Tuesday, March 27, 2012
Sunday, March 25, 2012
Memperlakukan Mimpi
Mengejar mimpi atau menggapai mimpi, sebuah kiasan yang sering kita
lihat dari berbagai macam buku motivasi dan juga sering kita dengar dari
lisan para motivator. Tetapi sebenarnya mana yang masih relevan untuk
digunakan. Mengejar mimpi berarti sesuatu yang sifatnya horizontal,
seumpama kita yang sedang mengejar bis kota. Sedangkan menggapai mimpi
lebih bersifat vertikal, ibaratkan saat kita sedang menggapai buah
mangga tetangga nun jauh di atas kita. Yang kemudian jadi pertanyaan
adalah dimanakah sebenarnya mimpi atau impian itu berada?. Di depan kita
kah, atau di atas kita. Dan efek dari pertanyaan itulah yang kemudian
akan diketahui munculnya kata mengejar atau menggapai. Memang ini
hanyalah kiasan, tetapi mengetahui filosofi atas ini akan membiasakan
kita memunculkan fundamental think atas segala hal yang kita
pikirkan, ucapkan maupun lakukan. Hal ini juga akan membuat kita
mengetahui bagaimana seharusnya cara memperlakukan impian kita, hingga
mungkin akan berujung pada pembuatan kiasan baru mengenai aktifitas ini.
Tulisan ini bukan untuk mendikte, ini hanyalah pertanyaan atas diri
pribadi teruntuk kawan-kawan, yang kemudian harapannya akan muncul
jawaban-jawaban yang memunculkan hal yang baru.
Dimanakah impian itu berada?
di
depan, di belakang, atau di atas?atau dimana?, kalau dibelakang maka
akan muncul sebuah kiasan “tariklah mimpimu sekuat tenaga”. Yang berarti
kita membutuhkan “tali” untuk menariknya (inilah yang disebut sebagai
efek perlakuan terhadap mimpi).
Mari bebaskan pikiran, jangan termakan dogma!mungkin kamu butuh menggondrongkan rambut untuk membebaskan pikiranmu kawan. hehe
Labels:
Muhasabah
Sunday, March 18, 2012
Alibi Cakar Ayam
Aku sedikit ingin berbicara soal tulisanku yang seperti streokimia tak
beraraturan, seperti urat tubuh yang simpang siur. Bukan tulisan dengan
ketikan, tetapi tulisan tangan. Sebuah aktifitas yang jarang sekali
kulakukan di masa kuliah ini. Tulisanku memang susah dibaca, tapi bukan
berarti tidak enak dilihat. Kalau melihat tulisanku seperti melihat
sebuh simpul yang saling terkait. Aku jadi sedikit berpikir, membaca
tulisan yang rapi dan lembut terkadang akan membuatku cepat mengantuk,
seperti membaca sesuatu yang mengalir begitu saja, membuat si pembaca
seperti diterpa angin disamping jendela kereta yang berjalan tanpa
hambatan. Bayangkan saja ketika membaca tulisan-tulisanku, butuh
berpikir untuk membacanya, setiap kata harus diamati dan diperkirakan
kemungkinan-kemungkinan pembacaannya. Menjadikan siapa saja yang membaca
tidak berjalan dengan mulus, seperti berjalan ditengah padang ranjau,
saat kita lengah maka “duaaaar”. Dan akan membuat si pembaca lebih
berkonsentrasi ketika sedang membaca. Maka, beruntunglah manusia-manusia
yang memiliki tulisan ‘cakar ayam’, mereka membantu manusia-manusia
lain menggunakan logika berpikirnya sehingga instingnya lambat laun akan
adapted. Dan segera berinstrokpeksi dirilah manusia-manusia yang
mempunyai tulisan ‘nyiur melambai’ , karena anda telah membuatku
tertidur pulas di atas padang kapuk nan empuk.
The Sweetest Jogja
Kota pelajar, Jogjakarta hardiningrat, memiliki daya magnetis
tersendiri bagi para penuntut ilmu di tanah air. Arus pendatang yang
semakin membanjiri Jogjakarta mengakibatkan meningkatnya geliat kuliner
di Jogjakarta. Bukan hanya kuliner khas jogja dan sekitarnya. Kuliner
khas luar daerah pun banyak membanjiri pinggiran jalan Jogjakarta
belakangan ini. Mungkin sekedar upaya jeli melihat peluang atas rasa
rindu pada pelajar luar daerah pada makanan khas daerahnya
masing-masing. Tetapi ketika mendengar kata jogja, maka sebagian besar
akan berfikir tentang Gudeg. Gudeg jogja sudah tersohor hampir di
seluruh pelosok negeri bahkan dunia.
Saya ingin coba
mengungkapkan opini saya mengenai gudeg dan bacem jogja (memiliki
kesamaan, sama-sama manis). Banyak teman-teman luar daerah khususnya
sumatera yang mengeluhkan selera masakan jogja yang cenderung manis.
Terkadang saya pun mengeluhkan hal yang sama. Tak heran warung-warung
makan yang menyediakan menu pedas akan ramai di padati pembeli. Tetapi
jangan salahkan manis.!!. saya sedikit berfikir mengenai manis. Sebagai
anak kos yang tinggal bersama ibu kos, saya kerap mendapat jamuan
masakan-masakan yang manis bahkan kelewat manis. Apalagi setelah idul
adha ini saya semakin banyak melihat masakan manis. Tahu bacem, tempe
bacem, bahkan daging kurban pun di bacem. Bagi yang belum tahu (bukan
makanan, tapi tahu ; know) bacem, masakan bacem adalah masakan
yang di rebus dengan air kemudian ditambah gula merah setelah sebelumnya
dibumbui hingga airnya hampir habis.
Saya melihat
seperti ada sebuah proses bukan sekedar memasak disitu, seperti ada
tujuan tertentu dari ‘pembaceman’. Baru saya sadari kemudian bahwa gula
adalah salah satu bahan yang dapat mengawetkan makanan. Mengapa gula
dapat mengawetkan makanan?. Tujuan utama dari pengawetan adalah untuk
mencegah pertumbuhan mikroba di dalam makanan (winarno.1993). Mikroba
akan mendegradasi zat-zat organic yang terkandung di dalam makanan,
seperti karbohidarat, protein, dsb. Sehingga akan menyebabkan kondisi
fisis makanan tersebut berubah (basi). Dengan adanya gula, mengakibatkan
terjadinya penyerapan air dari tubuh mikroorganisme yang juga banyak
tersusun dari molekul air. Sehingga mikoorganisme tersebut mengalami
dehidrasi yang berujung kepada kelumpuhan bahkan kematian. Penyerapan
air oleh gula disebabkan karena adanya proses osmosis.
Tahu dan Tempe Bacem
Begitu
jelinya masayarakat jogja waktu itu, mereka mengetahui bahwa kelembaban
udara di Indonesia cukup tinggi (60-90 persen), yang artinya makanan
akan cepat busuk jika dibiarkan begitu saja. Sehingga sebuah metode
‘pembaceman’ yang dahulu bertujuan untuk pengawetan harus
mengeksploitasi lidah masayarakatnya hingga sekarang. Jadi, jangan
salahkan manis!!
Tak salah Jogjakarta disebut sebagai
kota pelajar. Tak hanya karena banyak pelajar yang memilih menimba ilmu
di kota ini. Tetapi ke’pelajar’an kota jogja juga berasal dari keramahan
masyarakatnya dan juga kebecikan tingkah laku budayanya.
Mari ke jogja dan nikmati ‘manis’nya jogja!!
Labels:
Local Wisdom
Wednesday, March 7, 2012
Nabi Darurat dan Rosul Ad-Hoac (Ziqinium Review)
Acara diawali
dengan monolog dari Muhammad Ainun N (Cak Nun), menjelaskan secara eksplisit,
terkadang konotatif bahkan sesekali terdengar retoris mengenai tema besar dan
latar mburi pegelaran Teater
bertajuk “Nabi Darurat dan Rasul
Ad-hoac”. Sekitar sepuluh menit sang Penulis Naskah ini menyuguhkan monolognya
dengan filosofis serta sangat analitis dan semuanya merupakan akomodasi dari cuilan-cuilan
realita-realita yang menjadi jasad bagi kehidupan anak-anak Adam di Bumi
Pertiwi, Indonesia Raya.
Cak Nun
Kisah ini
dimulai ketika seorang anak desa bernama Joko Kamto yang juga dikenal sebagai
Ruwat Sengkolo membuat kurungan di dalam rumahnya di desa. Ia tinggal bersama
mbah Soimun, kakeknya. Akibat tingkahnya yang aneh itu yang terkadang sesekali
menyabdakan diri, banyak warga berspekulasi bahwa Ruwat Gila, ingin bunuh diri,
dukun tiban bahkan ada yang mengatakan bahwa ruwat adalah Nabi Darurat dan
Rasul ad-hoac.
Lakon Kang Ruwat Sengkolo
Kegaduhan ini
membuat Pak Jangkep, ayah Ruwat, yang sedang merantau di Jakarta harus pulang
kampung. Begitu pula Alex Sarpin, seorang aktivis dan mahasiswa S2 yang pandai
berteori dan ber’ensiklopedi’ ikut serta mengurusi keributan itu. Ditambah lagi
obrolan dari anak-anak letto yang dikisahkan sedang indekos di sebelah rumah.
Isu-isu mengenai kekerasan dan perilaku anak muda jaman sekarang juga menjadi
bahan dagelan mereka.
Isu besar yang
di angkat di awal adalah mengenai kiamat,
“....jangan percaya perhitungan para
manusia-manusia yang mengaku ilmiah,..... kalau kiamat akan tejadi di 2060. Itu
tidak mungkin, kiamat akan terjadi lebih cepat.....”,
sempalan suara lantang Ruwat
sedikit menyinggung keangkuhan manusia yang sudah mulai terlihat ‘menuhankan’
ilmu pengetahuan, mengagungkan logika dan kekuatan pikiran yang membuatnya
semakin terlihat takabbur.
Kericuhan
mengenai kiamat itu tiba-tiba memunculkan gemuruh yang ternyata mengundang
kehadiran Brah Abadon (Sabrang ‘Noe’ Letto), sosok implisit yang mengaku sebagai
utusan Baginda Isrofil, tokoh malaikat yang diberi kuasa oleh Allah untuk
menyuarakan kiamat dengan sengkolonya.
“...kamu terlalu berambisi untuk
menjadi panitia kiamat...”,
suara Brah terdengar tenang dan
introgatif, tetapi tidak menyurutkan gelak tawa di banch penonton.
Malam
semakin larut, penonton semakin duduk tidak beraturan, mencoba mencari posisi
ternyaman untuk kembali melanjutkan adegan-adegan yang semakin lama semakin
eksplosif. Sesekali Letto melantunkan tembangnya, bukan oleh suara merdu kang
Sabrang ‘Noe’, tetapi suara emas Dony
Kiai Kanjeng. Mungkin inilah yang dibilang Noe sebagai konsep lagu, lagu-lagu
Letto merupakan deskripsi dari cinta-cinta yang general. Yaitu cinta-cinta yang
dapat dianalogikan dengan berbagai setting
maupun lakon. Bisa jadi, lagu yang dibawakan malam itu merupakan soundtrack dari dilematisme
manusia-manusia akan hati, pikiran dan Tuhan mereka.
Tingkah
Ruwat semakin aneh, membuat ki Janggan turun tangan untuk menenangkan muridnya
itu. Eksplorasi dan improvisasi Ruwat sudah sangat jauh, bahkan ki Janggan
sebagai gurunya pun merasa tak pernah mengajarkan hal semacam yang sudah
dilakukan oleh Ruwat. Ia seperti tak punya kuasa, hanya nasehat dan pitutur sebagai seorang guru lah yang
bisa ia lakukan.
Jargon-jargon
seperti ganjil-ganjil, kekerasan dan edanisme juga menjadi topik pada malam
itu.
“....hanya satu ganjil yang
benar-benar genap...”,
manusia seperti sudah menjadi
semakin aneh, sudah bertingkah tidak sesuai fitrahnya.
“...bahwa agama menghasilkan
perilaku yang merusak...”,
agama banyak dijadikan sebagai toa dalam menggaungkan suara-suara
kekerasan yang sebenarnya lebih didasari oleh egoisme dan sifat eksklusif suatu
golongan.
“...hanya manusia yang bisa edan,
karena Tuhan memberinya akal. Hanya makhluk yang berakal yang bisa edan...”,
ternyata penghuni bumi ini sudah
mengalami gangguan akal, bukan gangguan jiwa. Karena jiwa tak salah apa-apa, ia
hanya menurut apa kata juragannya.
Warga
diluar rumah semakin anarkis, di dalam rumah Ruwat semakin meng’gila’ dengan
monolog-monolog panjangnya maupun obrolan-obrolannya dengan Brah Abadon.
“...jangan lakukan perubahan...”,
sebuah pesan yang menyuarakan
akan pentingnya melakukan perubahan, sekarang dan sesegera mungkin.
“...hai semua makhluk langit,
turunlah ke bumi. Jangan hanya manusia yang kau suruh mengurus bumi ini...”,
sepertinya merupakan
pemberontakan diri yang muncul karena klimaks atas usahanya dalam memikirkan
urusan-urusan bumi yang semakin ruwet. Mungkin karena hanya memikirkannya, just
do it.
“...bukannya manusia adalah ahsani taqwim?...”, Brah terdengar datar
“...ya, tapi sekarang sudah
menjadi asfala saafiliin ...”, jawab
Ruwat dengan cepat.
Pak
Lurah Sangkan kemudian masuk, berniat mengajak Ruwat ke pihak berwajib agar
dapat lebih aman karena ia sendiri sudah susah mengendalikan kebrutalan
warganya. Pak Jangkep ternyata tidak terima dan menghalang-halangi keinginan
Pak Lurah. Kemudian datang Pak Gaspol, seorang petugas kepolisian, membawa
sebuah bedil laras panjang dan
mempunyai niat yang sama dengan Pak Lurah, tetapi
“..treeet, treet...”, suara
terompet Ruwat mengagetkan Pak Gaspol bahkan melimbungkannya. Pak Gaspol
semakin menciut. Dialog pun muncul antara keduanya yang lebih menitik beratkan
pada penegakan dan aplikasi hukum juga tentang probabilitas interaksi antara
270 juta manusia yang hanya dikendalikan oleh hanya sekitar 2ribuan
undang-undang.
“...yang harus di tegakkan itu
seharusnya adalah supremasi keadilan, bukan supremasi hukum. Karena hukum tidak
dapat mencakup hati nurani, moral dan juga akal sehat...”
pernyataan yang semakin membuat
Pak Gaspol garuk-garuk kepala. Entah berpangkat apa penegak hukum yang satu
ini.
“...bruk...”,
tiba-tiba Ruwat merubuhkan sangkarnya. Mungkin Ruwat sudah sadar, ia mungkin
sudah menemukan pencariannya yang selama ini ia renungkan di dalam sangkar.
Bisa jadi karena dialog-dialog, diskusi-diskusi maupun interaksi-interaksi yang
baru saja dilakukannya. Ruwat sudah salah besar dengan mengurung diri, banyak
manusia diluar sana yang juga peduli pada bumi, bahkan banyak sekali
kepolosan-kepolosan yang mampu meruntuhkan keangkuhan ‘sundul langit’, meratakan idealisme-idealisme dan bahasa-bahasa
setinggi langit.
Kisah
diakhiri dengan petuah Mbah Soimun agar manusia tidak sombong dengan ilmunya
(menunjuk Alex Sarpin), kekuasaannya (menunjuk Pak Lurah) ataupun dengan
kekuatannya (menunjuk pak Gaspol). Karena sebenarnya manusia tak punya kuasa
sedikitpun atas hal-hal itu.
Senandung
suara Noe bersama Lettonya mengakhiri acara malam itu, menyisakan sebuah raut
kepuasaan dan introspeksi pada setiap diri penonton.
Foto-foto dapat di lihat di :
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.2698939284665.2103774.1592155838&type=1
Foto-foto dapat di lihat di :
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.2698939284665.2103774.1592155838&type=1
Labels:
Event
Subscribe to:
Posts (Atom)