just keep growing".

Hingga pada saat yang berikutnya, ia yang sudah menjadi tinggi yang sangat, juga rupa yang rupawan, bertanya pada dirinya yang ini.

"who are you?"
Dibalik janggut yang begitu rimbun, diantara penampakan-penampakan yang begitu renta, menyeruak sebuah suara 

"I am You".

Friday, May 9, 2014

Peringatan Penghabisan

Sore itu rintik hujan sedang  mendatangi desa, di gardu kamling seperti biasa, Lungsur dan Dampit sedang ngobrol ke segala penjuru arah.

“Ada rokok ndak prof, hujan-hujan, dingin-dingin memang paling enak ngerokok”

“Aku sudah berhenti merokok sur, aku melihat gelagat kegusaran masyarakat tentang merokok sur”, ujar Dampit serius.

“Gusar kenapa prof?”

“Kamu ingat ndak peringatan dibungkus-bungkus rokok yang lama”

“yang MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN itu?”

“Betul, ingat betul ya kamu”

“Gimana ndak prof, tulisan itulah yang membuatku akhirnya berucap pada Tuhan, ‘ ya Tuhan, penyakit-penyakit itu tak akan menghalangiku untuk tetap beribadah kepadaMu. ”

“Nah, itulah sur. Orang-orang seperti kamu inilah yang akhirnya membuat mereka gusar sehingga peringatan itu diganti menjadi MEROKOK MEMBUNUHMU. Mungkin mereka berpikir kalau kamu meninggal, sudah tak ada kesempatan beribadah lagi untukmu”

“hahaha. Tak masalah kalau terbunuh prof, toh setiap orang kan pasti akan mati. Yang penting khusnul khotimah, jadi bisa masuk surga”

“Ssst, jangan keras-keras sur. Nanti kalau ada yang dengar aku khawatir mereka semakin gusar, sehingga peringatan di bungkus rokok itu diganti lagi”

“Diganti gimana prof?”

“MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN MASUK NERAKA”

“Wah, kalau peringatannya dibuat sampai titik penghabisan seperti itu, harus bagaimana lagi kita prof”.
Hujan pun merintik semakin kerap, sementara mereka masih termenung dengan pikirannya masing-masing. Sementara itu, dari kejauhan Prasojo datang tergopoh-gopoh mendatangi gardu, berharap bajunya tak basah kuyup.

Dari balik sakunya, tangan Prasojo seperti mengambil sesuatu,

“Rokok mas?”, ia menyodorkan rokoknya

Lungsur dan Dampit pun saling berpandangan tanpa terucap kata untuk kesekian kalinya .




Tuesday, March 25, 2014

Lembaran Cahaya

Kubaca dari sebuah koran, katanya manusia lahir itu seperti lembaran putih, kehidupan kita itu semacam menulis pada kertas-kertas putih. Hingga ketika akhir raga, kertas-kertas itu menjadi buku kehidupan. 

         Kusadari bahwa ternyata tak ku temui lembaran-lembaran putih. Di hadapanku hanya ada bunyi sibakan kertas-kertas gelap, tak teramati. Maka, esok hari kubawa sekuntum cahaya. Aku dekatkan pada buku itu.
    
         Ya, ternyata lembaran-lembaran itu sudah bertuan, tulisan-tulisan rapi nan padu, tak jarang juga kulihat mereka meleot, berantakan, lalu sisi yang lain ada gambar beragam warna. Esok harinya kubawa cahaya dua kuntum, ku berharap hari itu, gambar dan tulisannya menjadi keterpaduan. Tiap hari kubawa sekuntum demi sekuntum cahaya, hingga suatu ketika, sampai ajalku menjelang, kuntum-kuntum cahaya itu membuatku terbelalak. Ku dapati tulisan itu sudah berbentuk beragam moda, gambar-gambar itu sudah menjadi beragam rupa. Kau tahu, ternyata itu adalah kehidupanku.


