Tuesday, July 23, 2024

Se(s)empatnya

 


Andai kita tak saling punya rasa,...


Barangkali tidak ada undangan pernikahan yang kamu buat sendiri desainnya, lalu bermotor kita telusur sudut-sudut Kasongan, mencari pembuat undangan yang mau custom konsep undangan kita. Undangan yang kita pilih menggunakan kertas less processed, pakai pita serabut tanaman, dan tanpa pembungkus plastik. Kita berdua memang agak-agak serupa soal tak ingin terlalu merepotkan sesuatu diluar diri kita sendiri. Ya, semua itu agar tanah yang darinya kita ambil air, tanah yang menumbuhkan buah-buahan yang pada akhirnya sampai ke liang perut kita, tidak repot-repot menanggung dosa-dosa sampah yang berisi informasi yang kita sebar-sebar lewat selipat undangan itu. Pun pada akhirnya undangan itu terserak begitu saja di tanah, tak lupa kita titipkan uang saku di dalamnya. Uang saku biji tanaman, kita repot-repot buatkan kantong kecil di undangan itu, agar biji-biji tanaman itu menjadi bekal. Barangkali undangan itu hanyalah semacam pot datar yang ketika suatu saat dia terserak, terpendam lalu terurai akan menjadi asupan organik bagi biji-bijian yang menempel didalamnya. Biji-biji itu lalu tumbuh, membenih, menjadi tanaman matang dan berbuah. Buahnya dimakan oleh semut dan serangga serupa lainnya. Alhamdulillah, doa-doa baik kita semoga berproses dan bergulung lipat-lipat bersama siklus kimia alam semesta. 


Andai kita tak saling punya rasa,...


Mungkin saja tak ada ide kita melepas burung-burung pipit di hari pernikahan itu (daripada melepas balon atau melempar bucket bunga). Melepas burung pipit yang bisa saja tidak jadi menjadi rangkaian acara kalau saja sore sehari sebelumnya kita tak temukan burung pipit yang bisa dilepas. Ya, kita memang ingin melepas, mencari para pedagang pemburu, bukan menangkap lalu mengumpulkan. Alhamdulillah, 40 pasang sayap-sayap itu mengepak dengan baik, menyebar kemana saja bersama harapan-harapan baik kita, beranak pinak sampai seusia kita bersama nanti. 


Andai kita tak saling punya rasa,...


Bisa jadi tak ada pernikahan terang hari di tempat terbuka, di musim saat air hujan begitu mudah terjatuh. Ya, kita memang tak mau ada riuh-riuh di malam hari, supaya bumi tak repot-repot menanggung asap pembangkit listrik yang dibuang-buang untuk lampu gemerlap. Biarkan kami yang repot berdiri, bersalaman beberapa jam dibawah terik. Peluh keringat dan bedak luntur ini mungkin tak bagus di kamera, tapi energi yang dihembus untuk menghidupkan pendingin ruangan yang terlalu dingin mungkin bisa kami hemat se-per-satuan kebaikan bagi bumi. 


Andai kita tak saling punya rasa,...


Rasa-rasanya aku hanyalah sesosok pembaca buku yang terkagum pada rangkaian manisnya kata tanpa tau wujud dan makna.


Andai kita tak saling punya rasa,...

Sakit mungkin hanya akan berwujud perih dan membuat terlunta-lunta. Obat-obatan mungkin hanyalah sekumpulan alkaloid yang pahit lagi memualkan. Lalu datanglah rasa itu, ia merawat luka perih menjadi seperti digigit semut tak bermandibula, ia meramu penyembuh mujarab yang menjadikan obat serasa teh tawar saja. 


Sepanjang tahun ini, barangkali kita seperti sedang menyelam, sesekali kita tersesak mencari-cari udara, tapi di kedalaman sana, ada ruang nan indah sedang menyambut kita. Ikan-ikan beragam jenis dan warna, terumbu karang bermacam bentuk dan rupa, semuanya tentu tak akan tersaji alami di daratan kering penuh angin sejuk dan semilir, bukan?. 


Lalu karena saking terbiasanya menyelam, tiba-tiba kita harus menjelma menjadi amphibi atau makhluk jenis apapun yg bisa menarik-keluar semacam oksigen di alam mana saja, entah dengan paru, kulit, ingsang atau bahkan dengan khayalan saja, ini penting bagi kita kan?. 


Andai kita tak saling punya rasa,...


Rasa-rasanya tak mungkin, buncahan gembira ini sepertinya tak dapat ditarik lagi. 


Terima kasih Allah, atas karunia sejawat yang Engkau sandingkan ini. 

Terima kasih Sejawat, atas perasaan yang sudah kita bagi bersama. 


Sabbaha, yusabbihu lillah. 


Selamat hari tanah, bumi dan pertalian kita yang berhak setiap saat kita rayakan. 


No comments: