Wednesday, March 7, 2012

Nabi Darurat dan Rosul Ad-Hoac (Ziqinium Review)

Acara diawali dengan monolog dari Muhammad Ainun N (Cak Nun), menjelaskan secara eksplisit, terkadang konotatif bahkan sesekali terdengar retoris mengenai tema besar dan latar mburi pegelaran Teater bertajuk  “Nabi Darurat dan Rasul Ad-hoac”. Sekitar sepuluh menit sang Penulis Naskah ini menyuguhkan monolognya dengan filosofis serta sangat analitis dan semuanya merupakan akomodasi dari cuilan-cuilan realita-realita yang menjadi jasad bagi kehidupan anak-anak Adam di Bumi Pertiwi, Indonesia Raya.

Cak Nun

Kisah ini dimulai ketika seorang anak desa bernama Joko Kamto yang juga dikenal sebagai Ruwat Sengkolo membuat kurungan di dalam rumahnya di desa. Ia tinggal bersama mbah Soimun, kakeknya. Akibat tingkahnya yang aneh itu yang terkadang sesekali menyabdakan diri, banyak warga berspekulasi bahwa Ruwat Gila, ingin bunuh diri, dukun tiban bahkan ada yang mengatakan bahwa ruwat adalah Nabi Darurat dan Rasul ad-hoac.

Lakon Kang Ruwat Sengkolo

Kegaduhan ini membuat Pak Jangkep, ayah Ruwat, yang sedang merantau di Jakarta harus pulang kampung. Begitu pula Alex Sarpin, seorang aktivis dan mahasiswa S2 yang pandai berteori dan ber’ensiklopedi’ ikut serta mengurusi keributan itu. Ditambah lagi obrolan dari anak-anak letto yang dikisahkan sedang indekos di sebelah rumah. Isu-isu mengenai kekerasan dan perilaku anak muda jaman sekarang juga menjadi bahan dagelan mereka.
Isu besar yang di angkat di awal adalah mengenai kiamat,
“....jangan percaya perhitungan para manusia-manusia yang mengaku ilmiah,..... kalau kiamat akan tejadi di 2060. Itu tidak mungkin, kiamat akan terjadi lebih cepat.....”,
sempalan suara lantang Ruwat sedikit menyinggung keangkuhan manusia yang sudah mulai terlihat ‘menuhankan’ ilmu pengetahuan, mengagungkan logika dan kekuatan pikiran yang membuatnya semakin terlihat takabbur. 
      Kericuhan mengenai kiamat itu tiba-tiba memunculkan gemuruh yang ternyata mengundang kehadiran Brah Abadon (Sabrang ‘Noe’ Letto), sosok implisit yang mengaku sebagai utusan Baginda Isrofil, tokoh malaikat yang diberi kuasa oleh Allah untuk menyuarakan kiamat dengan sengkolonya.
“...kamu terlalu berambisi untuk menjadi panitia kiamat...”,
suara Brah terdengar tenang dan introgatif, tetapi tidak menyurutkan gelak tawa di banch penonton.
         Malam semakin larut, penonton semakin duduk tidak beraturan, mencoba mencari posisi ternyaman untuk kembali melanjutkan adegan-adegan yang semakin lama semakin eksplosif. Sesekali Letto melantunkan tembangnya, bukan oleh suara merdu kang Sabrang ‘Noe’, tetapi suara emas  Dony Kiai Kanjeng. Mungkin inilah yang dibilang Noe sebagai konsep lagu, lagu-lagu Letto merupakan deskripsi dari cinta-cinta yang general. Yaitu cinta-cinta yang dapat dianalogikan dengan berbagai setting maupun lakon.  Bisa jadi, lagu yang dibawakan malam itu merupakan soundtrack dari dilematisme manusia-manusia akan hati, pikiran dan Tuhan mereka.

          Tingkah Ruwat semakin aneh, membuat ki Janggan turun tangan untuk menenangkan muridnya itu. Eksplorasi dan improvisasi Ruwat sudah sangat jauh, bahkan ki Janggan sebagai gurunya pun merasa tak pernah mengajarkan hal semacam yang sudah dilakukan oleh Ruwat. Ia seperti tak punya kuasa, hanya nasehat dan pitutur sebagai seorang guru lah yang bisa ia lakukan.
                Jargon-jargon seperti ganjil-ganjil, kekerasan dan edanisme juga menjadi topik pada malam itu.
“....hanya satu ganjil yang benar-benar genap...”,
manusia seperti sudah menjadi semakin aneh, sudah bertingkah tidak sesuai fitrahnya.
“...bahwa agama menghasilkan perilaku yang merusak...”,
agama banyak dijadikan sebagai toa dalam menggaungkan suara-suara kekerasan yang sebenarnya lebih didasari oleh egoisme dan sifat eksklusif suatu golongan.
“...hanya manusia yang bisa edan, karena Tuhan memberinya akal. Hanya makhluk yang berakal yang bisa edan...”,
ternyata penghuni bumi ini sudah mengalami gangguan akal, bukan gangguan jiwa. Karena jiwa tak salah apa-apa, ia hanya menurut apa kata juragannya.
                Warga diluar rumah semakin anarkis, di dalam rumah Ruwat semakin meng’gila’ dengan monolog-monolog panjangnya maupun obrolan-obrolannya dengan Brah Abadon.
“...jangan lakukan perubahan...”,
sebuah pesan yang menyuarakan akan pentingnya melakukan perubahan, sekarang dan sesegera mungkin.
“...hai semua makhluk langit, turunlah ke bumi. Jangan hanya manusia yang kau suruh mengurus bumi ini...”,
sepertinya merupakan pemberontakan diri yang muncul karena klimaks atas usahanya dalam memikirkan urusan-urusan bumi yang semakin ruwet. Mungkin karena hanya memikirkannya, just do it.
“...bukannya manusia adalah ahsani taqwim?...”, Brah terdengar datar
“...ya, tapi sekarang sudah menjadi asfala saafiliin ...”, jawab Ruwat dengan cepat.
                Pak Lurah Sangkan kemudian masuk, berniat mengajak Ruwat ke pihak berwajib agar dapat lebih aman karena ia sendiri sudah susah mengendalikan kebrutalan warganya. Pak Jangkep ternyata tidak terima dan menghalang-halangi keinginan Pak Lurah. Kemudian datang Pak Gaspol, seorang petugas kepolisian, membawa sebuah bedil laras panjang dan mempunyai niat yang sama dengan Pak Lurah, tetapi
“..treeet, treet...”, suara terompet Ruwat mengagetkan Pak Gaspol bahkan melimbungkannya. Pak Gaspol semakin menciut. Dialog pun muncul antara keduanya yang lebih menitik beratkan pada penegakan dan aplikasi hukum juga tentang probabilitas interaksi antara 270 juta manusia yang hanya dikendalikan oleh hanya sekitar 2ribuan undang-undang.
“...yang harus di tegakkan itu seharusnya adalah supremasi keadilan, bukan supremasi hukum. Karena hukum tidak dapat mencakup hati nurani, moral dan juga akal sehat...”
pernyataan yang semakin membuat Pak Gaspol garuk-garuk kepala. Entah berpangkat apa penegak hukum yang satu ini.
            “...bruk...”, tiba-tiba Ruwat merubuhkan sangkarnya. Mungkin Ruwat sudah sadar, ia mungkin sudah menemukan pencariannya yang selama ini ia renungkan di dalam sangkar. Bisa jadi karena dialog-dialog, diskusi-diskusi maupun interaksi-interaksi yang baru saja dilakukannya. Ruwat sudah salah besar dengan mengurung diri, banyak manusia diluar sana yang juga peduli pada bumi, bahkan banyak sekali kepolosan-kepolosan yang mampu meruntuhkan keangkuhan ‘sundul langit’, meratakan idealisme-idealisme dan bahasa-bahasa setinggi langit.
                Kisah diakhiri dengan petuah Mbah Soimun agar manusia tidak sombong dengan ilmunya (menunjuk Alex Sarpin), kekuasaannya (menunjuk Pak Lurah) ataupun dengan kekuatannya (menunjuk pak Gaspol). Karena sebenarnya manusia tak punya kuasa sedikitpun atas hal-hal itu.
                Senandung suara Noe bersama Lettonya mengakhiri acara malam itu, menyisakan sebuah raut kepuasaan dan introspeksi pada setiap diri penonton.

Foto-foto dapat di lihat di :
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.2698939284665.2103774.1592155838&type=1

2 comments:

Sam Palgunadi said...

apik kin, reviewmu menurutku sudah setara sama jurnalis-jurnalis hebat. cocoklah sama hobimu "mbolang", hehe.

Ziqin said...

hehehe, opo gol gol...iya ben iso menyikap tabir pelaku-pelaku kriminal almamatermu gol....qiqiqii...semoga bukan dirimu gol...