Tuesday, March 27, 2012

Belajar Bersama adalah Penghematan Energi

"BELAJAR BERSAMA ADALAH PENGEHEMATAN ENERGI"

      Mari dukung pemerintah dalam upaya penghematan listrik lewat aktifitas BELAJAR BERSAMA di malam hari. Kenapa?

1. Pada saat beban puncak (umumnya pukul 17.00-22.00), listrik menanggung beban besar dalam suplai listrik ke masyarakat. Yang itu artinya ketika jumlah pemakaian sudah melebihi supply listrik yang diberikan kemungkinan akan menyebabkan pemadaman listrik. Dan biasanya range waktu tersebut adalah saat-saat para pelajar sedang belajar di kos (bagi yang ngekos). Kita asumsi setiap anak mengkonsumsi 25 watt untuk penerangan kos selama belajar (konsumsi ini belum termasuk kebutuhan listrik ekstra saat belajar, seperti radio, komputer, dll). Berarti untuk satu kelompok belajar yang terdiri dari 5 orang kita dapat menghemat 100 watt listrik. Jadi, belajar bersama hanya memerlukan 1 kamar kos dengan penerangan lampu 25 watt. 


2. Belajar bersama merupakan sebuah wadah informal bagi pelajar untuk bersosialisasi. Karena dalam forum ini tukar pikiran (sharing) akan berjalan, pun dengan diskusi-diskusi yang secara periodik dan bertahap akan membentuk insan-insan yang kompetitif.

Sunday, March 25, 2012

Memperlakukan Mimpi

           Mengejar mimpi atau menggapai mimpi, sebuah kiasan yang sering kita lihat dari berbagai macam buku motivasi dan juga sering kita dengar dari lisan para motivator. Tetapi sebenarnya mana yang masih relevan untuk digunakan. Mengejar mimpi berarti sesuatu yang sifatnya horizontal, seumpama kita yang sedang mengejar bis kota.  Sedangkan menggapai mimpi lebih bersifat vertikal, ibaratkan saat kita sedang menggapai buah mangga tetangga nun jauh di atas kita. Yang kemudian jadi pertanyaan adalah dimanakah sebenarnya mimpi atau impian itu berada?. Di depan kita kah, atau di atas kita. Dan efek dari pertanyaan itulah yang kemudian akan diketahui  munculnya kata mengejar atau menggapai. Memang ini hanyalah kiasan, tetapi mengetahui filosofi atas ini akan membiasakan kita  memunculkan fundamental think atas segala hal yang kita pikirkan, ucapkan maupun lakukan. Hal ini juga akan membuat kita mengetahui bagaimana seharusnya cara memperlakukan impian kita, hingga mungkin akan berujung pada pembuatan kiasan baru mengenai aktifitas ini. Tulisan ini bukan untuk mendikte, ini hanyalah pertanyaan atas diri pribadi teruntuk kawan-kawan, yang kemudian harapannya akan muncul jawaban-jawaban yang memunculkan hal yang baru.
 
Dimanakah impian itu berada?

di depan, di belakang, atau di atas?atau dimana?, kalau dibelakang maka akan muncul sebuah kiasan “tariklah mimpimu sekuat tenaga”. Yang berarti kita membutuhkan “tali” untuk menariknya (inilah yang disebut sebagai efek perlakuan terhadap mimpi).

Mari bebaskan pikiran, jangan termakan dogma!mungkin kamu butuh menggondrongkan rambut untuk membebaskan pikiranmu kawan. hehe




Sunday, March 18, 2012

Alibi Cakar Ayam

 Aku sedikit ingin berbicara soal tulisanku yang seperti streokimia tak beraraturan, seperti urat tubuh yang simpang siur. Bukan tulisan dengan ketikan, tetapi tulisan tangan. Sebuah aktifitas yang jarang sekali kulakukan di masa kuliah ini. Tulisanku memang susah dibaca, tapi bukan berarti tidak enak dilihat. Kalau melihat tulisanku seperti melihat sebuh simpul yang saling terkait. Aku jadi sedikit berpikir, membaca tulisan yang rapi dan lembut terkadang akan membuatku cepat mengantuk, seperti membaca sesuatu yang mengalir begitu saja, membuat si pembaca seperti diterpa angin disamping jendela kereta yang berjalan tanpa hambatan. Bayangkan saja ketika membaca tulisan-tulisanku, butuh berpikir untuk membacanya, setiap kata harus diamati dan diperkirakan kemungkinan-kemungkinan pembacaannya. Menjadikan siapa saja yang membaca tidak berjalan dengan mulus, seperti berjalan ditengah padang ranjau, saat kita lengah maka “duaaaar”. Dan akan membuat si pembaca lebih berkonsentrasi ketika sedang membaca. Maka, beruntunglah manusia-manusia yang memiliki tulisan ‘cakar ayam’, mereka membantu manusia-manusia lain menggunakan logika berpikirnya sehingga instingnya lambat laun akan adapted. Dan segera berinstrokpeksi dirilah manusia-manusia yang mempunyai tulisan ‘nyiur melambai’ , karena anda telah membuatku tertidur pulas di atas padang kapuk nan empuk. 

The Sweetest Jogja

               Kota pelajar, Jogjakarta hardiningrat, memiliki daya magnetis tersendiri bagi para penuntut ilmu di tanah air. Arus pendatang yang semakin membanjiri Jogjakarta mengakibatkan meningkatnya geliat kuliner di Jogjakarta. Bukan hanya kuliner khas jogja dan sekitarnya. Kuliner khas luar daerah pun banyak membanjiri pinggiran jalan Jogjakarta belakangan ini. Mungkin sekedar upaya jeli melihat peluang atas rasa rindu pada pelajar luar daerah pada makanan khas daerahnya masing-masing. Tetapi ketika mendengar kata jogja, maka sebagian besar akan berfikir tentang Gudeg. Gudeg jogja sudah tersohor hampir di seluruh pelosok negeri bahkan dunia.
              Saya ingin coba mengungkapkan opini saya mengenai gudeg dan bacem jogja (memiliki kesamaan, sama-sama manis). Banyak teman-teman luar daerah khususnya sumatera yang mengeluhkan selera masakan jogja yang cenderung manis. Terkadang saya pun mengeluhkan hal yang sama. Tak heran warung-warung makan yang menyediakan menu pedas akan ramai di padati pembeli. Tetapi jangan salahkan manis.!!. saya sedikit berfikir mengenai manis. Sebagai anak kos yang tinggal bersama ibu kos, saya kerap mendapat jamuan masakan-masakan yang manis bahkan kelewat manis. Apalagi setelah idul adha ini saya semakin banyak melihat masakan manis. Tahu bacem, tempe bacem, bahkan daging kurban pun di bacem. Bagi yang belum tahu (bukan makanan, tapi tahu ; know) bacem, masakan bacem adalah masakan yang di rebus dengan air kemudian ditambah gula merah setelah sebelumnya dibumbui hingga airnya hampir habis.
               Saya melihat seperti ada sebuah proses bukan sekedar memasak disitu, seperti ada tujuan tertentu dari ‘pembaceman’. Baru saya sadari kemudian bahwa gula adalah salah satu bahan yang dapat mengawetkan makanan. Mengapa gula dapat mengawetkan makanan?. Tujuan utama dari pengawetan adalah untuk mencegah pertumbuhan mikroba di dalam makanan (winarno.1993). Mikroba akan mendegradasi zat-zat organic yang terkandung di dalam makanan, seperti karbohidarat, protein, dsb. Sehingga akan menyebabkan kondisi fisis makanan tersebut berubah (basi). Dengan adanya gula, mengakibatkan terjadinya penyerapan air dari tubuh mikroorganisme yang juga banyak tersusun dari molekul air. Sehingga mikoorganisme tersebut mengalami dehidrasi yang berujung kepada kelumpuhan bahkan kematian. Penyerapan air oleh gula disebabkan karena adanya proses osmosis.
       Tahu dan Tempe Bacem     

            Begitu jelinya masayarakat jogja waktu itu, mereka mengetahui bahwa kelembaban udara di Indonesia cukup tinggi (60-90 persen), yang artinya makanan akan cepat busuk jika dibiarkan begitu saja. Sehingga sebuah metode ‘pembaceman’ yang dahulu bertujuan untuk pengawetan harus mengeksploitasi lidah masayarakatnya hingga sekarang. Jadi, jangan salahkan manis!!
              Tak salah Jogjakarta disebut sebagai kota pelajar. Tak hanya karena banyak pelajar yang memilih menimba ilmu di kota ini. Tetapi ke’pelajar’an kota jogja juga berasal dari keramahan masyarakatnya dan juga kebecikan tingkah laku budayanya.
              Mari ke jogja dan nikmati ‘manis’nya jogja!!

Wednesday, March 7, 2012

Nabi Darurat dan Rosul Ad-Hoac (Ziqinium Review)

Acara diawali dengan monolog dari Muhammad Ainun N (Cak Nun), menjelaskan secara eksplisit, terkadang konotatif bahkan sesekali terdengar retoris mengenai tema besar dan latar mburi pegelaran Teater bertajuk  “Nabi Darurat dan Rasul Ad-hoac”. Sekitar sepuluh menit sang Penulis Naskah ini menyuguhkan monolognya dengan filosofis serta sangat analitis dan semuanya merupakan akomodasi dari cuilan-cuilan realita-realita yang menjadi jasad bagi kehidupan anak-anak Adam di Bumi Pertiwi, Indonesia Raya.

Cak Nun

Kisah ini dimulai ketika seorang anak desa bernama Joko Kamto yang juga dikenal sebagai Ruwat Sengkolo membuat kurungan di dalam rumahnya di desa. Ia tinggal bersama mbah Soimun, kakeknya. Akibat tingkahnya yang aneh itu yang terkadang sesekali menyabdakan diri, banyak warga berspekulasi bahwa Ruwat Gila, ingin bunuh diri, dukun tiban bahkan ada yang mengatakan bahwa ruwat adalah Nabi Darurat dan Rasul ad-hoac.

Lakon Kang Ruwat Sengkolo

Kegaduhan ini membuat Pak Jangkep, ayah Ruwat, yang sedang merantau di Jakarta harus pulang kampung. Begitu pula Alex Sarpin, seorang aktivis dan mahasiswa S2 yang pandai berteori dan ber’ensiklopedi’ ikut serta mengurusi keributan itu. Ditambah lagi obrolan dari anak-anak letto yang dikisahkan sedang indekos di sebelah rumah. Isu-isu mengenai kekerasan dan perilaku anak muda jaman sekarang juga menjadi bahan dagelan mereka.
Isu besar yang di angkat di awal adalah mengenai kiamat,
“....jangan percaya perhitungan para manusia-manusia yang mengaku ilmiah,..... kalau kiamat akan tejadi di 2060. Itu tidak mungkin, kiamat akan terjadi lebih cepat.....”,
sempalan suara lantang Ruwat sedikit menyinggung keangkuhan manusia yang sudah mulai terlihat ‘menuhankan’ ilmu pengetahuan, mengagungkan logika dan kekuatan pikiran yang membuatnya semakin terlihat takabbur. 
      Kericuhan mengenai kiamat itu tiba-tiba memunculkan gemuruh yang ternyata mengundang kehadiran Brah Abadon (Sabrang ‘Noe’ Letto), sosok implisit yang mengaku sebagai utusan Baginda Isrofil, tokoh malaikat yang diberi kuasa oleh Allah untuk menyuarakan kiamat dengan sengkolonya.
“...kamu terlalu berambisi untuk menjadi panitia kiamat...”,
suara Brah terdengar tenang dan introgatif, tetapi tidak menyurutkan gelak tawa di banch penonton.
         Malam semakin larut, penonton semakin duduk tidak beraturan, mencoba mencari posisi ternyaman untuk kembali melanjutkan adegan-adegan yang semakin lama semakin eksplosif. Sesekali Letto melantunkan tembangnya, bukan oleh suara merdu kang Sabrang ‘Noe’, tetapi suara emas  Dony Kiai Kanjeng. Mungkin inilah yang dibilang Noe sebagai konsep lagu, lagu-lagu Letto merupakan deskripsi dari cinta-cinta yang general. Yaitu cinta-cinta yang dapat dianalogikan dengan berbagai setting maupun lakon.  Bisa jadi, lagu yang dibawakan malam itu merupakan soundtrack dari dilematisme manusia-manusia akan hati, pikiran dan Tuhan mereka.

          Tingkah Ruwat semakin aneh, membuat ki Janggan turun tangan untuk menenangkan muridnya itu. Eksplorasi dan improvisasi Ruwat sudah sangat jauh, bahkan ki Janggan sebagai gurunya pun merasa tak pernah mengajarkan hal semacam yang sudah dilakukan oleh Ruwat. Ia seperti tak punya kuasa, hanya nasehat dan pitutur sebagai seorang guru lah yang bisa ia lakukan.
                Jargon-jargon seperti ganjil-ganjil, kekerasan dan edanisme juga menjadi topik pada malam itu.
“....hanya satu ganjil yang benar-benar genap...”,
manusia seperti sudah menjadi semakin aneh, sudah bertingkah tidak sesuai fitrahnya.
“...bahwa agama menghasilkan perilaku yang merusak...”,
agama banyak dijadikan sebagai toa dalam menggaungkan suara-suara kekerasan yang sebenarnya lebih didasari oleh egoisme dan sifat eksklusif suatu golongan.
“...hanya manusia yang bisa edan, karena Tuhan memberinya akal. Hanya makhluk yang berakal yang bisa edan...”,
ternyata penghuni bumi ini sudah mengalami gangguan akal, bukan gangguan jiwa. Karena jiwa tak salah apa-apa, ia hanya menurut apa kata juragannya.
                Warga diluar rumah semakin anarkis, di dalam rumah Ruwat semakin meng’gila’ dengan monolog-monolog panjangnya maupun obrolan-obrolannya dengan Brah Abadon.
“...jangan lakukan perubahan...”,
sebuah pesan yang menyuarakan akan pentingnya melakukan perubahan, sekarang dan sesegera mungkin.
“...hai semua makhluk langit, turunlah ke bumi. Jangan hanya manusia yang kau suruh mengurus bumi ini...”,
sepertinya merupakan pemberontakan diri yang muncul karena klimaks atas usahanya dalam memikirkan urusan-urusan bumi yang semakin ruwet. Mungkin karena hanya memikirkannya, just do it.
“...bukannya manusia adalah ahsani taqwim?...”, Brah terdengar datar
“...ya, tapi sekarang sudah menjadi asfala saafiliin ...”, jawab Ruwat dengan cepat.
                Pak Lurah Sangkan kemudian masuk, berniat mengajak Ruwat ke pihak berwajib agar dapat lebih aman karena ia sendiri sudah susah mengendalikan kebrutalan warganya. Pak Jangkep ternyata tidak terima dan menghalang-halangi keinginan Pak Lurah. Kemudian datang Pak Gaspol, seorang petugas kepolisian, membawa sebuah bedil laras panjang dan mempunyai niat yang sama dengan Pak Lurah, tetapi
“..treeet, treet...”, suara terompet Ruwat mengagetkan Pak Gaspol bahkan melimbungkannya. Pak Gaspol semakin menciut. Dialog pun muncul antara keduanya yang lebih menitik beratkan pada penegakan dan aplikasi hukum juga tentang probabilitas interaksi antara 270 juta manusia yang hanya dikendalikan oleh hanya sekitar 2ribuan undang-undang.
“...yang harus di tegakkan itu seharusnya adalah supremasi keadilan, bukan supremasi hukum. Karena hukum tidak dapat mencakup hati nurani, moral dan juga akal sehat...”
pernyataan yang semakin membuat Pak Gaspol garuk-garuk kepala. Entah berpangkat apa penegak hukum yang satu ini.
            “...bruk...”, tiba-tiba Ruwat merubuhkan sangkarnya. Mungkin Ruwat sudah sadar, ia mungkin sudah menemukan pencariannya yang selama ini ia renungkan di dalam sangkar. Bisa jadi karena dialog-dialog, diskusi-diskusi maupun interaksi-interaksi yang baru saja dilakukannya. Ruwat sudah salah besar dengan mengurung diri, banyak manusia diluar sana yang juga peduli pada bumi, bahkan banyak sekali kepolosan-kepolosan yang mampu meruntuhkan keangkuhan ‘sundul langit’, meratakan idealisme-idealisme dan bahasa-bahasa setinggi langit.
                Kisah diakhiri dengan petuah Mbah Soimun agar manusia tidak sombong dengan ilmunya (menunjuk Alex Sarpin), kekuasaannya (menunjuk Pak Lurah) ataupun dengan kekuatannya (menunjuk pak Gaspol). Karena sebenarnya manusia tak punya kuasa sedikitpun atas hal-hal itu.
                Senandung suara Noe bersama Lettonya mengakhiri acara malam itu, menyisakan sebuah raut kepuasaan dan introspeksi pada setiap diri penonton.

Foto-foto dapat di lihat di :
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.2698939284665.2103774.1592155838&type=1