Sunday, January 20, 2013

Terlanjur Waras


Kamu sudah tidak waras,
Ya, karena ulah mereka yang beringas
Katanya hanya meretas
Nyatanya rumput alas pun ikut ditebas

Kamu sudah tidak waras
Ya, karena pencakar langit sudah mencengkeram bumi
Pohon-pohonku seenaknya saja dilibas
Bilangnya demi sesuap nasi

Kamus sudah tidak waras
Ya, karena kaliku sudah kotor berkali-kali
Kaliku sudah tak lagi cadas
Aku tau dia bukan banci, tapi kenapa sudah tak berahi

Kamu sudah tidak waras,
Ya, karena Jayawijayaku sudah tak banyak bersalju
Kata orang karena global warming makin meranggas
Kataku, itu dimakan buto ijo bermata satu

Kamu sudah tidak waras
Itu sebabnya aku hanya bisa menghela nafas
Bagaimana aku tidak waras
Kewarasanku saja sudah ikut mereka gilas
Gorongan, sepertiga malam terakhir 19012013

Tuesday, January 15, 2013

Puitisasi Negeri


Salam Kami, Salam Perubahan. Saya tidak menyangka, semangat Perubahan tidak hanya santer digaungkan oleh masyarakat muda yang menamakan diri sebagai agent of change. Mereka, masyarakat Tua, yang memang benar-benar tua, masih begitu membara meyemarakkan perubahan. Tetapi bahasa mereka bukanlah bahasa analitis milik akademisi, bukan pula bahasa kritis milik para aktivis, jauh dari pada itu, bahasa mereka sungguh-sungguh puitis. Dan bahasa itu terangkum dalam Gelar Teaterical Poetica bertajuk “Salam Kami, Salam Perubahan”, yang memuat pusi-pusi karangan penyair kawakan Adjie S Mukhsin.
Adjie S Mukhsin
            Puisi-puisi itu menjadi begitu membumi karena menyangkut banyak sekali kepentingan, problematika dan mimpi-mimpi negeri. Untaian kata-kata itu menjadi semacam buncahan keresahan hati sang Adjie. Lewat ‘Salam Satu Kata’ ia bercerita tentang sejarah penyair yang telah menjadi bagian dari perjuangan negeri, lima seri ‘Salam Kami’ juga diisi oleh rajutan-rajutan derita, cerita dan pinta. Hingga ia mengakhirinya dengan ‘Surat Untuk Mama’ yang berkisah tentang ketawakalan diri pada sang Pencipta Semesta.

            Tidak berhenti sampai disitu, syair-syair lain masih mengalir lewat lisan-lisan para tetua.
Waton diuntal halal”, suara KH Dul Muhaimin datar, tapi sungguh maknanya jauh membumbung.
“Ada apa ini ya Alloh!”,  teriak Fauzi Abshal memanggil Tuhan Semesta, mungkin yang ingin ia panggil adalah sesamanya. Tapi apa daya, sekarang ini semua tangan telah menutup telinga. Ia juga melontarkan tentang profesionalisme jurnalis yang hanya berada pada level buruh. Setuju kan kalau sekarang berita sudah dipolitisasi demi profitabilitas!.

ini negeri agraris, kenapa kita harus mengemis. Ini negeri kaya, kenapa kita suka meminta-minta” , pekikan Dalhan begitu menggelitik, penyair Tua ini memang tak pernah habis. Seperti halnya Om Masroem, rambut gondrong putih itu sungguh menunjukkan betapa tuanya ia. Tapi ‘Surat untuk Mama’ yang membahana itu tak pernah meragukan aura mudanya.

kami rindu tahta untuk rakyat, bukan tahta untuk pejabat”, penggalan ‘Sebuah Negeri Bebek’ itu menjadi hidup oleh aura kakek gaul Merit Hendra. Semangat seninya mungkin hanya akan padam oleh kubur.

kami diajarkan tentang cinta tanah air, akibatnya hanya tersisa longsor dan banjir”, puisi dadakan Ki Demang itu memang jauh dari tak bermakna dalam. Kecintaan para pengusaha dan penguasa pada tanah dan air kita hanya menyisakan lubang besar, tentunya dengan longsor dan banjirnya.  Mereka cinta membabi buta, dihabisinya hutan supaya tak ada halangan bagi cintanya itu, tak diindahkannya alam agar mereka hanya bisa berdua saja.