         Buku-buku itu sudah penuh tulisan, di sela-selanya suda ada ribuan gambar. Hidup kita sudah dikonsep dengan rapi olehNya. Setiap ludah yang kita ‘ciuh’kan, setiap lengan yang kita ayunkan, setiap kedip yang kita lakukan, pada dasarnya sudah tertulis lawas dalam buku itu. Setiap kelahiran manusia adalah kegelapan bagi dirinya, karena hakikat ruang dan waktu adalah gelap. Jadi, mari kita meniti cahayaNya, perlahan, baris demi baris, area demi area. Supaya buku itu menjadi terbaca, supaya kita tahu bahwa sesungguhnya gambar itu begitu indah begitu rupa.

Sunday, March 9, 2014

Benuaq




         
Siang itu awan terlihat sedikit gelap, pohon-pohon tampak bergoyang senang mengikuti alunan angin, serakan daun-daun pun seperti ikut-ikutan, kupandangi mereka begitu lekat.

“kamu terlihat begitu gembira, ada apa gerangan?”, tanyaku

“Kami baru saja jatuh dari pohon beberapa waktu yang lalu, dan bukankah pada momen itu Tuhan tak pernah luput dari pandangan pada kami. Maka, bagaimana kami tak gembira?”, seru salah satu daun.

“ bukankah Tuhan bahkan tak pernah luput pandangan atas makhlukNya, kapan dan dimanapun?. Jadi kupikir itu biasa saja”, jawabku ketus.

Lantas, daun-daun itu pun mulai meletak, tergeletak, tak bersemangat. Seperti ada kesedihan pada mereka.

“Betul kata dia, tak ada waktunya bersuka ria, tasbih kita masih terlalu sedikit”, sahut daun yang lain.

Aku terdiam, apa kabar tasbihku, mungkin masih hitungan jari. Mereka, makhluk yang senantiasa bertasbih itu merasa belum apa-apa. Maka, sesungguhnya aku lah yang terjatuh, tersungkur, terluka oleh kesedihan-kesedihan.

 Beberapa penumpang sudah mulai bersiap masuk, pak supir yang juga merangkap kondektur itu terlihat sibuk menyobek karcis. Aku duduk paling belakang, bersama beberapa lelaki kekar. Mesin sudah dinyalakan, bis mulai membuat kami bergoyang, itu tandanya bismillah harus sudah terucap.

-0-

‘Terminal Lempake, Samarinda’. Tak ada yang istimewa disini, seperti kebanyakan terminal, yang terlihat hanya lalu lalang para musafir. Sampai ketika aku melihat ganjal kayu disela-sela impitan ban bis.

“Istimewa”, bathinku. Kupikir istimewa itu tentang cara pandang, tentang arsiran tersendiri yang kita buat padanya. Istimewa hanyalah frase untuk mengistilahkan kemewahan. Maka, jangan tanyakan kenapa itu istimewa, karena sesungguhnya selera mewahku cukup rendah.

-0-

Simon, begitulah namanya. Ia adalah ketua Gramina, sebuah organisasi masyarakat yang bervisi pada perjuangan hak asasi manusia. Ayahnya dari NTT, yang kemudian menikah dengan seorang perempuan Dayak Benuaq. Aku dijemput olehnya menuju kampung Benanga, sebuah kampung yang memang banyak dihuni masyarakat Dayak Benuaq. Disana, ia mengasuh sebuah sanggar kesenian, mendidik anak-anak Dayak Benuaq untuk turut serta melestarikan kebudayaan mereka.

Modernisasi memang tak bisa dihindari, tetapi sebagai implikasinya, begitu banyak tradisi dan kebudayaan masyarakat yang  tergerus. Anak-anak sudah banyak yang tak mengenal kearifan lokal. Kearifan lokal adalah hasil ukiran kebuadayaan masyarakat yang terbentuk dalam kurun waktu yang sangat lama, didalamnya terdapat nilai-nilai filosofis kehidupan, dan tentu, sebuah cara berkehidupan yang jauh dari pragmatisme.


“Anak-anak sudah banyak yang tidak bisa berbahasa Dayak mas”, begitu keluhnya berkali-kali.

Malam itu, kami semua berkumpul, anak-anak serta orang tuanya juga beberapa tetua ikut dalam sebuah lingkaran. Kami membicarakan banyak hal, tentang keinginan mereka yang kuat bahwa Dayak Benuaq harus maju, mereka mengatakan diantara saudara Dayak yang lain, Benuaq lah yang masih belum maju. Tetapi secara kebudayaan dan kesenian, Dayak Benuaq lah yang paling kaya. Maka, visi mereka adalah ingin agar secara kehidupan, Dayak Benuaq bisa maju. Begitu pula kesenian dan tradisi, mereka berharap agar bisa tetap lestari. Banyak cerita rakyat yang disampaikan, tentang perang antar suku beberapa abad lalu, tentang kekeringan 7 tahun, tentang perjuangan untuk Indonesia Merdeka. Kebanyakan cerita mereka masih disertai bukti-bukti yang banyak tersimpan dibelantara hutan kalimantan.

Makanan tiba,

“mas, silakan pimpin do’a”, kak Simon mempersilakan.

“Tuhan, Engkaulah pencipta manusia Dayak, manusia Jawa, manusia Eropa. Engkau pula lah pencipta pemeluk-pemeluk Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan juga Islam. Engkau juga lah pencipta nenek-nenek moyang kami semua, juga roh-roh serta makhluk-makhluk ghaib yang bertebaran di jagad semesta ini. Terima kasih telah memberi kami kehidupan selayaknya makhluk”, bathinku ketika merapal do’a.  

Kebetulan dikampung sedang berlangsung acara adat kematian. Acara pengangkatan tulang –tulang orang yang sudah meninggal, hampir sama seperti di Toraja. Selama acara sekitar dua bulan itu, tulang-tulang itu diletakkan di dalam Kwangkai. Sebuah kotak rumah-rumahan yang ditutupi kain-kain. Malam hari biasanya orang-orang melakukan tari Ngerangkau, mengitari Kwangkai. Selama acara berlangsung Lamin, sebutan untuk rumah Dayak, tak pernah sepi dari aktifitas. Maka, pagi itu aku diajak kesana, bertemu ibu-ibu yang sibuk menyiapkan masakan dan juga sesajen. Dan tak lupa tetua-tetua yang sedang duduk melingkar di tengah lamin. Mereka bercerita tentang hukum-hukum adat istiadat dayak, tentang reinkarnasi. Disana, hadir tetua yang khusus mengurus kematian,  dan juga tetua yang mengurus hukum-hukum adat.
Suku Dayak Benuaq memang banyak tersebar di wilayah Kutai Barat, maka mereka sering kali menyebutnya sebagai hulu. Hulu dari adat dan kebudayaan benuaq mungkin.

Atau mungkin hulu itu adalah tempat mereka hendak kembali ketika hilir-hilir kebudayaan dan kearifan lokal mereka sudah semakin menjadi kering.      

-----0------


Wednesday, February 19, 2014

Keluarga Gerobak



Tubuhnya kecil, di dalam kulitnya yang legam ada daging-daging yang kekar, urat-urat yang melang melintang begitu kuat. Berewok dan kumisnya sering kali tak dicukur.

Aku ingat ketika dia dengan gerobak dorong berisi perkakas rosok berjalan bersama istrinya, kulihat wajahnya ceria, sumringah. Ya, masa itu memang ketika mereka adalah pengantin baru.

“ini istrimu?”

“iya mas”

Malam itu dingin, kupikir tak ada salahnya menyaji ayam goreng panas. Meskipun, cinta kasihnya yang sedang hangat jauh lebih menghangatkan mereka.

Ada sipuan malu pada sesamanya, ada colekan-colekan jahil yang – walaupun dalam senyap – menggurat tawa mereka, lucu sekali. Dalam kekakuan-kekakuan ramai orang, mereka saling mengikat, memapar romantisme.

Lalu, pada suatu hujan yang rintik di hampir pertengahan malam beberapa bulan kemudian, dengan gerobak yang sama, kali ini ia bersama wanita cantik lain, bukan orang yang sama tentu.

Dalam selimut tebal, ia diangkat dari dalam gerobak. Selimutnya, tentu bukan selimut baru dengan warna mentereng. Mainannya, tentu bukan si berbie mungil itu.

“istrimu dimana?”

Dalam tunduk, ia utarakan kebisuan. Hanya tangannya yang bicara dalam suapan anaknya.

Anak itu tidak rewel, dalam tubuh bayinya, ia seperti tau betul kesedihan bapaknya. Aku yakin (dalam do’a), insyaAlloh anak ini akan menjadi luar biasa, benar-benar luar biasa, bukan luar biasa yang banyak dicelotehkan pada kebiasaan televisi.

Dalam ceritanya kemudian, aku tau tentang istrinya yang pergi, lalu mengantarkan kesedihan padanya. Juga tentang gadis kecilnya yang ditinggal begitu saja.

Kalau kalian tau, jika sedang tak bawa gerobak, ia sering bertelanjang dada, memanggul anaknya di kepala. Berjalan pada terik dan malam yang gulita. Seperti ia ingin tunjukkan pada putri kecilnya, ”inilah jalan dan perjalanan hidup, nak”.

Sekarang, sekian tahun kemudian. Pada gerobak yang tetap sama, yang tetap ia tarik dengan semangat begitu rupa, juga pada bagian malam yang hampir sama, ia hadir sendiri.

“oh, bukan”, bathinku.

Seorang gadis meloncat dari dalam gerobak, kakinya yang mulai jenjang menunjukkan betapa ia sudah tumbuh lincah, jilbabnya yang sederhana seolah menegaskan padaku, dunia ini memang sederhana.


“kamu sudah besar ya”.

Sunday, January 26, 2014

8 Tahun Sudah


Pada suatu pagi yang alhamdulillah cerah. Seorang lelaki berkaki tiga sedang duduk-duduk disebelah jembatan. Wajahnya lusuh, tanda sudah lama dimakan jalanan. Ia terlihat sedang bersantai, geraman mesin-mesin berjalan sudah tak jadi hirauan. Kucoba bangun komunikasi, kutakut ada jiwa yang terganggu. Maka aku hati-hati.

 “pagi yang cerah ya. Bapak dari mana?”, kucoba berbasa-basi.

Tak ada jawaban yang pasti. Sepertinya dia juga berhati-hati. Aku menyantaikan diri, kupancing ia dengan politik negeri, penguasa yang korup, kesemrawutan, dan lain sebagainya. Ini strategiku, rakyat kecil seperti kami memang paling suka topik ini. Semacam kami menemukan kambing hitam atas kesengsaraan kami. Bapak itu mengiya, sesekali tertawa mendengar opera-opera kehidupan di negeri ini. Hingga......ia bercerita tentang operanya sendiri.

“8 tahun sudah”, begitu katanya.

Selama itu ia sudah tak pulang, selama itu pula ia mencoba terapi sakit hati, selama itu pula dengan jalan yang tak berimbang ia menyisir jalan.

“8 tahun lalu”, lanjutnya.
Ketika dia akhirnya kehilangan sebuah kaki karena insiden jalanan, ketika akhirnya dia tak bisa lagi menafkahi istrinya dengan baik, ketika akhirnya pada sebuah malam berhujan saat dia pulang ke rumah didapati istrinya mengemas barang. Jiwanya terguncang, tentu.

“takut merepotkan orang”, katanya menjawab alasannya pergi.

Padahal, kutahu, jauh lebih dalam ia terluka, ada hati yang tersakiti, ada kedalaman cinta yang begitu ia ratapi. Apalagi beberapa bulan setelahnya, didengarnya kabar istrinya menikah lagi. Perjalanannya makin mantap, seolah ada tiket free pass yang didapatnya.

“tak ada yang perlu dirisaukan”, katanya sambil tertawa.

Kupahami bahwa tertawa, tersenyum dan ikhlas adalah pelarut bagi banyak amarah, pemutus ikatan-ikatan iblisiah. Aku undur diri, kujabat tangannya, ketepuk pelan pundak kerasnya berusaha menguatkan.


“semoga wanitamu bukan seperti wanitaku”, ucapnya hangat, sehangat  foton yang membawa kehangatan.