Monday, July 1, 2019

Soju


Kita barangkali sering kehilangan kesadaran, pada hal-hal yang kita anggap wajar dan keseharian. Kita barangkali sering mendengar, kisah-kisah heroik tentang bagaimana kesadaran menjadi hal istimewa. Kita barangkali sering bias, pada kompetisi gairah, rasa dan prasangka di dalam sesuatu yang kita sebut diri
.
Di satu titik terkadang kita sering melihat diri kita berlari, menjauhi atau mendekati sesuatu, atau mungkin hanya berlari saja. Sampai pada detik kesekian kita lupa, bahwa diri kita telah tercecer entah dimana, ditinggalkan oleh kesemuan yang bahkan kita sendiri pun tak paham itu apa.
Sering saya menjumpai malam, untuk berdiskusi dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Duduk atau berjalan menemaninya melalui menit-menit yang dingin. Bagiku, malam bukan berarti kelam, seperti halnya cahaya bukan hanya perihal mencerahkan. Mereka sepertinya diciptakan dalam konfigurasi yang mungkin tidak pernah bisa kita pikirkan. Kita sering kali larut dalam konsep penilaian yang berlawanan, cantik-jelek, kaya-miskin, tua-muda, tinggi-rendah, baik-buruk, benar-salah, lalu merasa seolah segala sesuatu itu harus hitam-putih, merasa bahwa seolah tidak kubu A artinya sama dengan kubu B. Kita sejujurnya telah mengecilkan begitu banyak ragam penilaian, bahwa diantara baik dan buruk - atau mungkin bukan diantara tapi disekitar, ada nilai-nilai yang kita malas mengukurnya. Ya, kita mungkin hanya seorang pemalas, yang enggan mengukur nilai-nilai. Kita mungkin hanya seorang pelajar, bukan pembelajar, yang mengambil jalan begitu pintas terhadap penilaian.

Saya seringkali lelah, mendengar segala hal mengajak bicara, tisu, foto, gorengan, pisau, terik, angin, uang, bau, dingin, mereka mencuap-cuap bak sekumpulan penonton konser yang riuh. Kadang, saya dudukkan satu persatu, saya ajak bicara baik-baik, mereka sampaikan keluhnya, kesahnya. Atau sekali waktu mereka hanya mau didengarkan diamnya, saya bisa apa.
Hidup barangkali semacam sekedar menjalankan tugas, lalu mati untuk menjalani tugas berikutnya, lalu hidup lagi untuk keberikutan yang abadi. Oh, sebentar, bisa jadi begini, hidup menjalankan tugas, hidup menjalankan tugas berikutnya, hidup menjalani keberikutan yg abadi – mungkin ini fase sesungguhnya dari kematian.

Bait-bait kematian, bait-bait kesunyian, bait-bait kesendirian, susah memang tidak menyelipkannya dalam prosa-prosa mendalam. Mereka sepertinya diantara yang berani mengantarkan kita pada ruang-ruang mendalam. Bagaimana tidak berani, ruang itu adalah habitat mereka, disana kematian menemukan kehidupannya, sunyi-sendiri menjumpai ramai-riuhnya.

Larilah kembali,

temui kesadaranmu, ajak dia bicara lalu berdamailah, sadari bahwa dirimu juga punya kesadaran yang harus kamu ajak juga berlari, supaya ia sehat, kuat, berotot. Kecuali, dirimu memang mau dia menjadi pesakitan, lalu perlahan menemui ajalnya tanpa kamu sadari.

Manusia tanpa kesadaran

Friday, June 28, 2019

Jumpa Cahaya


Satu waktu aku bertemu cahaya, pertemuan yang sengaja. Aku bertanya kabar kepadanya, juga hal ihwal macam rupa.
“Kemana saja pergimu, tak banyak tampak lagi dirimu dimana-mana?”, tanyaku.
Hari ini memang sedang terik, biasa, tingkah kemarau ketika menjelang akhir kalanya.

“tak kemana-mana”, jawabnya ketus.

“bagaimana kamu bisa bilang tak kemana-mana, mencarimu saja susahnya begini!”, Kuketusi balik.

Barangkali, itulah sebab kenapa saya tak pernah tercahayai. Sikap saya pada cahaya adalah penolakan, atau autotolak barangkali. Seperti bulir-bulir sel darah, dhulumat mengalir begitu saja di sekujur tubuh saya, sudah dianggapnya rumah sendiri nampaknya.

“Aku memang tak kemana-mana!”, timpalnya lagi.

“hmm”, ketusku tak hilang.

“Dahulu, aku biasa hadir dan menghadiri hati orang-orang yang merasa gulita, lalu diharapnya ada cahaya yang mampu menunjukinya apa-apa yang sebetulnya terwujud”, dia mulai melunak.

“lalu?”

“Belakangan, mereka tidak merasa bahwa aku bisa hilang kapan saja. Mereka juga sudah lupa pada gulita yang bisa datang kapan saja”.
“Yang kukhawatirkan adalah, bagaimana mereka bisa mengharapkanku lagi sedang mereka merasa sudah memilikiku”

“Memang akibatnya apa?”, tanyaku.

“Dalam gulita, orang sebetulnya hanya menyimpulkan dari apa yang dia asumsikan dari perabaan-perabaannya, bukan apa yang sewujudnya dia lihat secara keseluruhan”.

Aku menyalakan kipas angin untuknya, bukan cuma hari yang terik, dia juga tampak makin terik.

“Jadi, kamu mau kemana lagi?”, tanyaku.

“mencari orang-orang yang masih merasa gulita”

“aku?”, mengharap.

“moh, wegah. Kamu memang merasa gulita, tapi tak pernah berharap cahaya”.

Terik itu hilang seketika, gelap segelap-gelapnya, dan aku larut didalamnya.


*< October 2018

Bau Bau Bau


Pada tumpukan sampah menyengat saya sering terpekur, mempersiapkan respirasi untuk menghirup sedalam-dalamnya, dalam betul rasanya. Kalau rasanya sudah mau habis saya hirup lagi. Dan biasanya hanya akan berhenti pada satu titik, saat wajah saya seperti sedang musim mekar bunga, gairah ruhiyah saya seperti bersandar pada bayang pohon, sejuk.

Hidung, sebetulnya tak tau menahu soal hal busuk dan harum. Reseptornya hanya tau perihal konsentrasi-konsentrasi, jenis-jenis senyawa. Hidung, sebagaimana indra yang lain, buta soal perspektif. Ia, tak tersangkut paut pada penilaian.

Saya sebetulnya sedang mengajari hidung saya untuk tak turut serta dalam penilaian-penilaian. Atau bisa jadi, saya sesungguhnya ingin supaya piranti penilaian saya untuk tak ikut ikut dalam bias penilaian. Supaya bau-bau itu didefinisikan sebagai sebuah keragaman, bukan kontradiksi-kontradiksi. Maksudnya, bahwa bau sampah bukan berarti bau busuk, atau bau harum itu bukan bau bunga-bunga itu.

Mari ajak hidung kita berwisata, ke taman-taman bunga, ke taman-taman pembuangan sampah, ke titik-titik yang memahamkan kita bahwa harum dan busuk itu sama-sama bisa dinikmati, bahwa bau itu anugrah. Semoga Allah memberkahi hidung-hidung kita, dan menjadikannya sebaik-baik saksi dihadapanNya, entah kapan.


*< Mei 2018

Syafiin Musyaffa'


Semua makhluk berhak mencintai Kanjeng Rosul, siapa saja, apa saja, bagaimanpun rupa bentuk cinta itu. Sebagaimana cintanya kanjeng Rosul yang tak terpagar siapa, apa. Cintanya melampaui ruang dan waktu, termasuk melampaui rasa cinta itu sendiri.

Teman saya mewujudi hak cinta itu dengan adabnya sendiri. Mari saya perkenalkan pada perilakunya.
Katanya, dzikir dia hanya sholawat. Saat merasa sedang bersalah ia bersholawat, saat merasa takjub ia bersholawat, saat sedang gembira sekali ia bersholawat, saat dibersamai musibah ia bersholawat, barangkali kamus kalimah thoyyibah dia hanya sholawat. Baginya, sholawat ini adalah adab. Ia memohon ampun kepada Allah atas kesalahan-kesalahannya lewat sholawat. Katanya, mohon ampunku kepada Allah bersamaan dengan mohon maafku pada kanjeng Rosul karena tauladannya betul betul sudah kuabaikan, aku malu pada beliau. Pun rasa takjub atas hal hal yg bisa aku inderai, yang Allah pertunjukkan kepadaku tak lain karena berkat kandungan nur Muhammad di dalamnya. Pula rasa syukur atas rizki Allah padaku adalah bagian dari upaya kanjeng Rosul meneladankan kejembaran hatinya. Juga atas musibah musibah, bahwa segala sesuatu adalah karena Allah, pengembalian segala sesuatu pula kepada Allah, dan sungguh pengembalian yg baik tak lepas sedikit pun dari syafaatnya, syafi'in musyaffa'.

Adab lahir dari kepatuhan dan rasa cinta yg mendalam. Sultan Abdul Hamid II al ustmaniyy pun melahirkan adab itu, dilapisinya rel kereta api di madinah dengan bantalan kapas, 20km panjanganya. Supaya apa?, Ia tak mau deru suara getaran kereta api mengganggu kanjeng Rosul. Malik ibn Anas, pengampu madzab maliki itu, selalu enggan berkendara ketika berada di madinah hingga di usia senjanya. Ujarnya, aku malu kepada Allah jika sampai kaki kendaraanku menapak di tanah yang di dalamnya bersemayam jasad Rosululloh. Aduhai, mulia sangat.

Kalau Allah dan MalaikatNya saja bersholawat kepada Rosululloh, bagaimana mungkin air, pohon randu, semut, bintang dan segala sesuatu yang diizini Allah untuk ada di semesta ini enggan bersholawat juga.

Andai saja terbesit maksiat hendak dilaku, merasa malulah kepada kanjeng Rosul. Andai saja ada kebaikan-kebaikan yang telah terlaku, ‘kelingan’ lah pada kanjeng Rosul.

~Sekarang, saya sedang malu padamu ya Rosul.


*< Desember 2017

Saturday, June 22, 2019

Tuyl


Malam sudah menjelang lewat hari, lalu lalang orang suda mulai sepi. Tetiba seseorang masuk, berpakaian kumal, kumal sekali, warna dasaran bajunya yang putih terlihat menghitam.
"Saya boleh minta teh hangat mas?", mintanya sopan.
"Boleh pak, bapak suda makan?"
saya tawari dia, badannya terlihat letih, wajahnya asing, saya hampir tau siapa siapa orang 'jalanan' di daerah sini dan dia pasti sedang dalam pengembaraan jauh.
"suda mas tadi suda dikasi makan di acara selamatan disana".
Saya persilakan teh hangat untuknya.
"Mas bisa usir tuyul ndak?"
saya tersentak.
"maksudnya pak?", khawatir saya salah dengar.

Diapun bercerita panjang, soal hidupnya yg tak tenang selama 2 tahun ini. Sebabnya, tuyul tuyul yg tetiba mengerubungi dia tiap saat. Dia dulu seorang pekerja kantor, sejak begitu dia mengembara jauh, 'angon' tuyul tuyul itu di jalanan. Dia dihantui ketidak mengertian, mengapa tuyul tuyul itu membebek dia kemana saja. Peristiwa peristiwa genting yg memuncaki frustasinya, titik titik rawan tuyul tuyul itu meningkat aktifitasnya, kapan dan bagaimana tuyul itu mereda, adalah bab bab cerita yg dia sampaikan.

Saya sendiri tak tahan melihat letih wajah dan keputusasaannya, membayangkan kengerian yg dia alami tiap hari. Saya sendiri bingung menerjemahkan ceritanya, apakah yg dialaminya adalah peristiwa psikologis atau betulan metafisis. Saya hanya bisa prasangka, bahwa Allah sedang memberi pembelajaran psikologis dan metafisis kepada saya.

"mas tau ndak caranya?". dia mulai berharap.
"begini,...", saya mau tak mau harus mulai bicara. Saya bicara soal konsep keghaiban dan Yang Maha Ghaib. Saya pun merasa mulai terkena efek psikologis, meracau kemana mana. Dan tentu tak lupa saya memungkasinya dengan doa doa dan nasihat. Setelah itu saya usap tangan ke wajah, ya wajah bagian hidung, bukan untuk mengamini tapi meregangkan hidung saya yg sedari tadi membaui bau bau fermentasi tubuhnya.

Lalu saya antar dia kembali ke jalan, sembari saya pegang punggungnya dan bersholawat 3 kali, mengirimkan sinyal kepada kanjeng Rosul.

Ia terlihat tercerahkan, tentu bukan karena nasihat dan doa saya yg pasti ngobos itu. Haqqul yakin itu pasti karena teh hangat yg saya hidangkan. Katanya, teh hangat mampu mengurangi kerubungan tuyul tuyul yg terus menguntit itu.

Teh hangat ternyata obat tuyul, info menarik !!!


*< Juli 2017

Ngidam Rosululloh


Tetiba angin sejuk memerindingkan sekujur tubuhku, ada hawa tentram yg seolah dibawanya. Sepertinya angin ini pernah merabai tubuh mulia Rosulullah.

Satu waktu aku rasai air-air ini segar tiada tanding, pikirku apa ini air yg pernah melumuri Rosulullah juga?.

Hangatnya sinar matahari yang ini begitu menyembuhkan, sekujur tubuhku seolah sedang dicekok beragam obat, bugar sekali rasanya. Aku curiga, inikah partikel cahaya yang pernah singgah di tubuh Rasulullah?.

Suara-suara yg pernah mengharukan bathinku, aku rasa mengandung pendaran gelombang suara Rosululloh yg sambung menyambung hingga kini.

Melihat wajah manusia ini menggembirakan sekali. Sedih, gundahku macam tak bisa berkutik. Ini pasti wajah orang yg mimpinya disinggahi Rosulullah.

Pada banyak hal, aku sering mencurigai Rasululloh. Segala material-material kebaikan yg menghinggapiku aku prasangkai hasil dari perjalanan panjangnya selepas berinteraksi langsung dengan Rosululloh.

Bahwa umat terbaik tentu tidak hanya berwujud Abu Bakar, Umar, Ali, Usman, Zaid, Abdurrahman, Abbas, Khalid, Aisyah, Fatimah, Zainab, Hasan, Husein, Amr dan semua sahabat terbaik yg mengalami kehidupan Rosulullah. Karena yg pernah mengalami hal itu juga angin, air, cahaya, suara, daun, pasir, debu, besi, abu dan apa saja yg menghuni semesta ini.

Maka, apa pun engkau, senyawa, partikel, atau bentuk materi apa pun yg pernah menyentuh, menyaksikan raga mulia Kanjeng Rosul, datanglah kemari. Sudilah engkau singgah sebentar di kubangan maksiat tubuh ini. Agar ada kegembiraan (keberkahan) sedikit saja melanda sel-sel tubuh yg selalu kupaksa hidup dalam dhulumat.

Begitu kira-kira Gusti.
#ngidamRosululloh


*< April 2017

Kado Menanam


KADO MENANAM

Peter Tompkinn dan Chris Bird dalam bukunya menyingkap bahwa begitu perasanya tumbuhan, tumbuhan begitu sensitif terhadap interaksi-interaksi bathin. Dalam ayat dan riwayat juga banyak disebut soal tumbuhan yg tak berhenti bertasbih, setiap masa.
Seperti halnya kita, tumbuhan juga beribadah, mereka juga menghamba.

Kalau kamu sering dapati dirimu terteduhkan dibawah pohon. Sebetulnya itu bukan hanya perkara sains. Sejuknya adalah buah dzikir tanpa jeda. Persis seperti persandinganmu dengan para pendzikir ulung, meneduhkan kan?.

Kepada banyak pohon saya sering menitipkan do'a. Supaya harapan itu terus bergulir, mengalir hingga muara kabul yg teridhoi dan terahmati. Maka, pada hari raya pernikahan ini saya tanamkan pohon untukmu berdua, bersama doa-doa sejoli yg baik dan menggembirakan.

Pohon itu adalah pohon Tin ini, yang moyang pertamanya ditemukan di lembah Jordan, yang klaimnya sebagai tanaman pertama yg dibudidaya manusia tak disangsikan. Pohon ini, dalam tubuhnya tentu mengalir saksi sejarah, tentang begitu banyak kisah asmara pilu, haru bahkan kekorea-koreaan. Pohon ini mengandung kebijaksanaan bahwa liku pernikahan itu banyak rupanya, sebanyak jumlah pasangan yg pernah ada, tak ada yg sama, semencontoh apapun itu. Itulah berkah pernikahan.
Jadilah kalian pasangan yg seperti angka 10, tak ada duanya, tiganya, empatnya dan seterusnya. Jadilah pasangan yg menginspirasi. Untuk yg satu ini sebetulnya kalian suda menginspirasiku, untuk bersegera.

Bersegera menanam pohon.

Kalian dapat guliran do'anya. Biar buahnya buatku saja ya.

Selamat ber'segera', kalian berdua!


*< Maret 2017

Wednesday, May 29, 2019

Butuh Banyak


Ghurub itu maghrib di masjid agung tak banyak beda dari biasanya. Jamaah memenuhi hampir seluruh ruang utama. Sehabis sholat imam memimpin wirid, juga seperti biasanya. Selepas do'a, semua mengambil posisi ba'diyah, seperti biasanya pula.

Hanya, diantara shaf-shaf yg suda terburai itu ada beda yg menjadi milik seseorang. Ia, seorang berambut gondrong kumal, tapi terikat rapi ke belakang, seperti halnya yg kupunya. Pakaiannya sopan (celana dan kaos menutup aurat). Penampakannya seperti suda berhari-hari tak terbasahi. Masyarakat menganggapnya orang gila, keterbelakangan mental istilahnya.

Tangannya terangkat tinggi menengadah. Dari mulutnya seperti sedang merapal do'a. Sesekali bergoyang-goyang tangannya. Persis seperti adegan mbah dukun di film-film.

"Do'a apa yang kira-kira dia panjatkan?"
Aku coba mencari-cari do'a-do'aku selama ini, barangkali ada yang memungkinkan.

Do'a minta kaya. Apa tendensi dia terhadap harta?.
Do'a terhindar dari fitnah. Yang seperti mereka tentu tak ada urusan sama manusia.
Terhindar dari godaan syetan. Untuk apa mereka digoda?.
Do'a hidup bahagia. Tak ada yg meragukan senyum tiada hentinya kan?

"Aku tau", tasbihku menyaut.
"Yang seperti mereka sering kudengar do'anya".
"Ia, berdo'a minta kesembuhan".
"Atas apa?", tanyaku.

"Orang sakit tentu minta kesembuhan".

"Kukira mereka tak menyadari sakitnya?"

"Kenapa tidak?. Do'a itu satu-satunya do'a yg bisa dia lakukan. Sehingga kalau terkabul, ia bisa berdo'a sebagaimana do'a-do'amu".

Yaa Kariim, bumi ini masih butuh banyak yang seperti mereka.


*< Februari 2017

Menjumpai Kayu Bakar


"hantarkan aku ke makam abu Lahab", bisikku pada angin.
"Buat apa?"
"Aku mau buat perhitungan".

Segala sesuatunya kemudian terasa sulit. Tak ada yg seterjal dan semisterius begini. Lorong-lorong gelap, menyempit, sesak. Hawa sejuk enggan mendekat, teduh entah kemana perginya.

"Masi jauh?".
"Kita tidak sedang bertamasya kan?", sindirnya.

Sepandangan mata tak terlihat sedikitpun hehijauan, barangkali tumbuhan disini memang tak butuh cahaya. Mereka memakan gelap dan mengolahnya menjadi keberlangsungan hidup. Nyatanya gelap juga menghidupkan. Tapi, bagaimana buahnya?. Buah-buah dhulumat jangan dipersalahkan. Ia lahir dari ekosistem gelap, ia tumbuh dan hidup dengan tidak mengenal cahaya sebelumnya. Siapa hendak kan?. Biji-biji dhulumat jangan disemai dalam gelap. Memperkenalkan cahaya dengan sinar hanya akan melukainya. Perkenalkan pada fajar dan mega. Ruang remang adalah siang bagi mereka.

Sampai.
Seseorang suda berdiri disana. Kaku, congkak, tapi rautnya nelangsa. Ia agaknya tersiksa.

Kupercepat langkah. Ini saat kutunggu.
"Sedang apa kamu?", tanya angin begitu melihatku menyergap peluk tubuh itu. Aku menangis sedu. Air mataku terderai tak terbendung.

"Engkaukah sosok itu?"
"Yang di hatimu pernah gembira akan Muhammad. Yang engkau bebaskan budakmu karena gembira itu. Lahirnya Sang Kekasih-siapa yang tak gembira juga?".
Ia diam.

"Duhai pamanda Rosul. Hatimu tak pernah kosong dari memikirkan kemenakanmu itu kan?. Meski rupa wujudnya adalah benci yang teramat".
Sedikitpun tak bergeming.

"Bolehkah aku melihat hatimu, supaya bisa kuperbandingkan. Aku khawatir serupa dengan yang kupunya".
"Juga aku ingin melihat wajah Rosululloh dari sana. Sungguh beruntung engkau suda berjumpa dengannya".
Ia tetap mematung.

"Pamanda....", panggilku dengan isak.
"Pamanda..serupakah kita?".
Ia tetap diam. Tubuhnya memanas. Angin menyeretku. Dari kejauhan tubuhnya serupa kayu bakar yang apinya menjilat.
Dari jilatan itu aku melihat pantulan wajah.
Ya, itu wajahku.
Serupakah?.
....
Badanku panas, aku terbangun, ternyata suda siang.
Serupakah?.


*< Februari 2017

Jamaah Jum'at


Jum'at itu saya agak terburu, adzan suda lepas berkumandang beberapa menit lalu. Khotbah suda terdengar ketika air pancuran mulai membasuh muka.
"Wah, bagus ini. Pakai basa jawa", saya mesem.
Mesjidnya bebentuk limasan, dengan kubah khas mesjid tempo lama, mungkin dibangun sekira 2 atau 4 abad lalu.
Saya masih menyeksama khotbahnya saat bersiap mengambil shaf. Isi khotbahnya, saya paham, hanya memori saya tak cukup support untuk mengutip pitutur-pitutur kromo itu.
Si mbah khotib itu, bicara tentang ngabekti maring tiyang sepah, birrul walidain, dengan jamaah yang juga banyak tiyang sepahnya. Hehe. Dan tentu tak lupa, dengan fasih menukil dalil tentang kisah Luqman dan putranya.
Jowo digowo, barat diruwat, arab digarap. Sepertinya, bukan berasal dari seniman ahli estetika, yg indah respon dan luapan inderanya. Ataupun kalau iya, beliau-beliau itu pasti ulama yg seniman, yg dari kejembaran dadanya tertampung rupa-rupa aneka yg antah berantah bentuknya lalu diharmonikan menjadi estetika robbaniyyah.

Kalau anda mengira sang mbah khotib bergamis surban dan peci , seperti halnya khotib di tempat anda. Anda harus ikut saya jum'at depan. Beliau, dengan gerik tawadhu' itu, berjarik dan beskap, dan tentu blangkonnya. Dan, sama sekali tak kurang kharisma. Yg jelas-jelas kurang, insyaAlloh, adalah rasa pandang saya yang sempit.
Saya mbrabak, "ya Alloh, sembah nuwun, sampun njenengan tunjukkan bahan mbrabak yg seperti ini".

Saya, yang kumel dan awut-awut ini, yang seperti terlihat tak siap sholat jum'at justru malu sama jejeran jamaah disamping saya. Yang, juga berjarik lurik dan blangkon, sedap pandang lah pokoknya.
Ada satu adegan yg bikin saya 'mak serr'. Menjelang berdiri sholat, saya yg biasanya menggelar selendang surban melihat mbah jamaah dikanankiri saya 'menggelar' kerisnya, menaruh-tepikan pelan pusaka itu dihadapannya.

Sebelum takbir sholat, kita memang seharusnya menaruh 'keris' dalam diri kita. Keris itu, adalah kesombongan, keakuan, kepalingbenaran, hawa nafsu dan segala sesuatu yg menghilangkan kesadaran akan AkbarNya. Allohu Akbar bukan hanya kesadaran bahwa Alloh Maha Besar. Ia juga harus terwujud sebagai pemahaman bahwa kita adalah insan paling 'kecil', paling sepaling-palingnya. Kita, tak boleh merasa lebih besar sedikit pun, dari apapun. Karena, yang seperti itu akan memberikan ruang 'besar' lain selain BesarNya Dia dalam hati kita.

Saya terkadang me reka-bayangkan, "opo yo ngene jaman wali jowo mbiyen yo. Yang dari pitutur nasihatnya, hati masyarakat menjadi tertunduk dan manut"
Seperti halnya satu waktu dalam jamaah sholat ied, sang Khotib dengan jubah dan lilitan imamahnya berkhutbah dengan haru, haru sekali. Tiba-tiba saya membayangkan adegan "jaman Rosululloh apa ya begini ya". Yg kemudian saya ketahui sang khotib adalah dzuriyat.

Pitutur nasihat adalah segala sesuatu yg melahirkan tunduk bukan tanduk, yang melahirkan haru bukan hara huru. Semoga begitu kira-kira.

-Burjo pojok, di satu pagi. 

*< November 2016

Mbrabak


Di satu kesempatan ketika melewati seorang penjaja bambu keliling kulihat dia 'mbrabak'.

Pernah juga, waktu berpapasan dengan seorang gila kumal, gimbal. Ia 'mbrabak'.

Jumpa tukang sol sepatu di siang terik, dia mbrabak.

Jumpa pemulung terseok menjumput botol, dia mbrabak.

Menjumpa seorang ibu ngamen di bis, dia mbrabak.

Teman saya yang satu ini memang mbrabakan. Saya juga tak habis pikir. Mbrabak ini terkadang berlanjut ke tangis sedu sedan. Kalau semotor dengannya, lihat yg begitu-begitu di pinggir jalan sering saya perhatikan sekian detik kemudian pasti tangannya mengusap mata.

Satu waktu, ketika melintasi seorang ibu pengemis menggendong anaknya dia mbrabak lagi.

"Kasian ya, hidup memang perih", timpaku menyadari dia mulai mbrabak.

"Ya", jawabnya geragapan sambil menyeka matanya.

Menyadari saya tahu mbarabaknya, dia menimpali

"Aku bukan kasian melihat mereka".

"Lalu?"

"Setiap melihat yg seperti itu, aku selalu merinding. Pandai sekali Alloh sembunyikan kemulyaan mereka, pikirku.

Atau, bisa jadi mereka adalah malaikat Alloh yg sedang disamarkan untuk datang sebagai ujian bagi pandangan orang-orang seperti kita"

"Kalaupun harus disebut kasihan, sebetulnya aku sedang mengasihani diriku sendiri, aku sedang mbrabaki diriku sendiri"

Alloh mendatangkan ujian bukan hanya lewat cobaan berat bertindih-tindih. Berprasangka rendah terhadap sesamamu saja itu suda ujian, memandang dirimu lebih baik darinya saja itu sudah ujian.

Mari berlomba dalam berkasih-kasihan. Mari mbrabak bareng.

*Mbrabak : Kalau mau disetarakan dengan fenomena hujan, mbrabak mungkin semacam mendung gerimis.


*< November 2016

Monday, April 8, 2019

Purnarupa


Belakangan, saya menyadari. Setan sudah secara masif menyerang saya, terasa sekali.
Saya mulai mengidentifikasi. 

Kaki saya misalnya, saya rasai ia ada disana, sering kali menahan langkah saya menuju tempat-tempat kebaikan.



Lalu tangan, ia sering menunjuki saya untuk merabai banyak hal buruk dan menghasilkan kebatilan - asli produk kerajinan tangan saya.

Lisan, saya yakin ia adalah provokator utama bagi keluarnya umpatan dan kata-kata tak mengenakkan dari lisan saya.

Mata, ia rasa-rasanya punya kendali atas retina dan segala hal penghasil visi, pandangan saya. Yang darinya saya sering melihat ketidakbaikan, dengan sengaja.

Telinga, di bagian ini, ia menjadi semacam radar, mendeteksi pergunjingan dan rumpian. Lalu, melarutkan pendengaran saya dalam frekuensi itu.

Pikiran, ia selalu serta dan mejadi pengusul utama, bagi segala kebulusan akal dan pikiran kotor saya.
Kemudian hati, saya mencari-cari ia, ke sela-selanya, tak ada. Saya cari lagi, barangkali saya salah rasa, tetap tak ada. 
 
Lantas, saya coba runut kembali dan menyadari bahwa ia memang tak ada, di semuanya. Bahwa penyebab semuanya memang ia. Dan ia adalah saya. Ia adalah saya yang purnarupa. Dari saya atas saya dan untuk saya, sendiri.

Hamba Misteri



Saya, sering membayangkan. 'Kehidupan' saya dimulai dari sebuah pesan anonim. Yg di dalamnya berisi pesan misterius. 

Saya suka pesan misteri. Bukan karena saya orang yg cerdik, bukan. Saya begitu suka melihat saya tampak bodoh.


Lalu dengan kebodohan itu saya pergi menelusur, menyusur ke ruang-ruang baru. Ruang-ruang petunjuk bagi hilangnya kemisteriusan pesan itu.

Hingga saya ada di titik zenith kemisteriusan. Menemukan dan menyadari bahwa misteri itu absolute. Bahwa di ujung misteri ada misteri yg lebih besar. Bahwa kita dihidupkan dari misteri oleh Yang Maha Misterius. Dan pada akhirnya, kehidupan dan akhir kehidupan adalah proses atas misteri dan menuju misteri.

Pada akhir cerita bayangan ini, saya terdampar dan menjadi anonim. Lalu meminta laut, udara atau apa saja untuk mengantarkan pesan misteri, "aku disini, duhai hamba misteri".

Ikhtiar Golongan Putih


Teman saya. Kaitannya dengan coblos mencoblos pemilu. Bolehlah dibilang apatis.
Apa pasal?. Dia, sejak punya ktp dan mendapat hak pilih tak pernah sekalipun turut bagian dalam pemilu. Baik lurah, walikota, gubernur, legislatif, sampai presiden.

2009, saat pilpres. Saya lihat dia rutin membeli banyak koran, beberapa macam koran maksudnya.

"Hampir semuanya tendensius, ada keberpihakan", katanya.
Agak susah memang mencari media berita yg tidak berpihak.
 
" Makanya, aku baca semua sumber media yg berpihak. Untuk menjaga ketidak-berpihakanku. Supaya aku punya kesimpulan sendiri, punya kalkulasi sendiri terhadap berita yg kuterima", begitu dia pernah bilang pada saya.


Dan kesimpulannya, pilpres 2009 dia tak serta.
Perayaan pemilu 2014 lalu pun tak jauh beda. Hanya, sekarang tak ada argumen-argumen analitis lagi.

Yg mengherankan, saat pileg, saya lihat dia sudah rapi dengan baju panjangnya. Saya kira dia akan berangkat nyoblos, berjalan ke arah tps. Tapi, dia malah menikung ke masjid, sholat 6 rokaat lalu pulang.


Katanya, "aku baru saja minta sama Alloh supaya pileg ini menghasilkan wakil rakyat yg amanah".
Saya salah sangka. Ia memang sengaja 'hanya' ingin pergi ke masjid.


Saat pilpresnya, dini hari saya terbangun karena aktifitasnya. Tumben, begitu pikir saya. Ternyata, dia sedang tahajjud. Lamat-lamat saya dengar tangisnya. Agak membingungkan waktu itu, sepengetahuan saya dia jarang sekali tahajjud, bahkan bisa dianggap nol barang kali. Dan sekarang tahajjudnya tersedu, sekali-kalinya.

"Aku lagi minta sama Alloh agar menggerakkan hati pemilih. Supaya mereka memilih pemimpin yg baik dan membawa mereka pada kebaikan", akunya satu waktu. 

Dan tetap, sampai sore saya tak lihat jarinya tercelup tinta.

Sekarang, saya jadi ragu menyebutnya apatis. Harus disebut apa orang yg meluangkan waktu dan berdo'a sungguh-sungguh agar pemilu benar-benar menghasilkan orang terpilih, kalau bukan orang yg 'juga peduli'?.

Saya tak berniat mengajak dirimu tak nyoblos, sungguh. Pula, tak ada terbesit untuk menyuruhmu nyoblos. Hanya saja, kalau selama ini dirimu mengistikharahkan kebimbanganmu dalam proses memilih calon istri. Sepertinya, ada baiknya kamu istokharahi pula pemilukada kali ini. 

Ajak Tuhan terlibat dalam hatimu. Supaya kamu termasuk dalam bagian golongan putih

Berdiam Hati



Satu waktu, saya duduk berdiam hati. Memaknai, menyadarkan diri pada perlaluan udara pagi.

Isi...tahan...hembus.

Lalu saya mencoba masuk getaran nadi. Merasa frekuensi-frekuensi yg malang melintang.

Ada yang hidup disana, melambai memanggilku. Ya, kembang itu. Satu kelopaknya bergoyang, empat lainnya diam.

"Aku padamu" bilangku.

"Tenang bung", suruhnya.
"Aku mengamati gerik pikiranmu belakangan ini. Sedang cari apa bung?"

"Kemuliaan", sahutku
"Dengan apa aku bisa dapatkan?"

Gurat merahnya mengembang, sesekali bahkan tampak meliuk.

"Dengan apa?"
"Harta, keterkenalan, kuasa, perempuan, kedermawanan, atau..."

Lima kelopaknya bergoyang serempak

"Ya, bisa", katanya
"Kalau itu diatas panggung manusia. Di panggung kami, kamu harus tanggalkan semuanya".

"Kalau panggung tertinggi?", tanyaku kosong.

"Bahkan, jangan berani-berani membesitkannya sekalipun".

Dua hari kemudian, ia kuyu, layu



*Dec, 2015

Sunday, January 20, 2019

Primo Levi


"Dont judge a book by its cover".
Ternyata saya tak melakukannya. 5 tahun lalu, menjadi kebiasaan saya, kalau sedang bosan saya pergi ke toko buku, melihat-lihat buku-buku membosankan di bagian akademik. Menyusur rak demi rak, membolak balik lembar demi lembar. Saya, semacam berupaya mengahabiskan kebosanan itu, supaya segera paripurna. Kenapa buku akademik membosankan?. Kata teman saya : covernya tak cukup menarik, jenis kertasnya kaku dan berat - kadang saya sepakat juga.
Sampai, saya melihat "The Periodic Table", terjajar diantara baris-baris rak kimia. Covernya, masi tak cukup menarik. Kertasnya pun masi tak ringan.
Sebetulnya saya sering membeli buku dengan topik serupa. Isinya, deret unsur-unsur kimia dengan deskripsi membosankan, dengan angka dan garis ikatan yg sering tak saya mengerti. Untungnya, kebanyakan tipis saja, semacam buku saku.
Tapi Periodic Table yang ini, cukup tebal, saya taksir sekira 300 halaman lebih. Double combo, kebosanan yg berlipat-lipat, begitu pikir saya. Saya beli, tanpa membuka isinya.
The Periodic Tabel ditulis oleh Primo Levi, seorang yahudi piedmontese pula seorang chemist. Ternyata semacam buku autobiografi yg dirangkai dengan bahasa mengalir dan puitik khas novel.
Kebosanan saya memang akhirnya paripurna, terganti oleh ambisi cerita tragedi dan gagasan tulisan Primo Levi. Setiap babnya adalah unsur kimia. Didalamnya, berisi kemurnian dan esensi unsur itu dalam hidupnya. Hidup seorang ilmuwan dan korban anti-semit, yg kemudian mengantarkannya ke camp Auschwitz. Kebanyakan temannya berakhir di kamar-kamar gas, tapi ia berhasil lolos dan berakhir sebagai penulis fenomenal italia bahkan dunia.
Sementara saya, meskipun akhirnya lolos dari kebosanan itu, sepertinya akan tetap berakhir dalam kebosanan-kebosanan dunia berikutnya.
"Dont judge a book by its cover".
Sepertinya sang Anonymous mengalami hal yg serupa dengan saya.

Alim


Dari seorang alim, saya terkadang sering kali mengesampingkan keilmuannya. 

Dari seorang Mr. Feynman, saya suka melihat senyumnya, tak usah tau alasan dia tersenyum kamu pasti akan ikut gembira. 

Dari seorang Leonard Susskind saya kagum cara dia menyanjung Ludwig Boltzman, intim. 

Dari sosok Lawrence Krauss, saya diam-diam menyanjung cara duduknya, casual.

Dari sosok Hawking, saya sering tertarik caranya memikat Elaine Mason.

Karena bagi seorang alim, tindak tanduknya adalah ilmu. Segala hal dalam dirinya tentu mencerminkan ilmu.

Antrian Status


Kalau di akhirat kelak akan ada serentetan panjang antrian surga. Saya justru khawatir pada saya, yang bisa jadi malah hadir diantara riuh rendah antrian neraka. Dan yg lebih mengkhawatirkan lagi, sampai saat ini saya belum bisa membayangkan bagaimana rasanya menunggu dan mengantri pada sesuatu yg tidak betul-betul saya ingini.
Tetapi saya rasa, panitia akhirat akan berbenah, supaya antrian tidak mengular dan para pengantri tidak berharap cemas menunggu kepastian.
Dan saya kira facebook dan media sosial adalah bagian dari pembenahan itu. Kalau dahulu Baginda Roqib Atid harus aktif menulis. Sekarang, sepertinya database media social bisa autosave dan terintegrasi ke catatan Beliau2.
Sebagian besar perilaku seseorang sudah tercermin dari gerak gerik medsosnya. Di medsos orang tidak hanya bisa dipelajari pikirannya-'whats on your mind', tapi juga ucapan dan perilakunya. Di medsos, melibatkan diri dalam pergunjingan tidak hanya bisa dilakukan dengan menyampaikan rentetan panjang makian dan umpatan. Bahkan facebook suda menyiapkan tombol instant 'share'. Di medsos, saya sering risau pada orang-orang yg suka menuliskan status-status provokatif dan menggunjing. Tapi belakangan, saya baru sadar bahwa seharusnya saya merisaukan diri saya sendiri, yg meskipun tak sering update status tapi tiap hari melihat dan mengamati status status itu lalu diam-diam menggunjing orang itu dalam hati.
Saya pikir medsos suda tak relevan lagi disebut dunia maya, karena ternyata di dalamnya justru menguak dan menampilkan begitu banyak realita.
Maka, saya sepertinya harus mulai banyak menahan diri, untuk tak sedikit-sedikit update status di facebook. Saya tentu tak mau berlama antri, akibat deretan, ratusan status saya nanti. Kalau harus ke surga ya supaya cepet masuk, kalau pun ke neraka ya segera saja dicemplungkan.
Karena saya mulai curiga, bahwa bahkan status facebook pun akan dimintai pertanggung jawabannya.

Di Balik Aksi Kejahatan

DIBALIK AKSI KEJAHATAN

Saya ini seorang pelayan di sebuah warung nasi kecil di pinggir jalan. Satu waktu ada yang pesan nasi bungkus ke saya, lumayan banyak jumlahnya. Orangnya legam besar, agak kumal dan rambutnya dipirang. Secara penampakan, orang ini punya banyak syarat untuk memerankan preman tanpa dimakeup.
"Nanti yg bayar pak Hadi kantor sebelah, yg biasa makan disini itu mas", katanya.
Kami memang banyak melayani orang kantor sekitar, tapi entah pak hadi itu yang mana saya tak pernah tahu.
Saya mengiya, dan melepas kresek-kresek nasi dengan senyum. Iya, tersenyum, seperti - ah silakan coba tersenyum dengan perasaan khawatir dan tidak cukup percaya lalu lihat bentuk senyummu, ya seperti itu.
Dan sampai malam tiba tidak ada seorang Hadi pun yg mengambil nota. Dan besoknya, dan besoknya.
Maka, kalau tak mau menyangkut-nyangkutkan Alloh dalam proses ketidakbaikan seseorang. Mari masuk dalam keheranan saya, siapa yang menggerakkan hati saya untuk berbaik sangka?, untuk percaya bahwa masi banyak anton medan-anton medan di dunia, siapa yang meyakinkan saya bahwa pak Hadi itu memang sepertinya ada?, siapa yang membuat saya percaya begitu saja?
Kejahatan itu terjadi bukan cuma karena ada pelakunya, tapi juga karena ketidakjahatan para korbannya. Waspadalah wasapadalah, kebaikan Alloh ada dimana-mana.

Sholat Ruang dan Sholat Waktu


Sholat lah pada ruang dan waktuNya.
Kalau masjidku terbakar, alhamdulillah.
Kalau gerejaku terbakar, puji Tuhan.
Bangunan itu, adalah sepetak kecil dari luasnya hamparan masjidNya, tempat sujudNya. Bangunan itu, adalah sebidang kecil dari sebegitu luas ruang ibadahNya.
Ibadahmu tak terbatas pada pagar masjid. Ruang ibadahmu tidak melulu soal barisan2 kursi gereja.
Kalau hatimu terluka karena mesjid dan gereja terbakar. Lebih terlukalah karena hutanmu sudah tak lagi belukar.
Kalau kamu atas namakan Tuhan pada masjid dan gereja terbakar.
Kamu kemanakan Tuhan saat hutanmu tak kunjung berhenti berkobar.
Hadirilah jamaah semesta, bersama barisan pohon yg tak pernah berhenti berdzikir. Datanglah pada jemaat alam raya, menyambut limpahan gelombang cahaya kasihNya.
Sholatlah dengan kesadaran bahwa segala ruang dan waktu adalah milikNya. Bahwa tempat sujud ini milikNya, bahwa cahaya dan bayangan itu milikNya.
Bahwa, mesjid, gereja dan hutan itu pula milikNya

Tombol Kehidupan




Dia yang memainkan waktu dan segala yg menungganginya.
Kadang kala Dia tidurkan kita, supaya pertemuan-penemuan spritual kita tak terbatas ruang waktu.
Kadang kala Dia hadirkan suara-suara ghaib, agar di dalam nurani kita juga hadir kesadaran-kesadaran ghaib.
Kadang kala Dia akselerasi cara pandang kita, untuk hadirkan frame-frame terbaik dari semesta.
Kadang kala Dia kecilkan suara kita, supaya pendengaran kita mendapat kesempatan untuk memperdengarkan keagunganNya.
Kadang kala Dia ubah ubah peran kita, agar kita tau peran kita yg sesungguhnya.
Kadang kala Dia buat kita terpaku, terpalu pada titik diam. Supaya kita tajam menghujam pada bagian bagian terdalam.
Lalu, pada kala tertentu, ia pencet tombol merah. Tombol kehidupan, tombol yg menghadirkan kita pada penghidupan yg sebenarnya, setelah lawatan kita diantara gelombang dari antena ke antena.

Menginjak Langit


Satu waktu datanglah kemari, ditengah lapar dan cucuran keringat matahari.
Satu waktu bicaralah pada bunyi, tentang lekuk gelombang dan alunan vibrasi.
Satu waktu tamparlah cahaya, supaya ada yg terpelanting dan terjungkal dilembah gulita.
Satu waktu hiruplah kegembiraan, tapi percayalah saat itu justru asmamu akan kerap datang.
Satu waktu sandarilah udara, supaya kamu tau bahwa sesungguhnya kamu sedang bersandar pada dirimu sendiri.
Satu waktu injaklah langit, agar kamu mengerti bahwa yg terbalik bukan dirimu, tapi keterbalikan itu.

Harum Hujan Kemarau

HARUM HUJAN KEMARAU
Ada yang menyejukkan pada hujan ditengah kemarau.
Seperti lagu-lagu melayu yg mendadak parau
Seperti sholawat tarhim dari speaker-speaker surau
Ada yang harum dari hujan kemarau
Semerbaknya, sensasi kabutnya
Siapa yang tak tiba-tiba jadi melow oleh hujan kemarau.
Bagi para ilmuwan, ekstrak harum hujan kemarau tentu adalah penemuan
Bagi para usahawan, sensasi hujan kemarau tentu bisnis yg menyenangkan
Bagi para penyair, hujan kemarau adalah embrio bagi lahirnya jutaan konfigurasi kata yang menyihir.
Bagiku, hujan kemarau adalah kesendirian