Sore itu,
Ibu tak berhenti mengekstrak peluh, geramannya terlihat betapa ia sedang merasa
sakit yang teramat.
Sementara
itu, peluh Ayah tak kalah dahsyat. Diam-diam ia berdzikir tanpa henti, ia tahu,
bahwa ia sedang berada diambang batas kuasanya atasku. Ia hanya bisa berdo’a
supaya Alloh mengintervensi proses kelahiranku, supaya –karenaNya- aku mampu hadir
menjadi bagian dari dunia. Tak bisa hadir mendampingi Ibuku saja sudah cukup
baginya untuk mencemaskan harapan.
Ayah, aku
tahu, mengharapkan hadirku sudah barang tentu sama saja mengharapkan bebanmu
semakin bertambah, karena kamu harus bekerja mencari nafkah lebih keras.
Mengharapkan
hadirku artinya kamu mengharapkan daftar pekerjaanmu menjadi bertambah, karena
kamu harus siap menjadi guru bahkan sesekali menjadi pembantu.
Apakah
nalarmu tidak memikirkan konsekuensi itu, Ayah?.
Buktinya,
setelah aku lahir dan bertumbuh kembang, kamu akhirnya memang harus kerap
lembur kerja, dan tak jarang pula aku melihatmu mencari pekerjaan tambahan.
Tidak kah itu cukup untuk membuatmu menyesali mengharapkan hadirku.
Belum lagi,
ditengah lelahmu bekerja di siang hari, kamu harus terbangun malam untuk
menimangku yang kerap susah sekali berhenti menangis. Tidak cukup kah itu, Yah?.
Sepertinya
aku mulai yakin, anggapan orang bahwa kaum lelaki begitu menggunakan nalar
tidak lah sepenuhnya tepat. Nyatanya, menerima aktifitas yang memberatkan itu
tentu tak banyak melibatkan nalarmu. Itu artinya Alloh menciptakan elemen yang
jauh lebih besar dari nalar, dan tentunya nalar hanya bagian lebih kecil dari
sesuatu yang menghidupkanmu itu.
Ayah,
maafkan aku, yang tanpa sengaja mengetahuimu mondar-mandir ke rumah pak guru
atau siapapun itu, hanya karena kamu tak mau pertanyaan sepeleku itu membuatku
malu memiliki ayah tak pintar, ayah yang memang hanya mampu mengenyam sekolah
dasar.
Ayah,
maafkan aku, bahkan kejadian seperti itu tak juga mampu membuatku berhenti
untuk kerap mengguruimu. Bahkan, setelah aku semakin besar, level itu naik
menjadi “aku lebih tau, Yah”. Dan aku tau kamu tak akan menaikkan levelmu, kamu
terlalu pendiam untuk ukuran lelaki gagah perkasa, lelaki beradab, lelaki yang
khusyu’ akan dunia-akhiratnya. Padahal, sungguh, sebenarnya tak ada alasan
sedikit pun aku berani dan tak hormat padamu. Entahlah, elemen itu memang
bekerja dengan baik.
Satu hal
yang tak akan kulupa tentang momen itu, momen saat kamu menanyakan padaku akan
kuliah mengambil jurusan apa. Tentu, dengan wawasanku dan kritisku aku menjawab
dengan sangat sistematis dan analitis, beberapa jurusan pilihanku aku jelaskan
dengan baik, berikut prospek kerja dan masa depannya. Ya, prospek kerja dan
masa depan, seseorang tentu tidak mau blunder dengan memilih kucing dalam
karung, kecuali Ayahku. Katamu
“nak, Ayah
sepertinya sudah salah mendidikmu, maafkan Ayah. Tidakkah Alloh sudah
menjanjikan kenaikan derajat untuk orang-orang yang menuntut ilmu dengan
sungguh-sungguh dan beramal sholeh. Tak usah kamu pentingkan akan jadi apa
kamu, cukuplah sungguh-sungguh dalam pencairan ilmumu dan jangan lupa
laksanakan kewajibanmu pada Alloh dengan baik, lantas biarkan Alloh yang
menunaikan janjiNya”.
Kamu bukan
ulama, dan setauku kamu juga bukan lulusan pesantren. Tetapi kerisauanmu atas landasan
dan niatku yang kurang tepat terlihat jelas sekali. Padahal, bukankah yang akan
menjalankan masa depan adalah aku. Kamu bilang
“Ayah dan
Ibu ndak bisa kasih bekal apa-apa untuk masa depanmu, kami cuma bisa membuatkan
jembatan untuk jalanmu menuju masa depan”.
‘Cuma’,
bukankah itu kuncinya menuju masa depan. Sudahlah, aku hanya bisa berharap agar
aku tidak menjadi kepercumaan atas segala ikhtiarmu.
Ayah, bahkan
hingga keriputmu semakin tegas, perhatianmu atasku tak pernah mengerut
sedikit pun.
Kini, diammu
telah benar-benar menjadi diam.
Tatapan getirku
atas lahatmu masih banyak sekali menyisakan maaf yang belum tersampaikan.
Innalillahi wainna ilaihi roji’un..
Kembalimu kepadaNya, justru adalah nalar yang sesungguhnya, Yah.
Allohummaghfirlii dzunubii waliwaalidayya
warhamhumaa kamaa robbayaani shoghiroo.
Ayah, terima
kasih atas sawah dan kebun yang membuatku menjadi petani, atas kolam ikan yang
juga membuatku merasakan pematang, juga atas warung nasi yang membuatku belajar
berkeringat.
Ingat
sahabat, Ayahku, juga ayahmu sungguh tak bisa dinalar.