Monday, November 5, 2018

Lahir



Entah berwujud apa aku waktu itu, ada rasa nervous, mungkin, ada lisan yang berlatih ucap ratusan kali. Ya, tentu aku ingin sampaikan jawaban terbaikku, maka tak lupa pula aku kenakan baju terbaikku, baju kefitrahan itu tentu. Lalu, ketika saatnya tiba...

"Aku iki Tuhanmu to le (Bukankah aku ini Tuhanmu)?" (A'raf:172)

Aku sadari betul, mungkin, bahwa dengan kemantapan dan keta'dhiman yang terhinggap dalam setiap komponen jiwaku, dengan harapan penuh bahwa momentum ini, adalah momentum yang sungguh sangat aku inginkan untuk tidak melupakannya sedikitpun, aku jawab

"Leres Gusti (Betul), saya bersaksi" (A'raf:172)

Jawaban itu adalah jawaban yang sama, jawaban itu adalah jawaban protokoler, dan ia pun lahir, terucap dari chip-chip kesungguhan - yang sesungguhnya - yang sama.

Maka ketika aku telah terbentuk menjadi sebuah entitas sempurna, ternyata aku lalai, aku seolah mengharap kelupaan pada momentum itu. Ternyata aku lali, aku seolah hanya ingin mengingat momentum-momentum yang sesungguhnya tidak akan pernah aku ingini (andai aku sadari itu).

Lalu, ketika Dia mengingatkannya di akhirat kelak, dengan kesopanan, dan tutur bahasa yang lembut layaknya seorang hamba, aku menghatur

"(Ngapunten Gusti), sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini" (A'raf:172)

Alhamdulillah, ternyata kesopanan dan kelembutan itu tak menghindarkanku dari meja registrasi neraka.

"Kulo ikhlas mlebet neroko njenengan Gusti (saya ikhlas masuk nerakaMu, Tuhan)"

Ya, memang sudah seharusnya aku nerimo (ikhlas menerima). Siksa itu toh memang perih tak terperi.


No comments: