Wednesday, February 19, 2014

Keluarga Gerobak



Tubuhnya kecil, di dalam kulitnya yang legam ada daging-daging yang kekar, urat-urat yang melang melintang begitu kuat. Berewok dan kumisnya sering kali tak dicukur.

Aku ingat ketika dia dengan gerobak dorong berisi perkakas rosok berjalan bersama istrinya, kulihat wajahnya ceria, sumringah. Ya, masa itu memang ketika mereka adalah pengantin baru.

“ini istrimu?”

“iya mas”

Malam itu dingin, kupikir tak ada salahnya menyaji ayam goreng panas. Meskipun, cinta kasihnya yang sedang hangat jauh lebih menghangatkan mereka.

Ada sipuan malu pada sesamanya, ada colekan-colekan jahil yang – walaupun dalam senyap – menggurat tawa mereka, lucu sekali. Dalam kekakuan-kekakuan ramai orang, mereka saling mengikat, memapar romantisme.

Lalu, pada suatu hujan yang rintik di hampir pertengahan malam beberapa bulan kemudian, dengan gerobak yang sama, kali ini ia bersama wanita cantik lain, bukan orang yang sama tentu.

Dalam selimut tebal, ia diangkat dari dalam gerobak. Selimutnya, tentu bukan selimut baru dengan warna mentereng. Mainannya, tentu bukan si berbie mungil itu.

“istrimu dimana?”

Dalam tunduk, ia utarakan kebisuan. Hanya tangannya yang bicara dalam suapan anaknya.

Anak itu tidak rewel, dalam tubuh bayinya, ia seperti tau betul kesedihan bapaknya. Aku yakin (dalam do’a), insyaAlloh anak ini akan menjadi luar biasa, benar-benar luar biasa, bukan luar biasa yang banyak dicelotehkan pada kebiasaan televisi.

Dalam ceritanya kemudian, aku tau tentang istrinya yang pergi, lalu mengantarkan kesedihan padanya. Juga tentang gadis kecilnya yang ditinggal begitu saja.

Kalau kalian tau, jika sedang tak bawa gerobak, ia sering bertelanjang dada, memanggul anaknya di kepala. Berjalan pada terik dan malam yang gulita. Seperti ia ingin tunjukkan pada putri kecilnya, ”inilah jalan dan perjalanan hidup, nak”.

Sekarang, sekian tahun kemudian. Pada gerobak yang tetap sama, yang tetap ia tarik dengan semangat begitu rupa, juga pada bagian malam yang hampir sama, ia hadir sendiri.

“oh, bukan”, bathinku.

Seorang gadis meloncat dari dalam gerobak, kakinya yang mulai jenjang menunjukkan betapa ia sudah tumbuh lincah, jilbabnya yang sederhana seolah menegaskan padaku, dunia ini memang sederhana.


“kamu sudah besar ya”.