            Pusi-puisi Adjie memang mendalam, ada warna Chairil, ada warna Rendra, bahkan warna Gus Mus pun ikut mewarnai. Warna-warna itu menjadikan puisinya begitu membumbung, lantas melayang, hingga pada saatnya ia menukik tajam menghujam bumi. Kata-kata yang ia rangkai adalah keresahan tentang negeri, gugatan tentang problematika bangsa, mimpi pada idealisme yang sudah saatnya menjadi nyata dan yang terpenting adalah kepasrahan atas semua serta kesadaran sebagai hamba yang hanya bisa berusaha.

Salam Budaya.
  

Saturday, January 5, 2013

Spesifikasi Do’a Kelas Pinus

            Rohman kecil terlihat merenung malam itu. Siang tadi ia hanya bisa melihat saat teman-temannya sedang bermain mobil-mobilan., Mainan yang bercat menawan, kemilau cat mainan itu akhirnya turut mengurungkan niatnya untuk ikut bergabung. Maka, malam itu, selepas sholat isya’ ia putuskan untuk meminta mainan. 
“ya Alloh, Rohman ingin punya mainan. Tapi jangan yang kayu ya Alloh. Rohman ingin yang bercat kemilau seperti punya teman-teman.”,
anak sekecil Rohman pun sudah tahu kemana seharusnya ia meminta. Setelah berdo’a ia pun beranjak dari duduk dan tengadah tangannya.
“O ya, jangan mobil-mobilan juga ya Alloh. Rohman ingin Robot-robotan saja. Supaya ada yang jaga parkir. Kasihan mobil-mobil mereka ndak ada yang mengatur nanti.”
Ia tak kembali menata duduknya. Sambil berlalu ia memperjelas do’anya, tapi tetap dengan tengadah tangannya.
-0-
Sementara itu, Aku dan mas Zaeni memutuskan untuk mencari tempat untuk program “Kelas Pinus”. Kelas Pinus ini merupakan salah satu kelas yang ada di Sekolah Habitat Indonesia. Setelah kelas Camping Purnama yang sebelumnya telah kami lakukan. Pinus menjadi media bagi anak-anak dan kami untuk mempertontonkan diri, pada rumput yang menghijaukan tanah, pada kabut yang terembunkan di telapak-telapak daun, pada lumut-lumut yang melunakkan batu, pada matahari yang melempar foton, pada banyak elemen semesta yang senantiasa beramal kepada manusia, karena ketaatan yang teramat padaNya.
Kami beranjak menuju kaki merbabu, menyusur dusun demi dusun, membiarkan diri untuk dipertemukan. Berawal dari sebuah dusun Citran yang cukup bagus, mesjid genteng merah merona menjadi semacam penunjuk. Tempatnya cukup tinggi, beberapa kilo dari jalan utama, tetapi justru itu yang akhirnya menjadikan kami urung.
“Hei, maumu yang bagaimana, ini dusun terakhir merbabu yang cantik”, sergah sebatang Pinus Citran yang kami lewati.
“memang kebiasaan dia seperti itu, berdo’a sering kali ndak spesifik.”, ucap Batu Jalanan ketus.
“jangan salahkan Tuhan kalau istrimu nanti tak secantik Sahika Koldemir”, Semut Rangrang mulai ikut campur.
            Ya, kami ingin tempat yang bagus, hutan pinus yang menawan, mudah diakses mobil, anak-anak kecil dengan senyum indah.
“Semoga cukup spesifik untuk sebuah permintaan dalam waktu dekat. Kalaupun ada yang kurang, nanti kita revisi”. Eram kami dalam hati.
           Kami turun, meniatkan kembali ke jalan utama, sambil memperhatikan tanda-tanda. Ada seekor burung Biru eksotik sedang menekur di sebatang pohon, mungkin ini tanda, kami ikuti dia yang terbang, cukup optimistic. Hanya beberapa saat memang, hingga akhirnya si Burung meluncur ke sungai dalam entah sampai mana. Urunglah niat kami mengikutinya.
          Jalan utama sudah semakin dekat, tinggal lurus terus beberapa ratus meter. Tiba-tiba, karenaNya, seekor burung melintas lagi dengan cepat didepan kami, seolah seeorang polisi yang memperingatkan kami tentang salah jalan.
“bismillah”, kami berbelok mengikuti arah si Burung.
Menjadikan burung sebagai tanda, ku kira tak ada yang salah. Gagak pun diperintah Alloh untuk mempertontonkan teknik memperlakukan jenazah pada Khobil. Bahkan, perlu diingat, Ibrahim (alaihi ssalam) pun mempercayakan tanda-tanda alam dalam pencarian Tuhan, hingga ia punya cukup banyak mantan Tuhan.
            Burung dan waktu sholat dhuhur akhirnya menghentikan kami pada sebuah surau. Seusai sholat, kami lanjutkan perjalanan. Beberapa meter kemudian, kami lihat hutan pinus yang cukup rindang, sunyi senyap disebuah kelokan. Ya, itulah hutan pinus Sendoyo, masih satu dusun dengan surau tempat kami sholat tadi dan tentunya rumah pak Kadus sendiri.
-0-
Seminggu berlalu.
“mumpung liburan, besok akan ada teman-teman dari Jogja yang ngajak bermain adik-adik. Jangan lupa datang ya!”, ucap seorang tetua dusun.
“asyikkkk…!”, seru anak-anak.
Begitu pula Rohman, ia kegirangan, hingga melupakan do’anya yang lalu. Tapi apa mau dikata, spesifikasi do’anya sudah terlanjur di print out.
-0-
            Mas Zaeni sibuk setting tempat, mempertimbangkan kemungkinan hujan yang pasti akan turun. Ya, ini daerah pegunungan yang punya curah hujan cukup tinggi, belum lagi, sekarang adalah musim hujan, tentu akan semakin menghujani. Sementara, aku dan si mbah (Fehri Helta) mulai mempersiapkan layar dan banch penonton untuk acara Layar Centel. Ya, Layar Centel, karena layarnya dicentel (digantung) bukan ditancep.
            Malam hari, selepas sholat isya, orang-orang mulai berkumpul. Malam hari memang tidak diperuntukkan untuk anak-anak kecil, kami prioritaskan untuk anak seusia akhir SD hingga SMP, meskipun banyak juga berdatangan anak-anak yang sekarang sudah menjadi bapak.
           Layar Centel 

         Layar Centel kali ini memutarkan film “Hafalan Sholat Delisa”, yang dibuka sebelumnya oleh Annisa, mempersilakan pak kadus dan pak RT mengucap sambut. Malam semakin melarut, alhamdulillah,  sedari tadi hujan hanya berbentuk rintik tipis. Pantai di sana (setting Hafalan Sholat Delisa) diharapkan memberikan fantasi, fantasi pasir, air asin dan juga debur-debur ombak yang semilir. Ini tentang dinamika, keragaman rasa, juga manifestasi indera. Mereka (penonton-red) adalah manusia-manusia dengan peraba gunung, dengan embun dan dingin yang menguliti, julangan gunung yang mendongak. Lantas, fantasi-fantasi itu menstimulasi peraba mereka, merehatkan sejenak nyata-nyata itu.
“malam ini ada ombak di kaki gunung”, celetuk batu-batu kali itu.
“Tuhan, ijinkan aku agar malam ini tidak turun. Sahabat-sahabatku sedang mencoba menonton film di hutan ini”, seru sang Hujan dengan wajah menahan.
            Malam ini, saat mereka tertidur, biarkan sang bunga tidur yang bekerja, mendimensikan fantasi-fantasi itu. Lalu, persilakan hujan juga titik-titik pantulannya menjadi melodi, mentransformasinya menjadi serasa pantai.
Menjelang pagi, hujan mengguyur deras, seperti menumpahkan pipis yang tertahan.
-0-
Pagi bersambut, hujan deras menjelang pagi suda menjelang reda. Menyempatkan mentari pagi menelisik masuk. Pukul 07.30 adik-adik kecil sudah mulai berdatangan.
“ayo kumpul adik-adik”, sahut Ulung.
“ayo baris dulu”, timpal Anisa. Sepertinya barisan pohon-pohon pinus itu pun mulai merasa iri.
Mereka (adik-adik-red) pun melepas sandal mereka, membiarkan telapaknya termediasi embun, tergelitik oleh kerikil-kerikil yang telah merumput, tersentuh oleh gemulai air sungai.
Awal yang melelahkan mungkin, setelah sarapan, ada rentetan acara yang menunggu. Di awali Magic Show oleh Rimbun, acara kemudian dilanjutkan dengan membaca di hamparan hutannya. Ya, membaca hamparan buku dengan rentetan-rentetan kata di antara hutan pinus yang telah dibacakan olehNya.
Rohman kecil membaca dengan tereja,
“Ha-ri-ma-u men-ca-kar po-hon – po-hon, e-lang men-ceng-ke-ram u-lar”, ternyata topic bukunya tentang Cakar Binatang. Sesekali ingusnya melengus, lucu sekali.
Tepat dibawah mentari pagi itu, mereka dihangatkan oleh cahaya (yang membawa energy panas) dan pengetahuan.
“hayo, siapa yang mau menjelaskan apa yang sudah dibaca?”, seru Ulung.
“ada hadiah lho!”, sambut Anisa.
Semua anak saling memandang, antara grogi dan geregetan. Kecuali Rohman, ia masih terus mengeja
“Sa-Ya”, katanya sedikit keras, sepertinya ia sedang mengeja kata Saya.
“yasudah, Rohman maju ya”, tunjuk Anisa.
Ia masih terus membaca,
“Rohman!”, panggil Ulung.
Teman-temannya pun akhirnya menyenggolnya.
“Man, ayo maju, sana jelaskan. Kami ingin tahu apa yang sudah kamu baca”, kata Meli.
Antara bingung dan linglung ia putuskan untuk tetap maju.
“Harimau mencakar pohon, burung elang mencengkeram ular,….. bla…..bla…..bla….”, ia berucap begitu saja.
“bagus Rohman, tepuk tangan semuanya!”, pinta Anisa sambil menepukkan telapak tangannya.
Rohman pun beranjak duduk.
“eh, tunggu dulu. Ada hadiah untuk kamu”, cegah Ulung.
Lintang (putra bungsu mas Zaeni) pun menyerahkan Robot-robotannya kepada Rohman.
“Alhamdulillah,..”, ia seperti tak percaya melihat Robot-robotan itu. Ia sudah hampir melupakannya.
“terima kasih ya Alloh, akhirnya bisa jagain parkir mobil teman-teman”, bathin Rohman dengan tangan terdekap, bukan lagi tertengadah.
     Rohman Kecil menggaruk kepalanya dan kepala monyetnya
           InsyaAlloh semuanya bergembira. Acara kemudian dilanjutkan dengan melukis pada media kertas dan tentunya batu kali yang telah kami siapkan dari Jogja. Mereka perlahan belajar tentang perpaduan warna-warna, kombinasi warna pokok, dsb, yang kemudian mereka padukan dengan bentang alam yang telah terkombinasi di sekeliling mereka. Ya, gunung, pinus, sungai telah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
           Masih ada rawa, telaga, bantaran kali, tempat pembuangan sampah (TPA), kebun teh dan lain sebagainya, yang insyaAlloh akan memberikan awareness (kesadaran) kepada kami dan juga mereka (siapapun yang disiapkan Alloh disana) tentang do’a yang telah dimodalkan kepada kita dan juga bahwa kita semua berpijak ditempat yang sama, semesta milikNya.

 Foto Dokumentasi ada di sini

Friday, January 4, 2013

Bukan Fungsi Waktu



Duhai cerita yang kerap berjalan begitu saja. Entah kenapa, aku tak pernah melihat kinimu. Hanya lalu dan nantimu yang begitu kentara.
Apakah saat ini yang dibilang kini. Ah, ia sudah lewat satu detik lalu.
Mungkin yang satu ini. Aih, baru saja usai seperseratus detik yang lalu.
Haaa, yang ini pasti. Hey, itu sudah sepersejuta detik yang lalu.
Lantas siapakah kini?
Atau mungkin saja dia bukan fungsi waktu.

foto disini