Friday, February 25, 2011

Wednesday, February 23, 2011

Pemakzulan sebagai sebuah prestasi (coretan 20 oktober 2010)

Setahun pemerintahan SBY-Boediono diperingati oleh beberapa golongan dengan aksi unjuk rasa. Pemakzulan adalah hal paling santer dikoar-koarkan.

“Turunkan pemerintahan SBY-Boediono!!!”

Begitulah kiranya pekikan mereka. Tidak tercapainya program-program yang telah dicanangkan menjadi salah satu alasan mereka, dan menurutku menjadi satu-satunya alasan. Apalagi golongan mahasiswa yang di beberapa daerah malah menjorok pada tindakan anarkis, anarkis kawan!!!bukan kritis. Dengan almamater kebanggaan mereka memamerkan otot, menunjukkan tongkat kayu mereka, mengayun batu seolah atlit olimpiade. Aku melihat bagaimana mereka bertindak ototisme, padahal pantaskah mahasiswa garis miring kaum intelektual lebih mengesampingkan otakisme mereka??. Aku tidak yakin mereka bisa. Tidak adakah terbesit pikiran dalam diri mereka untuk membuat perubahan. Kita tidak ada bedanya kawan!!!. Dahulu birokrasi banyak dilawan oleh aksi demonstrasi mahasiswa, apakah sekarang kita harus seperti itu?tidak adakah cara lain untuk melawan birokrasi?ayo berpikir kawan!!!

KITA MAHASISWA!!!

Apakah tragedy 66 dan 98 masih menjadi sebuah prestasi?harusnya kita mengevaluasi. Kita Negara demokrasi, media bukan lagi menjadi sosok menakutkan seperti dulu, debat terbuka juga tidak terisolir seperti dulu.

Kita juga tidak hidup di jaman Soe Hok Gie kawan. Dimana PKI tak malu menunjukkan taring, dimana orang-orang seperti Ch***ul Sh**eh begitu leluasa memonopoli kesengsaraan rakyat, dimana para mentri ‘go**ok’ menjadi pemegang kesejahteraan rakyat. Jaman sudah berubah kawan, kita kaum intelektual tidak lagi dihadapkan dengan hal-hal seperti itu, stabilitas kehidupan masyarakat sedikit banyak telah tercapai, sistem birokrasi pemerintah pusat juga tak se ekstrim dulu. Dahulu, dekadensi birokrat begitu meresahkan kaum pejuang kesejahteraan rakyat, yaitu para mahasiswa yang mempunyai jiwa membara dan ketenangan pikiran. Sekarang saat kesejahteraan telah banyak melanda mereka, dekadensi itu mendatangi kaum mahasiswa, bukan mahasiswa dalam artian pejuang. Tapi cukup mahasiswa, mahasiswa yang seolah tak tahu akan keringat para pendahulu mereka yang telah meresap pada jalan-jalan beraspal, mahasiswa yang punya pangkat luar biasa di mata masyarakat, ‘pejuang revolusi’…ya…..!!!dan sekarang aku merasa seperti ada fenomena reversible disini, ada kesamaan antara obyek-obyek perjuangan pendahulu dengan elemen-elemen pejuang (lebih tepatnya mengaku pejuang) di jaman sekarang…..dekadensi pemegang kekuasaan di jaman dulu telah hinggap pada pelaku perjuangan di jaman sekarang….

