Tuesday, December 25, 2018

Hari Raya Puasa

Puasa itu untuk  merasa lapar, haus dan berhasrat syahwat. Untuk apa menahan diri untuk tidak makan kalau tidak sampai pada titik lapar, untuk apa menahan agar tak minum kalau ingin minum pun tak ada, untuk apa menahan syahwat kalau rasa syahwat pun tak muncul. Maka, kalau laparmu tak kunjung datang karena sahurmu yang menggunung, atau ‘tak hausmu’ tahan lama karena seharian kamu habiskan untuk duduk diam tak bicara.

Mari pergi ke dapur, hitung kembali takaran nasimu supaya ada ruang lapar tersisa untuk siangmu nanti. Mari sempatkan lirik istrimu supaya barang sedikit saja ada hal yang ‘bangkit’ dalam tubuhmu.

Lalu pada akhir cerita hanya ada dua kemungkinan : jajan takjil yang masih ada hingga waktu buka atau jajan takjil yang hanya sisanya saja.     

Selamat Hari Raya Puasa

Jamaah Freelance

Dengan kesengajaanNya, satu waktu saya hadir pada jamaah shubuh diantara jamaah ahmadiyah, ikut pengajiannya pula.  Usai sholat, tanpa dikomando, tiga orang anak kecil merangsek ke depan memimpin dzikir.

“astaghfirullohal a’dhim alladzi la ilaha illa Allohu……ila akhirihi”.

Jamaah yang lain terlihat gembira, tersenyum melihat bagaimana calon-calon penerus mereka terus berkembang. Beberapa pasang mata ada yang melihat kearah saya, karena terlihat asing mungkin. Maka, saya pun berusaha untuk tidak menjadi asing. Lepas pengajian saya dekati salah satu jamaah, ternyata dari luar kota, kami berdiskusi, tidak banyak, hanya saja belum berakhir hingga langit mulai terlihat mencerah. Beberapa jamaah yang lewat menyalami saya, tersenyum ramah, termasuk pak imam sholat tadi. Beliau sebenarnya ingin bergabung tapi katanya sedang ada tamu, jadi buru-buru undur diri.

Saya tidak ingin membahas ahmadiyah, lha wong temen-temen pasti jauh lebih tau banyak tentang ahmadiyah dari artikel-artikel yang banyak berserakan di internet- ya di internet.

Hanya saja, ada satu pertanyaan dari bapak tersebut,

“antum dari jamaah mana?”

Nah, disitu kadang saya merasa sendiri.

Ahmadiyah? – sudah tentu sensor bapak itu akan segera mampu mendeteksi bahwa saya bukan.

Wahabi? – saya memang berjenggot lebat, tapi kok sepertinya tumbuh liarnya jenggot saya hanya karena saya malas mencukur saja, bukan karena
sunnah seperti yang diupayakan jamaah ini.

Tarbiyah? – beberapa kali sebetulnya saya pernah ikut liqo’nya. Cuma ya apa cukup hanya segitu.

NU? – saya memang suka pakai sarung dan bawa sorban kemana-mana.

Muhamadiyah? – sepertinya tidak cukup bagi saya yang hanya ngefans sama Kyai Dahlan dan sesekali berkeliaran di kauman.

HTI? – sungguh sebenarnya saya tidak sampai hati untuk bilang tidak. Tapi saya ini ndak ngerti bab khilafah.

“Saya dari jamaah freelance pak”, hanya itu hasil elaborasi yang ada dipikiran saya.

Beliau tersenyum, serius!. Ya, beliau tersenyum serius.

Musik Kiamat


Ya Alloh, musik jenis apa yg Engkau perdengarkan ketika mencipta semesta?. Seperti halnya Engkau siapkan instrumen sangkakala untuk menamatkannya. 

Tuhan telah tugaskan isrofil untuk datang ke seorang kurir, menyampaikan sebuah pesan. Lalu sang kurir menyampaikannya ke setiap entitas semesta-tanpa terkecuali. Udara atau segala sesuatu yg bisa ditunggangi suara adalah ia, sambutlah ia dengan ramah, sampaikanlah salam padanya.

Saat itu, semua yg tidak punya telinga akan mendengar.

Alloh Maha Mendengar, oleh karenanya Alloh tentu menyukai musik. Karena Dia hidupkan makhluknya dengan musik dan tau bahwa makhlukNya tak akan pernah berhenti bermusik.

Panitia Kiamat


"...kamu terlalu berambisi menjadi panitia kiamat...", 
suara Brah Abadon terdengar tenang dan introgatif.

Tahu-tahu selebaran open recruitment volunteer suda tersebar ke berbagai sudut arah.
Bermacam rombongan makhluk memburu form aplikasi. 

'Unlimited Seat', begitu kutipan merah yang tertera di pojok selebaran itu.

"Apa motivasimu ikut serta dalam kepanitian ini?"
Begitu lah salah satu pertanyaan di dalam form tersebut, seperti lazimnya form aplikasi serupa.

"Siapa yang mau melewatkan Perayaan Hari Besar Semesta semutakhir ini bro?", tulis H. Parjiman, ketua takmir masjid kampung sebelah.

"Untuk mencari bahan cerita sebagai persiapan mengisi waktu luang di mahsyar sambil menunggu antrian panjang bioskop semesta", tulis paklek Kappa yang hari-hari hanya mencari berkah di gardu kampung bersama domino dan bergelas-gelas kopi.

"Sebagai delegasi bangsa semut", tulis kopral semut yang sepertinya motivasinya tak lebih dari ketaatannya pada Yang Seharusnya Ditaati.

"Setidaknya, ini menjadi ajang bersilaturahmi dan bermaaf-maafan dengan manusia", mungkin anak-anak iblis ini akan bersalaman dan mengatakan kepada manusia 'selamat menanti dalam ketidakpastian'. Pantas saja, mereka adalah bagian dari yang 'pasti sudah tahu akan dibawa kemana'.

Lalu disebuah pojokan rumah hadir sebayang anak muda.
"Aku disini saja, kimiatku sudah datang sehari lebih awal"
Selamat Hari Raya Kiamat..

Dikotil Monokotil


Jagung itu menyamar, menyembunyikan dirinya yang lain: akar serabut kacang. 
Kacang itu pun begitu, ia menenggelamkan jiwanya yang berbeda: tubuh perkasa jagung.

"Jangan menipu diri dengan menjadi orang lain!", sergah rumput-rumput liar itu. 
"Kalau orang lain itu nyatanya jauh lebih 'aku', kenapa tidak?", jawab akar jagung itu retoris. 
"Kalau- bahkan aku sendiri pun tak tau bagaimana menjadi diri sendiri, apa salahnya?", batang kacang itu menambahkan.
"Banyak-banyaklah jadi orang lain Rumput, supaya kamu tau seperti apa sesungguhnya dirimu. Supaya kamu tau bagaimana caranya menggambar hidung dan lenganmu sendiri", ujar fotografer ikut-ikutan.

Lalu, rintik mendadak menjatuhkan diri, menitik pada tanah dari sudut-sudut kombinasi (angin, grafitasi dan segala hal yang belum terdeteksi).
"Sejauh apapun kamu menjadi orang lain, sesungguhnya kamu tidak bergeser sedikitpun dari dirimu sendiri", ia pun kemudian bersatu padu bersama hara.

Bagaimanapun juga, dua monokotil tak akan pernah sama dengan satu dikotil.

Doa Paripurna


Siapa lagi yang berani berdo'a seperti halnya kanjeng Nabi Nuh. 
"Duh Gusti, mbok jangan Panjenengan biarkan orang-orang kafir itu tinggal diatas bumi". (Nuh:26)

Ya, saat itu siapa kamu dan siapa saya adalah dua warna yang jelas nyata berbeda

"Sesungguhnya jika Panjenengan biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hambaMu, dan mereka tidak akan melahirkan anak selain anak yang berbuat maksiat lagi amat kafir". (Nuh:27)

Lalu sekian ribu tahun kemudian ketika hendak mengakhiri surat Nuh. Aku jadi berpikir untuk berdo'a seperti itu juga.
TIba-tiba angin setengah berlari menabarakku, semut-semut terdengar cekikikan dibawah kakiku, lalu mereka berkata,

"Memangnya kamu sudah beriman?, memangnya kamu tidak cukup kafir?. Sudah berapa banyak keimanan yang kamu ingkari, sudah berapa kali kekafiran yang diam-diam kamu imani?"

Cicak yang sedari tadi memburu nyamuk seketika ikut serta

"yasudah, berdo'a saja sana. Paling kalau do'amu dikabulkan cuma ada dua kemungkinan untukmu. Kamu ikut serta 'tenggelam' karena kekafiran yang tidak kamu sadari atau kamu selamat dan berlabuh dalam bahteraNya".

Angin tadi ternyata adalah angin maluku, diapun ikut-ikutan

"Ale jang kepedean e. Katong sudah lihat ada orang kafir abu-abu, iman abu-abu. Dorang semua masuk yang diselamatkan atau ditenggelamkan e?"

Ya, Aku terdiam, tertunduk, tentu aku tidak berani. Kanjeng Nabi Nuh, saya ijin copy paste do'amu yang ini saja
"Ya Tuhanku, ampuni aku, ibu bapakku dan orang yang masuk ke rumahku dengan beriman" (Nuh:28)

Setan Patuh


"Alhamdulilah, memang sejatinya aku tak dituntut untuk beribadah kepadaNya, diriku memang telah diperkenankan untuk patuh dengan ketidakpatuhanku padaNya", 
ujar sesosok setan yang sedang berleha-leha di sela ketiak Samsuri bin Idris Abda'a
"Alhamdulillah, sudah sejatinya aku senantiasa bertasbih tanpa punya kesempatan untuk tak patuh padaNya",
ucap sang Malikat di pelataran bahu Ibnu Abda'a itu,entahlah dia juga terlihat seperti sedang menulis sesuatu dibukunya.

Mereka berdua lantas melirik pada Dzarmun, jin teman Samsuri yang sudah lama berguru pada Tsabar putra Iblis.
"Lalu, dia?"
"Dia, memang sejatinya tidak punya kesejatian pada kepatuhan atau ketidakpatuhan. Oleh karenanya dia diingatkan tentang tujuan penciptaan", sahut Samsuri.

"Lalu, kamu?", sergah mereka berdua pada Samsuri.

Cahaya Berbayang

Suatu ketika pada salah sebuah labirin semesta, ada jalan-jalan panjang nan menikung, tak ada yang buntu karena semua berelaborasi pada satu muara. Pada muara itu, tetiba ada selintas cahaya, lurus, teguh, kukuh dan menyinari tentu. Sampai ketika sudut pandangan mata berada pada derajat tertentu, anda akan melihat bayangan, lurus, teguh, kukuh. Maka, sadari dan terimalah bahwa Cahaya Juga Berbayang.

Hulu Iman



Ku alirakan dia keatas, dari hulu keimanan. Iman itu individualis, iman itu keintiman. Maka kuyakini dia terantarkan pada jalur yang itu saja, juga konektifitas yang tidak kemana-mana. 

Suatu kali dia masuk dalam keterbingungan,
"Apakah aku harus menuruti gravitasi?", katanya.

"Ataukah kuberdo'a saja supaya Dia segera membalikkan gravitasi?", lanjutnya.

Memang kenapa kalau harus menuruti gravitasi?
"aku khawatir membumi"
Kalau begitu berdo'a saja!
"aku belum tau batas langit"

Hmmm, jadilah semburat, supaya pada satu titik kamu dapat turun perlahan.

Bukan Lagi Manusia


Suatu ketika pada tanggal yang entah sudah yang ke berapa, seseorang berjalan dengan langkah kuyu. 
Kulihat, sambil terbungkuk ia mengambil remah-remah kayu, sesekali ia juga menoleh ke arahku. 
Hingga, ketika langkah sudah hitungan jari, ia katakan padaku, “berdirilah!”. Aku terbingung, bukannya aku sudah berdiri. 
Lantas, serta merta dilemparnya remah kayu itu ke mukaku. Aku kelilipan, aku terpejam. Ketika kubuka mata, kusadari bahwa aku bukan lagi manusia.

Kepala


Sekali waktu Dia akan memandangmu sambil memegang kepalamu.

Dia yang menguasai segala hal atasmu, sekali waktu akan menoel jidatmu, maka jangan kaget ketika sesat kepalamu terasa terguncang. 

Dia yang hadir pada setiap titik di semesta, sekali waktu akan menggelitikimu, hingga tanpa sadar kamu akan memangkukkan bibirmu. 

Dia yang muncul dalam kemunculanmu, sekali waktu akan menggoyang hatimu, maka maklumi saja jika kala itu hatimu berdesir.

Saturday, December 8, 2018

Bahan Pokok


Indonesia dewasa ini memang membutuhkan beberapa kebutuhan pokok, seperti 

Satu, Keberanian
Keberanian untuk menjadi petani, keberanian untuk tidak menanam besi dan beton di lahan persawahan, keberanian untuk turut serta mengawal padi yang dijadikanNya menjadi padi, menjadi beras dan nasi, keberanian untuk berucap syukur. 

Dua, Rasa syukur
Syukur atas padi yang telah tumbuh dengan baik, lantas menjadi nasi, syukur atas nasi yang kemudian berproses menjadi energi-energi keberanian dan syukur.

Tiga, ............

Terbalik


Apa yang kamu lihat sebagai kebalikan adalah keterbalikanmu sendiri.
Kusadari bahwa jauh lebih menyemesta, manusia memang diposisikan untuk terbolak-balik. 
Lantas, ada dua fenomena yang harus dikunyah sebagai problema.
Satu, kesadaran akan kebolak-balikan itu
Dua, pemahaman tentang keterbalikan yang sebaiknya dipahami, sehingga tidak lagi dirasa sebagai keterbalikan.

Kamuflase Langit


Sejauh apa mata memandang?

Tak terhingga.

Bisakah kamu memandang bintang di galaksi tetangga?

Bisa, hadapakan saja mataku pada sudutnya.
Ia terlihat sebagai sebuah titik berukuran remang, ia terlihat sebagai sebuah kamuflase langit.

Bagaimana dengan bintang di beberapa blok dari galaksi kita?

Bisa, hadapkan saja mataku pada sudutnya.
Ia terlihat sebagai sebuah titik berukuran lebih remang, ia juga terlihat lebih terkamuflase pada langit.

Upacara


Pemimpin upacara : Assalamu'alaikum, selamat pagi, lapor, upacara siap, laporan selesai.

Pembina upacara : Wa'alikumsalam, Alhamdulillah, laksanakan.

Bukankah sesama muslim yang bertemu harus saling berucap salam. Bukankah kita harus saling mendo'akan keselamatan satu sama lain. Berdo'alah kepadaNya, karena Dia pemberi lisensi keselamatan, Dia pula yang hadirkan rumput upacara, udara upacara, merah-putih yang diinsipirasikan kepada bapak-bapak bangsa.

Upacara selesai, laporan selesai, wassalamu'alaikum.


Keseimbangan Sunnah


Apa yang didapati dari keseimbangan?
Proses ketidakberimbangan
Apa yang muncul dari ketidakberimbangan?
Usaha mencapai keseimbangan

Ya, itulah yang disebut 'semacam' keseimbangan.

Bagaimana aku bisa meributkan gaya takbiratul ihram kalau tanganpun aku tak punya, bagaimana aku mau berdebat tentang jari-jari tahiyat kalau jari itupun aku tak punya,

Apakah aku kehilangan sunnah?
Justru kamu ajarkan padaku tentang sunnatuLloh

Semesta baru


Aku merasakan sebuah dimensi baru dari semesta. Kemampuan manusia dalam eksplorasi galaksi, usaha mereka membangun ekspektasi kehidupan di Jagad Raya. 

Ku rasa perlahan akan menuntun mereka pada dimensi baru, ya, Dimensi Kesadaran, dimensi yang justru membantu membangun ruang dan waktu sebagai dimensi, dimensi yang tidak sejauh ribuan bintang, dimensi yang selama ini tersimpan rapi dalam jasad ruhiyah manusia.

KetepatanNya


Pada langkah yang terkadang digelincirkanNya hingga sampai 'tepat' pada tempat itu,
pada matahari yang diciptakanNya pada waktu lama yang lalu lantas digerakkanNya hingga 'tepat' pada suatu derajat di waktu itu,
pada capungNya yang lantas dicelupkanNya pada ekornya saja dan itupun karena hasil ulahNya yang dengan sedikit menggoda menggoyang batang-batang padi yang tak sempurna dipijak 'tepat' di posisi itu,
pada si kecil yang dibuatNya sesekali merengek sehingga ada detik-detik yang diatur sehingga menjadi 'tepat' di saat itu.
Dia tunjukkan sebuah pola, Dia tunjukkan kesederhanaan pada keindahan bilik-bilik ciptaanNya
Dia bekerja pada ketepatan ruang dan waktu, dan ketepatan itu tidak hanya atasku atau atasmu tapi atas kompleksitas kita, semesta raya

Krik Krik


Hadirkan mereka pada sawah yang terbentang
Perlihatkan mereka pada gunung dan sungaiNya

Maka mereka akan rasakan panas matahari yang menyentuh kulitnya, suara 'krik krik' yang tak bisa kita dimensikan, udara yang sejuk lagi -insyaALloh- menyehatkan, silau matahari yang me'riyep-riyep'kan matanya. 

Ada banyak hal yang tak bisa dimunculkan pada selembar gambar, pada beberapa menit gerakan video