Wednesday, February 13, 2013

Senyawa Ibu



Kala itu mentari semakin terendam dalam malam, engkau masih merintih, menunggu sang Ayah yang sedang berpeluh. Diriku yang sedang dalam janji Tuhan ini terkandung dalam mu, sesungguhnya engkau mengandung derita yang mendera, sakit yang begitu lama. Andai saja aku tau itu, sungguh lebih baik aku tak disana, didalam rahim nyamanmu itu. Tapi entah senyawa apa yang diberikan Tuhan untuk melebarkan senyummu, memekarkan bunga-bunga bahagiamu. Hingga kau dengan rintih yang teramat membukakan jalan lebar untukku, dengan lamat-lamat suara adzan di ujung telinga, menuju dunia yang kau yakin dan pastikan dengan kasih sayangmu akan membuat semuanya menjadi menggembirakan, menyenangkan untukku.

Ibu, hariku memang gembira,

Ibu, dunia ini memang membuatku senang

Tapi aku tau, kehidupan ini begitu berat dan terjal untukmu, tak jarang aku melihatmu terengah, sesekali kulihat engkau menangis, terisak di tengah sunyi sepertiga malam, terkadang kulihat dompetmu melompong, tapi kenapa, uang sakuku selama ini tak pernah bolong.

Aku tau itu, maaf Ibu, aku melihat itu tanpa sepengetahuanmu.

Aku tau, kamu akan sangat marah jika kamu tau.

Beranjak besar, aku seperti melupakanmu, hiruk pikuk masa remaja seperti tak memberikan kesadaranku akan kasih sayangmu, engkau semakin terlihat layaknya pelayanku. Peluhmu masih tak berhenti, begitu pula dengan dekap kasihmu. Ternyata senyawa itu masih bekerja saja.

Kamu jadikan aku sebaik-baik penuntut ilmu, tak pernah kamu biarkan celana abu-abuku menjadi semakin abu, buku-bukuku pun selalu baru, sepatuku malah sering kali dipuji temanku.

Tapi maaf ibu, aku sudah merasa menjadi kaum terdidik, aku tau pendidikanmu tidak lebih tinggi dariku. Lalu aku menjadi semakin congkak, semakin membuatku tak sadar akan hadirmu.

Kerap kali aku melawan omonganmu, tak kudengarkan lagi nasihat-nasihat teduhmu. Itu karena aku merasa lebih tahu, maafkan aku Ibu.

Aku kira aku semakin dewasa karena kesungguhan dan kematanganku dalam menuntut ilmu, ternyata aku salah, kasih sayangmu adalah keniscayaan pada kedewasaanku.

Hingga suatu waktu, rintihmu itu telah menjadi tak tertahan, memunculkan sakit-sakit yang mulai menyayat, menampakkan akumulasi derita yang begitu lama kamu pendam, aku sering kali tak tega melihatmu terbaring begitu. Inikah efek samping dari senyawa itu?. Maaf Ibu, ibaku hanyalah dosis kecil untukmu, tak semujarab kasih sayangmu.

Lalu…..

Tiba-tiba kamu tersenyum disana, melihatku dengan mata terpejam.

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un……

Kucondongan kepalamu pada kiblat, sebagaimana kamu tunjukkan kiblatNya padaku

Allohummaghfirlahaa ya Robb

Kulamatkan suara adzanku,

AllohuAkbar AllohuAkbar…

Menggema dipetak dua kali satu itu.

LailahaillaLloh…..

Tugasmu untukku telah usai Ibu.

Senyawa itu pun meluruh, menguapkan semerbak harum di pelataran memori tentangmu. Mentransformasi isak-isak haru menjadi senyum-senyum syukur yang merekah.

Alhamdulillah, Engkau telah manfaatkan dia sebagaimana mestinya ya Alloh.

Kini, nyatamu semakin nyata, karena tiadamu semakin membuatmu mudah untuk hadir dan ada kapan dan dimana saja.

foto ambil disini