Monday, January 24, 2011

Telor dan Sayuran, Vitamin Kehidupan

Masih muda, tak sekekar badanku memang, tapi dia sepertinya termasuk orang yang pekerja keras. Pemuda yang kutemui di bus waktu itu bukanlah seorang eksmud (eksekutip muda), tapi aku yakin omzet usahanya sudah menembus puluhan juta. Bukan dari sebuah perusahaan besar pula dia memperoleh penghasilan. Usaha yang mungkin buat sebagian orang adalah hal yang remeh dan bukan favorit. Jualan telor dan sayur-sayuran, begitulah usaha yang dia jalani selama ini. Dia banyak cerita soal kesibukannya dalam mengurusi usaha itu. Disaat anak-anak muda seumurannya termasuk aku masih suka foya-foya. Aku lihat begitu dia membanting tulang mencari nafkah. Tak jelas siapa yang dia nafkahi, tapi sepertinya dia benar-benar mepersiapkan masa depannya. Gayanya memang biasa saja, dia sangat inklusif. Diantara suara mesin bis yang meraung dia menceritakan kesibukannya mondar mandir dari satu kota ke kota lain. Siang malam dia habiskan di jalanan dan di pasar. Sabtu minggu dia sempatkan menimba ilmu di sebuah univeritas. Sebuah aktifitas yang sangat membuatku iri hati. Pertemuanku dengan dia menjadi seperti sebuah teguran dan dorongan untuk kembali mengoyak akar pangkat, menjajak gonometri yang tak pernah kubisa ataupun sekedar mengingat kembali kuliahku yang sering kutinggal. Aku senang dengan ini, aku senang dengan kuliah-kuliah jalananku ini. Semoga saja aku masih bisa terus berberbenah. Karena aku yakin aku masih lemah.

Wednesday, January 12, 2011

Renungan Pasca Merapi

Banyak cerita yang bersemayam di telingaku pasca bencana merapi.
bukan cerita seram, ataupun menggelikan...aku pikir ini hal yang mengenaskan. Material merapi yang telah berhasil di muntahkan lewat proses erupsi, telah menyisakan banyak kisah. Pun dengan apapun yang menjadi korban terjangan bekas material panas itu.
Beberapa hari yang lalu aku pergi ke kali gendol, sebuah kali yang menjadi salah satu sirkuit material panas dalam menyusuri kaki merapi. Sangat mengesankan, batu berdiameter sekitar 2 meter berhasil menjadi pemandangan unik bagi siapapun yang melihatnya. Bukan karena bentuknya, tapi karena ia berada ditengah-tengah jalan yang biasa orang berlalu lalang. Awalnya aku berpikir, jalan disekitar batu itu telah berhasil dibersihkan dengan alat berat "bego", tetapi kenapa batu itu tidak juga disingkirkan?. Aku hanya mengernyitkan dahi dan membenamkan begitu saja pertanyaan itu, karena kupikir perntanyaan tadi cuman melintas begitu saja.
Hingga beberapa waktu kemarin aku mendengar informasi, entah berhubungan atau tidak. Informasi yang aku dengar dari ibu-ibu setengah baya yang selintas berpenampilan jogja. Bahwa banyak orang yang tidak berani memindahkan batu-batu yang berserakan akibat muntahan merapi saat itu, karena menurut penduduk sekitar batu-batu tersebut telah dihuni para makhluk halus. Sebuah informasi yang hanya aku tanggapi dengan senyuman.
Tadi siang juga aku mendengar banyak cerita dari si Mbah. Bahwa ada seseorang yang mengambil kelapa yang ada disekitaran daerah bencana, sampai di rumah katanya berubah jadi kepala manusia dan minta segera dikembalikan, entah dengan terpaksa atau tidak si orang tadi mengembalikannya saat itu juga (menurut informasi saat itu sekitar pukul 1 pagi). Ada juga seorang bapak-bapak yang mengambil kayu, dan saat malam tiba kayu-kayu tersebut berubah menjadi tulang-belulang. Seseorang dari semarang yang dengan sengaja mengambil pasir merapi (mungkin akan dijadikan kenang-kenangan ataupun oleh-oleh), harus merinding saat sampai di semarang menjelang malam, karena harus mendengar suara tangisan yang meminta agar pasir dikembalikan.
Merapi memang tak pernah sepi dengan kisah-kisahnya. Sebenarnya banyak hal yang harus kita benahi disana, selain infrastruktur. Cara pandang seseorang terhadap merapi membuat merapi menjadi seolah seorang Iblis ataupun mungkin bahkan sebuah sesembahan. Merapi tidak sepatutnya disikapi seperti itu. Dia hanyalah bagian kecil dari keeksotisan ciptaan Tuhan. Sepatutnya kita harus sesering mungkin mencumbunya, lewat pemikiran ataupun penghayatan, bukan mengagungkan ataupun mendewakan. Dia adalah salah satu bahan yang telah disiapkan untuk mengisi pemikiran-pemikiran manusia sepertiku yang cenderung melompong.
Hanya buah dari pemikiran-pemikiran itulah iblis-iblis dan sesembahan-sesembahan itu akan lenyap dari ranah merapi.