Tuesday, January 15, 2013

Puitisasi Negeri


Salam Kami, Salam Perubahan. Saya tidak menyangka, semangat Perubahan tidak hanya santer digaungkan oleh masyarakat muda yang menamakan diri sebagai agent of change. Mereka, masyarakat Tua, yang memang benar-benar tua, masih begitu membara meyemarakkan perubahan. Tetapi bahasa mereka bukanlah bahasa analitis milik akademisi, bukan pula bahasa kritis milik para aktivis, jauh dari pada itu, bahasa mereka sungguh-sungguh puitis. Dan bahasa itu terangkum dalam Gelar Teaterical Poetica bertajuk “Salam Kami, Salam Perubahan”, yang memuat pusi-pusi karangan penyair kawakan Adjie S Mukhsin.
Adjie S Mukhsin
            Puisi-puisi itu menjadi begitu membumi karena menyangkut banyak sekali kepentingan, problematika dan mimpi-mimpi negeri. Untaian kata-kata itu menjadi semacam buncahan keresahan hati sang Adjie. Lewat ‘Salam Satu Kata’ ia bercerita tentang sejarah penyair yang telah menjadi bagian dari perjuangan negeri, lima seri ‘Salam Kami’ juga diisi oleh rajutan-rajutan derita, cerita dan pinta. Hingga ia mengakhirinya dengan ‘Surat Untuk Mama’ yang berkisah tentang ketawakalan diri pada sang Pencipta Semesta.

            Tidak berhenti sampai disitu, syair-syair lain masih mengalir lewat lisan-lisan para tetua.
Waton diuntal halal”, suara KH Dul Muhaimin datar, tapi sungguh maknanya jauh membumbung.
“Ada apa ini ya Alloh!”,  teriak Fauzi Abshal memanggil Tuhan Semesta, mungkin yang ingin ia panggil adalah sesamanya. Tapi apa daya, sekarang ini semua tangan telah menutup telinga. Ia juga melontarkan tentang profesionalisme jurnalis yang hanya berada pada level buruh. Setuju kan kalau sekarang berita sudah dipolitisasi demi profitabilitas!.

ini negeri agraris, kenapa kita harus mengemis. Ini negeri kaya, kenapa kita suka meminta-minta” , pekikan Dalhan begitu menggelitik, penyair Tua ini memang tak pernah habis. Seperti halnya Om Masroem, rambut gondrong putih itu sungguh menunjukkan betapa tuanya ia. Tapi ‘Surat untuk Mama’ yang membahana itu tak pernah meragukan aura mudanya.

kami rindu tahta untuk rakyat, bukan tahta untuk pejabat”, penggalan ‘Sebuah Negeri Bebek’ itu menjadi hidup oleh aura kakek gaul Merit Hendra. Semangat seninya mungkin hanya akan padam oleh kubur.

kami diajarkan tentang cinta tanah air, akibatnya hanya tersisa longsor dan banjir”, puisi dadakan Ki Demang itu memang jauh dari tak bermakna dalam. Kecintaan para pengusaha dan penguasa pada tanah dan air kita hanya menyisakan lubang besar, tentunya dengan longsor dan banjirnya.  Mereka cinta membabi buta, dihabisinya hutan supaya tak ada halangan bagi cintanya itu, tak diindahkannya alam agar mereka hanya bisa berdua saja.

            Pusi-puisi Adjie memang mendalam, ada warna Chairil, ada warna Rendra, bahkan warna Gus Mus pun ikut mewarnai. Warna-warna itu menjadikan puisinya begitu membumbung, lantas melayang, hingga pada saatnya ia menukik tajam menghujam bumi. Kata-kata yang ia rangkai adalah keresahan tentang negeri, gugatan tentang problematika bangsa, mimpi pada idealisme yang sudah saatnya menjadi nyata dan yang terpenting adalah kepasrahan atas semua serta kesadaran sebagai hamba yang hanya bisa berusaha.

Salam Budaya.
  

No comments: