Tuesday, April 16, 2013

Elemen Ayah



Sore itu, Ibu tak berhenti mengekstrak peluh, geramannya terlihat betapa ia sedang merasa sakit yang teramat.

Sementara itu, peluh Ayah tak kalah dahsyat. Diam-diam ia berdzikir tanpa henti, ia tahu, bahwa ia sedang berada diambang batas kuasanya atasku. Ia hanya bisa berdo’a supaya Alloh mengintervensi proses kelahiranku, supaya –karenaNya- aku mampu hadir menjadi bagian dari dunia. Tak bisa hadir mendampingi Ibuku saja sudah cukup baginya untuk mencemaskan harapan.

Ayah, aku tahu, mengharapkan hadirku sudah barang tentu sama saja mengharapkan bebanmu semakin bertambah, karena kamu harus bekerja mencari nafkah lebih keras.

Mengharapkan hadirku artinya kamu mengharapkan daftar pekerjaanmu menjadi bertambah, karena kamu harus siap menjadi guru bahkan sesekali menjadi pembantu.

Apakah nalarmu tidak memikirkan konsekuensi itu, Ayah?.

Buktinya, setelah aku lahir dan bertumbuh kembang, kamu akhirnya memang harus kerap lembur kerja, dan tak jarang pula aku melihatmu mencari pekerjaan tambahan. Tidak kah itu cukup untuk membuatmu menyesali mengharapkan hadirku.

Belum lagi, ditengah lelahmu bekerja di siang hari, kamu harus terbangun malam untuk menimangku yang kerap susah sekali berhenti menangis. Tidak cukup kah itu, Yah?.

Sepertinya aku mulai yakin, anggapan orang bahwa kaum lelaki begitu menggunakan nalar tidak lah sepenuhnya tepat. Nyatanya, menerima aktifitas yang memberatkan itu tentu tak banyak melibatkan nalarmu. Itu artinya Alloh menciptakan elemen yang jauh lebih besar dari nalar, dan tentunya nalar hanya bagian lebih kecil dari sesuatu yang menghidupkanmu itu.

Ayah, maafkan aku, yang tanpa sengaja mengetahuimu mondar-mandir ke rumah pak guru atau siapapun itu, hanya karena kamu tak mau pertanyaan sepeleku itu membuatku malu memiliki ayah tak pintar, ayah yang memang hanya mampu mengenyam sekolah dasar.

Ayah, maafkan aku, bahkan kejadian seperti itu tak juga mampu membuatku berhenti untuk kerap mengguruimu. Bahkan, setelah aku semakin besar, level itu naik menjadi “aku lebih tau, Yah”. Dan aku tau kamu tak akan menaikkan levelmu, kamu terlalu pendiam untuk ukuran lelaki gagah perkasa, lelaki beradab, lelaki yang khusyu’ akan dunia-akhiratnya. Padahal, sungguh, sebenarnya tak ada alasan sedikit pun aku berani dan tak hormat padamu. Entahlah, elemen itu memang bekerja dengan baik.

Satu hal yang tak akan kulupa tentang momen itu, momen saat kamu menanyakan padaku akan kuliah mengambil jurusan apa. Tentu, dengan wawasanku dan kritisku aku menjawab dengan sangat sistematis dan analitis, beberapa jurusan pilihanku aku jelaskan dengan baik, berikut prospek kerja dan masa depannya. Ya, prospek kerja dan masa depan, seseorang tentu tidak mau blunder dengan memilih kucing dalam karung, kecuali Ayahku. Katamu

“nak, Ayah sepertinya sudah salah mendidikmu, maafkan Ayah. Tidakkah Alloh sudah menjanjikan kenaikan derajat untuk orang-orang yang menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh dan beramal sholeh. Tak usah kamu pentingkan akan jadi apa kamu, cukuplah sungguh-sungguh dalam pencairan ilmumu dan jangan lupa laksanakan kewajibanmu pada Alloh dengan baik, lantas biarkan Alloh yang menunaikan janjiNya”.

Kamu bukan ulama, dan setauku kamu juga bukan lulusan pesantren. Tetapi kerisauanmu atas landasan dan niatku yang kurang tepat terlihat jelas sekali. Padahal, bukankah yang akan menjalankan masa depan adalah aku. Kamu bilang

“Ayah dan Ibu ndak bisa kasih bekal apa-apa untuk masa depanmu, kami cuma bisa membuatkan jembatan untuk jalanmu menuju masa depan”.
‘Cuma’, bukankah itu kuncinya menuju masa depan. Sudahlah, aku hanya bisa berharap agar aku tidak menjadi kepercumaan atas segala ikhtiarmu.

Ayah, bahkan hingga keriputmu semakin tegas, perhatianmu atasku tak pernah mengerut sedikit pun.

Kini, diammu telah benar-benar menjadi diam.

Tatapan getirku atas lahatmu masih banyak sekali menyisakan maaf yang belum tersampaikan.

Innalillahi wainna ilaihi roji’un..

Kembalimu kepadaNya, justru adalah nalar yang sesungguhnya, Yah.

Allohummaghfirlii dzunubii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaani shoghiroo.

Ayah, terima kasih atas sawah dan kebun yang membuatku menjadi petani, atas kolam ikan yang juga membuatku merasakan pematang, juga atas warung nasi yang membuatku belajar berkeringat.
Ingat sahabat, Ayahku, juga ayahmu sungguh tak bisa dinalar.

foto diambil disini

No comments: