Tuesday, March 10, 2020

Phlogiston: Transformasi dan Kesetiaan



Phlogiston, sepertinya merupakan satu-satunya teori ilmiah yang meskipun sudah dimatikan berabad-abad silam, seolah tetap dijaga untuk tetap hidup. Ia tentu menjadi inspirasi bagi Antoine Lavoisier dalam medesain eksperimen-eksperimen yang melahirkan Traite’. Satu simbol bagi lahirnya Chemical Revolution, yang mentransformasi konsep elemen Aristotelian (Fire, Earth, Water, Air) menjadi True elements. Meskipun pada akhirnya hal itu juga yang menjadi penyebab matinya teori phlogiston. 

Kata Phlogiston diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘Api dari dalam tanah’, Digunakan pertama oleh Joachim Becher (1635-1682) untuk mengistilahkan pembakaran sulfur. Dan kemudian menjadi populer ketika Georg Ernst Stahl menggunakannya dalam menjelaskan interaksi antar element, khususnya yang berkaitan dengan pembakaran. Menurutnya, Phlogiston dihasilkan oleh benda yang terbakar, dari pernapasan hewan dan manusia, dan juga dari kalsinasi logam. Kemudian tumbuhan menyerapnya kembali. Tidak hanya itu teori phlogiston selanjutnya menjadi berkembang sangat massif, ia juga dipakai untuk menjelaskan begitu banyak fenomena kimia. Singkat kata, Phlogiston mempu melayani apa yang para chemist butuhkan untuk menjelaskan teori mereka.

Joseph Priestly bahkan memulai menjabarkannya dengan menuliskannya dalam sebuah persamaan kimia


 *) ∏ merupakan simbol Phlogiston


Tak lama berselang. Seorang anak muda ambisius bernama Antoine Lavoisier (1743-1794) bertemu Priestly di Paris dan menyampaikan sebuah penemuan mengejutkan yang nantinya akan menjadi pembunuh utama teori phlogiston.

Ia, melakukan serangkaian uji coba dengan mereaksikan antara oksigen (dephlogisticated air) dan hidrogen (inflammable air) sehingga menghasilkan air. Ia secara  presisi mendapatkan sebuah kesetimbangan massa antara ketiga komponen tersebut dan tidak menemukan sedikit pun ruang massa yg menunjukkan keberadaan phlogiston. Ini, tentu melukai hati banyak kimiawan. Tapi Lavoisier tak pernah berhenti, bahkan ia terus menginvensi berbagai pengamatan yang berkaitan dengan interaksi element. HIngga pada 1789, ia mempublikasikan karyanya “Traite Elementaire de Chimie” yang didalamnya memuat klasifikasi elemen-elemen.


**) Tabel klasifikasi elemen Lavoiser

Dan sejak saat itu, para ahli kimia terpecah menjadi dua kubu, Phlogistian (ada juga yg menyebut sebagai anti-Lavoisierian) dan anti-Phogistian. Kedua pihak tentu berupaya untuk mencari jalan kebenarannya masing-masing, entah itu akan menuntunnya menjadi Phlogistian fanatik atau bahkan beralih menjadi anti phlogistian, begitu juga sebaliknya. Tapi tak sedikit juga yang mulai meyakini apa yang dikemukakan Lavoisier, meskipun diam-diam gelagatnya menunjukkan kesetiaan pada phlogiston. Golongan ini merasa bahwa ada hal yang tak bisa dijelaskan oleh teori lavoisier dan menjadikannya tak utuh.

Hampir satu abad kemudian setelah lahirnya konsep Thermodinamika (1st law oleh Joule dan 2nd law oleh Clausius pada 1850), J.Willard Gibbs (1880) mengemukakan gagasan brilian sekaligus memberikan jawaban tentang bagaimana sebuah reaksi kimia dapat berlangsung. Ia memperkenalkan konsep Gibbs free energy, yang merupakan driving force bagi suatu sistem perubahan kimia. Kemudian, para phlogistian membuat satu model reaksi kimia berdasarkan spirit Priestly :




***) M = Material, O = Oxygen

Phlogiston pada akhirnya mampu bertahan hidup, bertransformasi dari materi menjadi energi dan tak menutup kemungkinan untuk menjadi materi kembali, seperti halnya yang diyakini oleh penulis. Dalam tabel Lavoisier diatas, disebutkan adanya elemen Lumiere (dipakai untuk mengistilahkan elemen cahaya), tetapi tidak mempertanyakan eksistensi massanya meskipun dalam proses oksidasi (pembakaran) tentu juga menghasilkan elemen tersebut. Belakangan ini justru kita mengenalnya sebagai photon (partikel cahaya), satu bentuk materi bermassa. Seperti halnya Lumiere, opini penulis mengenai kembalinya Phlogiston menjadi materi didasarkan pada satu elemen lain yang dihasilkan dalam pembakaran, yang oleh Lavoiser diabaikan eksistensi massanya, yaitu panas. Perdebatan mengenai Phlogiston nyatanya tak pernah berakhir bahkan hingga saat ini. Ini tentu bukan berarti sebuah ketidak baikan, benturan-benturan ilmiah justru seringkali melahirkan konsep-konsep ilmiah yang modern dan menawan, seperti yang terjadi di banyak kisah.
Bahwa dalam banyak hal tak ada yang betul-betul benar atau betul-betul salah. Bahwa di dalam teori yang salah tentu mengandung satu dua hal yang benar, bahkan menurut Kurt Godel, dalam teori Ketidaklengkapannya, Teori yang benar harus mengandung satu hal yang tak bisa dibuktikan benar oleh teori itu.

Dalam hidup, kita harus mampu memoderasi diri, tak menutup hati dan pikiran, supaya memberikan peluang bagi masuknya kebenaran baru. Tak boleh betul-betul yakin, pasrahkan semua keyakinanmu padaNya, supaya Dia bantu mencukupkan kebenaranmu.


-*) Tulisan saya ini pernah dimuat di website penggagas.com, satu website yang concern ke berita/tulisan mengenai saintek, sekira tahun 2016. Saya upload ulang karena website tersebut sudah tidak aktif lagi dan dalam rangka supaya menjadi pelengkap tulisan-tulisan mengenai phlogiston di seri tulisan saya sebelumnya. 

No comments: