Sunday, January 26, 2014

8 Tahun Sudah


Pada suatu pagi yang alhamdulillah cerah. Seorang lelaki berkaki tiga sedang duduk-duduk disebelah jembatan. Wajahnya lusuh, tanda sudah lama dimakan jalanan. Ia terlihat sedang bersantai, geraman mesin-mesin berjalan sudah tak jadi hirauan. Kucoba bangun komunikasi, kutakut ada jiwa yang terganggu. Maka aku hati-hati.

 “pagi yang cerah ya. Bapak dari mana?”, kucoba berbasa-basi.

Tak ada jawaban yang pasti. Sepertinya dia juga berhati-hati. Aku menyantaikan diri, kupancing ia dengan politik negeri, penguasa yang korup, kesemrawutan, dan lain sebagainya. Ini strategiku, rakyat kecil seperti kami memang paling suka topik ini. Semacam kami menemukan kambing hitam atas kesengsaraan kami. Bapak itu mengiya, sesekali tertawa mendengar opera-opera kehidupan di negeri ini. Hingga......ia bercerita tentang operanya sendiri.

“8 tahun sudah”, begitu katanya.

Selama itu ia sudah tak pulang, selama itu pula ia mencoba terapi sakit hati, selama itu pula dengan jalan yang tak berimbang ia menyisir jalan.

“8 tahun lalu”, lanjutnya.
Ketika dia akhirnya kehilangan sebuah kaki karena insiden jalanan, ketika akhirnya dia tak bisa lagi menafkahi istrinya dengan baik, ketika akhirnya pada sebuah malam berhujan saat dia pulang ke rumah didapati istrinya mengemas barang. Jiwanya terguncang, tentu.

“takut merepotkan orang”, katanya menjawab alasannya pergi.

Padahal, kutahu, jauh lebih dalam ia terluka, ada hati yang tersakiti, ada kedalaman cinta yang begitu ia ratapi. Apalagi beberapa bulan setelahnya, didengarnya kabar istrinya menikah lagi. Perjalanannya makin mantap, seolah ada tiket free pass yang didapatnya.

“tak ada yang perlu dirisaukan”, katanya sambil tertawa.

Kupahami bahwa tertawa, tersenyum dan ikhlas adalah pelarut bagi banyak amarah, pemutus ikatan-ikatan iblisiah. Aku undur diri, kujabat tangannya, ketepuk pelan pundak kerasnya berusaha menguatkan.


“semoga wanitamu bukan seperti wanitaku”, ucapnya hangat, sehangat  foton yang membawa kehangatan.

No comments: