Wednesday, May 29, 2019

Jamaah Jum'at


Jum'at itu saya agak terburu, adzan suda lepas berkumandang beberapa menit lalu. Khotbah suda terdengar ketika air pancuran mulai membasuh muka.
"Wah, bagus ini. Pakai basa jawa", saya mesem.
Mesjidnya bebentuk limasan, dengan kubah khas mesjid tempo lama, mungkin dibangun sekira 2 atau 4 abad lalu.
Saya masih menyeksama khotbahnya saat bersiap mengambil shaf. Isi khotbahnya, saya paham, hanya memori saya tak cukup support untuk mengutip pitutur-pitutur kromo itu.
Si mbah khotib itu, bicara tentang ngabekti maring tiyang sepah, birrul walidain, dengan jamaah yang juga banyak tiyang sepahnya. Hehe. Dan tentu tak lupa, dengan fasih menukil dalil tentang kisah Luqman dan putranya.
Jowo digowo, barat diruwat, arab digarap. Sepertinya, bukan berasal dari seniman ahli estetika, yg indah respon dan luapan inderanya. Ataupun kalau iya, beliau-beliau itu pasti ulama yg seniman, yg dari kejembaran dadanya tertampung rupa-rupa aneka yg antah berantah bentuknya lalu diharmonikan menjadi estetika robbaniyyah.

Kalau anda mengira sang mbah khotib bergamis surban dan peci , seperti halnya khotib di tempat anda. Anda harus ikut saya jum'at depan. Beliau, dengan gerik tawadhu' itu, berjarik dan beskap, dan tentu blangkonnya. Dan, sama sekali tak kurang kharisma. Yg jelas-jelas kurang, insyaAlloh, adalah rasa pandang saya yang sempit.
Saya mbrabak, "ya Alloh, sembah nuwun, sampun njenengan tunjukkan bahan mbrabak yg seperti ini".

Saya, yang kumel dan awut-awut ini, yang seperti terlihat tak siap sholat jum'at justru malu sama jejeran jamaah disamping saya. Yang, juga berjarik lurik dan blangkon, sedap pandang lah pokoknya.
Ada satu adegan yg bikin saya 'mak serr'. Menjelang berdiri sholat, saya yg biasanya menggelar selendang surban melihat mbah jamaah dikanankiri saya 'menggelar' kerisnya, menaruh-tepikan pelan pusaka itu dihadapannya.

Sebelum takbir sholat, kita memang seharusnya menaruh 'keris' dalam diri kita. Keris itu, adalah kesombongan, keakuan, kepalingbenaran, hawa nafsu dan segala sesuatu yg menghilangkan kesadaran akan AkbarNya. Allohu Akbar bukan hanya kesadaran bahwa Alloh Maha Besar. Ia juga harus terwujud sebagai pemahaman bahwa kita adalah insan paling 'kecil', paling sepaling-palingnya. Kita, tak boleh merasa lebih besar sedikit pun, dari apapun. Karena, yang seperti itu akan memberikan ruang 'besar' lain selain BesarNya Dia dalam hati kita.

Saya terkadang me reka-bayangkan, "opo yo ngene jaman wali jowo mbiyen yo. Yang dari pitutur nasihatnya, hati masyarakat menjadi tertunduk dan manut"
Seperti halnya satu waktu dalam jamaah sholat ied, sang Khotib dengan jubah dan lilitan imamahnya berkhutbah dengan haru, haru sekali. Tiba-tiba saya membayangkan adegan "jaman Rosululloh apa ya begini ya". Yg kemudian saya ketahui sang khotib adalah dzuriyat.

Pitutur nasihat adalah segala sesuatu yg melahirkan tunduk bukan tanduk, yang melahirkan haru bukan hara huru. Semoga begitu kira-kira.

-Burjo pojok, di satu pagi. 

*< November 2016

No comments: